Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta di Ranjang Jenderal

Cinta di Ranjang Jenderal

Jinada

4.9
Komentar
13.8K
Penayangan
22
Bab

Warning! Kontent Dewasa. Demi mendapatkan obat untuk kesembuhan ayahnya, Navila rela memberikan tubuhnya kepada tentara kerajaan Erdan. Dia hanya berniat sekali, namun terus terjebak dalam permintaan Sang Jenderal. Sedangkan Sang Jenderal malah terjebak dalam perasaannya sendiri. Mereka sadar pertemuan dan perasaan di antara mereka hanya singkat karena ada perang antar dua kerajaan. Dapatkah cinta mereka saling tersampaikan meski perang sedang berkecamuk di antara kerajaan mereka?

Bab 1 Navila: Pelacur

Suara mesin truk mengerang di jalan yang kasar. Truk itu merupakan truk militer tapi yang dibawanya bukanlah tentara sehat atau yang terluka, bukanlah kotak-kotak amunisi atau persediaan makanan, dan bukanlah tawanan dari musuh yang tertangkap. Truk itu membawa para pelacur dari kota.

Di dalam kargo truk setengah terbuka itu, belasan perempuan muda mengenakan mantel dan sarung tangan hangat. Wajah mereka memakai riasan untuk mengikat pelanggan mereka— para tentara berpangkat rendah atau beberapa perwira. Banyak dari mereka yang diam dan tak saling bercerita karena mereka tahu tak ada kebanggaan dari perbuatan mereka.

“Navila, kamu tak membawa sarung tangan hangatmu?” tanya Adeline dengan menggenggam tangan Navila.

Navila menggelengkan kepalanya. Ia bisa merasakan hangatnya genggaman Adeline yang tulus. Jangankan sarung tangan, mantel hangat pun tak Navila bawa. Perang yang telah berkecamuk bertahun-tahun memaksanya menjual pakaiannya satu persatu. Ia ingat telah menjual mantel dan sarung tangan hangatnya satu bulan yang lalu. Meski musim dingin segera tiba, tapi kelaparan tiba lebih dahulu.

“Tenanglah, kamu akan mendapatkannya malam ini,” ucap Gia dengan nada genit. Tiba-tiba raut wajah Gia berubah dengan tajam, sesuatu seperti terlintas dalam pikirannya. Sorot matanya mengamati Navila dari kaki ke kepala dan mimik wajahnya semakin tajam bercampur kesal.

“Aku akan pastikan hal buruk padamu bila kamu menggoda Mayor Nezkov,” ancam Gia tanpa dimengerti Navila.

“Mungkin dia bisa mendapat seorang perwira,” sahut perempuan di samping Gia yang tampak iri.

“Dia harusnya melayani dua puluh tentara Erdan malam ini,” sahut perempuan lain yang tak terlihat oleh Navila— mungkin Nina atau Tia karena suaranya mirip.

Navila menggenggam erat tangan Adeline, satu-satunya sahabat yang ia punya. Meskipun sebagian besar perempuan-perempuan itu dari kota yang sama dengan dirinya. Navila tak akrab dengan mereka dan hanya Adeline yang paling ia kenal.

“Tak perlu dengarkan mereka,” bisik Adeline.

“Si kutu buku ini akhirnya menjadi pelacur,” ledek Gia lagi.

“Hahaha.” Semua pelacur tertawa dalam truk.

Navila hanya diam mendengarkan makian itu. Rasa gugup dan malunya bercampur dalam detak jantung yang sangat kencang. Ini pertama kalinya ia menuju Benteng Esthaz. Tempat di mana para tentara Kerajaan Erdan singgah sebelum menyerang Ibukota Kerajaan Agelan. Tempat di mana para perempuan kota menyewakan tubuhnya untuk terus hidup. Tempat mendapatkan keping-keping perak dan makanan-makanan yang lebih menjanjikan.

“Aku harus mendapatkan obat untuk Ayah,” bisik Navila pada Adeline.

Satu-satunya alasan Navila menjual diri dan keperawanannya karena ayahnya sakit. Ia perlu obat, tapi tak ada yang menjual obat karena semua obat ada di Ibukota, tapi semua obat di sana untuk para tentara.

“Itu sulit,” jawab Adeline dengan berbisik. “Aku akan bicara pada Tuan Deus. Semoga dia bisa mengaturnya.”

“Ya, semoga,” ucap Navila dengan lirih tapi penuh harapan.

Truk berhenti, terdengar suara pria yang saling bercakap-cakap. Suara mereka saling menertawakan isi dari truk yang penuh pelacur. Navila merasakan perubahan suasana di dalam truk itu menjadi tegang. Bahkan senyum Gia yang tadinya penuh dengan kesombongan sebagai pelacur, kini hilang. Genggaman tangan Adeline semakin kuat. Navila tak menyangka para perempuan akan gugup meski mereka datang dengan suka rela dan bukan pertama kalinya ke benteng itu.

Truk kembali melaju pelan, dinding benteng mulai terlihat, dan pos keamanan di gerbang telah terlewat. Kurang dari setengah menit, truk berhenti. Seorang tentara membuka pintu kargo setinggi kursi duduk. Seorang pria dengan kumis panjang menanti. Pria itu tidak terlalu tua atau muda, tapi kumis panjangnya membuat kesan pria itu berumur 40 tahunan.

“Dia adalah Tuan Deus,” bisik Adeline.

Navila bisa melihat sorot mata pria itu seperti sedang menghitung dan menilai. Tangannya bersedekap dan memegang dagunya yang mulus, senyumnya datar penuh ketidakpedulian, dan ekspresinya tidak terlihat puas.

“Hanya ini?” Tuan Deus bertanya pada seorang tentara di sampingnya.

Para perempuan mulai turun, empat perempuan pertama telah turun, kemudian Gia dan dua orang temannya. Navila menggenggam erat tangan Adeline. Rasa gugup dan kecemasannya membuat kaki Navila sedikit gemetar.

“Seperti biasa Tuan tapi beberapa tidak ikut,” jawab tentara itu. Senapan laras panjang ia sampirkan di punggung dengan santai. Sang tentara tersenyum lebar saat para bidadari pelacur turun dari truk.

“Malam ini kita kedatangan tamu penting. Seorang jenderal datang dan tak ada barang bagus untuknya? Mengecewakan, seharusnya aku membawa lebih banyak perempuan lagi.” Tuan Deus memandang para perempuan yang telah turun dengan kecewa.

Navila ditarik oleh tangan Adeline untuk turun, ia tak bisa menolak, ia sudah terlambat untuk berubah pikiran. Navila tak bisa mundur, ia perlu mendapatkan obat untuk ayahnya.

“T-tuan Deus bisakah kami berbicara sebentar dengan Tuan?” ucap Adeline dengan sedikit gemetar.

Navila hanya diam.

“Apa maumu pelacur?” tengok Tuan Deus.

“Temanku ingin mendapat bayaran malam ini dengan obat,” jawab Adeline.

Mata Tuan Deus membulat dengan lebar, ia terlihat kesal mendengar permintaan obat itu. Sorot matanya beralih ke Navila, pria itu tiba-tiba menaikkan senyum yang mengangkat satu pipinya. Navila menundukkan pandangannya, menatap mata yang memiliki derajat lebih tinggi merupakan penghinaan. Kini dirinya adalah seorang pelacur yang lebih rendah dari tuan muncikari.

“Aku baru pertama kali melihatmu,” ucap Tuan Deus.

“Dia baru, Tuan,” jawab Adeline yang mengiyakan.

Navila mulai mengangkat pandangannya, ia bisa melihat ketertarikan di wajah Tuan Deus. Matanya berseri-seri seperti sedang menemukan sebuah berlian. Akan tetapi Navila bisa merasakan kelicikan dari pria itu.

“Aku tidak bisa membayarmu dengan obat, tapi aku tahu siapa yang bisa membayarmu dengan obat, bahkan apa pun permintaanmu, Cantik,” ucap Tuan Deus terdengar menjanjikan.

Navila mengangguk dengan pasrah, “Aku membutuhkan obat dan Tuan akan mendapatkan apa pun yang Anda minta.”

Tuan Deus tersenyum lebar, Navila terbayang permintaan buruk yang harus dibayarkan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku