Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
MISTERI RANJANG SUAMIKU

MISTERI RANJANG SUAMIKU

Zulaikha Najma

5.0
Komentar
11.1K
Penayangan
88
Bab

"Loh, kenapa ranjang ini basah?" Mata Inara melebar sempurna. Noda putih bertengger di atas ranjang. Baunya tak asing. Itu bukan cairan biasa. Aroma pandan membuat pikiran Inara melayang. Bukankah dia sudah mengganti sprei sisa tadi malam? Lalu, kenapa sekarang malah ada lagi? Bahkan, ranjang itu berantakan?

Bab 1 MISTERI RANJANG SUAMIKU

"Loh, kenapa ranjang ini basah?"

Mata Inara melebar sempurna. Noda putih bertengger di atas ranjang. Baunya tak asing. Itu bukan cairan biasa. Aroma pandan membuat pikiran Inara melayang. Bukankah dia sudah mengganti sprei sisa tadi malam? Lalu, kenapa sekarang malah ada lagi? Bahkan, ranjang itu berantakan.

Seseorang secara mendadak memasuki kamar, membuat Inara spot jantung. Ia pikir jelangkung dari mana yang hadir. Namun, kedatangan Angga yang berstatus sebagai suami Inara sangatlah tepat.

"Abi, baru pulang?"

"Iya, Mi," seru pria berusia 25 tahun tersebut, lalu meletakkan tas ransel dengan sembarang.

"Umi ngapain jongkok di situ? Kayak nggak ada kloset aja." Dipandangnya Inara yang masih setia nangkring di atas ranjang.

"Ranjangnya basah, Bi."

Tidak ada suara setelahnya. Ruangan itu bagaikan goa yang mencekam. Angga mengikuti pergerakan jari telunjuk istrinya. Dia terkesiap dengan mulut yang lebar.

"Ini kan..."

"Eh, Kenapa bisa basah begitu, ya? Jangan-jangan Umi ngompol lagi." Gegas, Angga memotong.

"Ngompol dari mana, Bi? Umi bukan balita lagi. Perasaan sprei bekas tadi malam sudah dicuci. Kenapa sekarang malah datang lagi? Abi ada pulang ke rumah?"

Angga menggeleng cepat. Dahinya mengkerut. "Ngapain Abi pulang? Jelas-jelas di sekolah banyak urusan. Kayaknya itu air biasa, deh. Mungkin diantara kita ada yang nggak sadar numpahin ke sana. Udah, ah. Jangan diambil pusing. Perlu Abi bantu cuci sprei lagi?"

Inara belum bergeming. Ia masih saja mencari jalan keluar tentang noda putih tersebut. Dirinya bukan anak kecil yang bodoh dalam membedakan segala macam jenis cairan.

"Oh, mungkin itu kencing kucing, Umi. Sudahlah, ayo cepat kita bersihkan! Abi nggak mau perang di atas tempat kotor begitu." Angga menaik turunkan alisnya tanda mengacau.

Tangan Angga gegas menarik sprei, sampai membuat Inara yang berada di atasnya nungging. Angga si lelaki romantis menyeret benda besar itu ke mesin cuci untuk dieksekusi.

Angga terkenal sebagai suami berkelakuan manis, humoris, juga gemar membantu. Banyak pekerjaan rumah yang ia laksanakan bersama Inara, perempuan yang dua tahun lalu ia nikahi.

Angga dan Inara sama-sama berprofesi sebagai guru. Bedanya, Angga bernasib lebih beruntung, karena setahun silam ia diangkat menjadi PNS, sementara sang istri gagal dalam perekrutan yang sama-sama mereka ikuti tersebut. Sampai sekarang Inara masih menjabat sebagai guru SD honorer. Biarpun begitu, sedikitpun Angga tidak merasa tinggi hati. Baginya, baik honorer maupun PNS adalah sama. Ini bukan soal gaji, melainkan tanggung jawab sebagai seorang guru yang membagikan ilmu kepada anak didiknya.

"Abi makan sajalah. Biar Umi yang mencuci," kata Inara yang ternyata sudah berada di samping.

"Umi masak apa?"

"Gurame asam manis, Bi. Ada jus jeruk juga."

"Makan bareng yuk, Mi! Abi suapin, deh." Senyum Angga mengembang.

"Umi sudah makan. Umi lebih dulu sampai satu jam ketimbang Abi."

"Ya, sudah. Kalau gitu Abi makannya mau ditemenin Umi."

"Lah, Umi kan mau nyuci spri kotor ini, Bi."

"Sudahlah. Nyucinya nanti saja. Kalau Umi nolak, Abi kulitin hidup-hidup, nih."

"Ih, serem amat!"

"Atau, Abi bakal kulitin..." Angga si tukang cagil mulai menggerayapi leher jenjang milik istrinya.

"Aish, Abi! Tak sudah-sudah. Ayolah, Umi temenin makan saja!" Inara melompat ke posisi lain, sebelum Angga semakin berkuat nakal.

Begitulah kehidupan rumah tangga Angga dan Inara selama ini. Jangankan keluarganya, seluruh kampung tahu jika bahtera yang mereka jalani begitu indah. Tak jarang keduanya bejalan kaki sambil berpegangan tangan hanya sekadar untuk berkeliling kampung dan melakukan kegiatan receh lainnya yang mengundang perhatian banyak orang.

Semenjak Angga menjadi PNS, ekonomi mereka juga mulai terdongkrak. Dari yang makanannya hanya tahu dan tempe, kini daging dan makanan bergizi lainnya mudah dikonsumsi. Keduanya juga sering berbagi kepada fakir miskin di area dalam maupun luar kampung tersebut.

Setelah Angga selesai makan dan beristirahat di atas ranjang yang baru diganti sprei-nya tadi, Inara pun melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Ia mencoba menepis perihal bercak luas berkelir putih itu demi mengamankan pikirannya dari hal negatif. Ustadz yang biasa mengisi di pengajian desa Angga dan Inara sering berkata, jika pikiran buruk ternyata berpengaruh kepada kesehatan fisik.

"Wah! Dua kali cuci sprei, nih," sindir seorang tetangga yang menjabat sebagai sahabat Inara sejak kecil.

Inara terlihat sedang menjemur sprei untuk yang kedua kalinya di hari ini. Tentu itu menjadi bahan olokan orang yang mengetahuinya. Mereka pasti berpikiran, kalau Inara dan Angga bolak-balik menyetel adegan biru.

"Hust! Calon istri Ustadz Ridho jangan berisik!" Gadis berbibir tipis itu menunjuk wajah gadis seusianya dengan malu. Sebelah kakinya terhentak di tanah.

Padahal semua ini tidaklah seperti apa yang orang lihat. Inara bahkan tidak tahu kenapa ranjangnya bisa basah.

***

"Umi, nggak usah dandan cantik-cantik. Nanti kamu dilirik," teriak Angga dari keluar kamar di saat sang istri tak kunjung menampakan diri.

"Siapa yang dandan sih, Bi? Cuma pakai bedak tabur doang, supaya nggak pucet. Lagian, kita mau ke kajian, Bi, bukan kondangan." Inara menyahut dari dalam.

"Umi lagi ngapain sih? Kok nggak kelar-kelar."

"Sebentar, Bi. Masih pakai baju." Vokal Inara menyembur.

"Hah? Perlu dibantu nggak?"

"GAK!" Lengkingan Inara banter sekali.

Upaya Angga kembali gagal untuk mengacau sang istri. Inara buru-buru keluar demi menghindari bantuan Angga untuk memakaikannya pakaian yang ujung-ujungnya bisa menggagalkan kajian malam ini.

Tahu sendiri Angga bagaimana. Dia tipikal lelaki yang mempunyai kegagahan di atas rata-rata.

"Ayo, Bi!

"Eh, si Aina nggak sekalian ikut sama kita aja?" Aina adalah nama dari sahabat Inara yang menyindirnya tadi siang.

"Boleh, deh. Biar Umi panggil Aina dulu."

Jadilah mereka pergi bertiga. Aina duduk di jok mobil barisan ke dua, sementara Inara di samping suaminya.

Mereka bertiga tak pernah ketinggalan setiap ada pengajian. Semuanya giat menuntut ilmu. Aina dan Angga juga cukup dekat, mengingat Aina merupakan rekan sejawat Inara.

Kajian malam ini ada di desa seberang. Kegiatan tersebut berlangsung selama dua jam. Pematerinya adalah ustad Ridho, yakni calon suami dari Aina. Kabarnya, saat ini mereka sedang melakukan ta'aruf dan satu bulan lagi akan menikah.

Sekilas dilihat oleh Inara, jika suaminya dan Aina saling berpandangan lewat kaca spion tengah. Inara berdehem. Menghentikan kegiatan yang dianggapnya hanya kebetulan tersebut.

Usai aktivitas menimbah ilmu, mobil Angga melipir ke sebuah restoran tradisional. Malam-malam begini sekawanan cacing memang suka usil. Bisa ngamuk mereka, kalau tidak diberi jatah.

"Mas, pesen gulai kakap satu, nila bakar sambel jedor sama rica-rica kemangi."

"Loh, Bi. Kenapa kamu bisa tahu makanan kesukaan Aina juga?"

Inara kaget, ketika suaminya menyebutkan menu orderan yang ketiga secara spontanitas.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Zulaikha Najma

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku