Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
2
Penayangan
3
Bab

Namaku Adelaide. Lebih banyak orang memanggilku Addie walau aku lebih suka nama panggilan yang feminim seperti Adele misalnya. Aku putri tunggal dari salah satu pengusaha yang paling kaya dan terpandang di daerahku, atau mungkin kota, bahkan negara. Ah, aku tidak peduli. Aku bahkan tidak terlalu tahu bisnis apa dan di mana saja yang mereka jalankan tapi pastinya kami sangat berkelimpahan secara materi. Ayahku menjalankan banyak usaha baik legal maupun ilegal. Aku cantik dan bertubuh indah. Sungguh, percayalah. Tapi jika ada yang menganggap hidupku indah dan menyenangkan, lebih baik kalian diam. Karena sungguh kalian tidak tahu apa pun tentang diriku. Tentunya banyak lelaki ingin memilikiku, dan bahkan mungkin hidupku adalah hidup yang diimpikan para gadis lainnya. Hm, bicara soal mimpi, berhentilah bermimpi menjadi aku. Karena tidak ada yang sungguh-sungguh paham apa yang mereka impikan. Bahkan, jika itu mungkin, aku bersedia bertukar hidup dengan siapapun. Ya, siapapun. Aku hanya tidak ingin menjadi aku.

Bab 1 Prolog

Satu-satunya teman yang pernah kumiliki terbunuh.

Orang lain mungkin berpikir bahwa aku akan mengingat kematiannya dengan jelas, tetapi ternyata tidak. Setidaknya, tidak secara sadar. Ahli terapiku mengatakan bahwa itu adalah cara kita untuk mengatasi rasa kehilangan.

Namun aku ingat hari dimana aku bertemu dengannya. Seperti tato yang memudar, detail hari itu telah membekas secara permanen di otakku, meskipun samar.

Pertemuan kami bisa disamakan dengan sebuah dongeng. Ada seorang anak perempuan dan laki-laki, seorang ksatria dan seorang anak yang ketakutan. Tapi, di sinilah cerita kami berbeda dari kebanyakan cerita lainnya: dia lemah, dan aku kuat. Aku tidak pernah menjadi tipe gadis gadis dalam kesusahan, dan dia tidak pernah menjadi tipe pria ksatria berbaju zirah. Masa lalu kami terlalu tidak biasa untuk menciptakan stereotip seperti itu.

Pada hari aku bertemu dengannya, cuaca sangat dingin tidak seperti biasanya. Pepohonan tampak kering, cabang-cabangnya tidak berdaun. Bahkan, saat itu lebih terlihat seperti musim gugur dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Ayah dan Ibu bertengkar lagi. Aku ingat detailnya, tapi aku tidak ingat apa maksud pertengkaran itu. Aku ingat, Ayah memanggilnya dengan banyak nama panggilan buruk, dan Ibu membalas dengan nama pria lain, menyatakan bahwa pria-pria itu lebih baik daripada ayah.

Mataku berkedip-kedip gugup memandang Ibu dan Ayah, tanganku yang kecil memegang Dolly, boneka kesayanganku dalam genggaman maut. Aku mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh pengasuhku, pakaian putih yang mengembang dengan pita merah yang kontras. Dia juga mengepang rambutku menjadi dua kepang, dan saat itulah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa cantik.

Yang kuinginkan hanyalah menjadi gadis kecil yang ibu dan ayahku cintai dan inginkan.

"Mama! Ayah!" Aku memohon, suara kecilku bergetar. "Tolong berhenti berkelahi."

Ayah menatapku seolah dia baru menyadari aku ada di kamar bersama mereka. Alih-alih meminta maaf seperti yang kuduga jika terjebak dalam pertengkaran yang disaksikan bocah kecilnya, dia malah tampak hampir mengamuk. Bahkan saat itu, dia tidak suka aku menyelanya. Dia sebenarnya tidak suka aku melakukan apa pun, selain tersenyum seperti boneka cantik yang dia inginkan saat aku dilahirkan.

Sebelum aku sempat berpikir untuk berteriak, dia sudah meraih salah satu kepanganku dan menarikku keluar.

Lututku terseret di rumput, batu-batu kecil dan benda-benda tidak sedap lainnya masuk menempel ke kulitku saat gaunku terangkat. Gaun malang itu sendiri kini berwarna merah tua atau hampir coklat tua.

Darah, aku menyadarinya dengan kaku. Darahku dan juga Dolly, ayah tidak bersikap lembut pada Dolly. Isian Dolly, boneka malangku menutupi rerumputan, berceceran dan bercampur dengan aliran darah dari kakiku.

Aku menatap bonekaku cukup lama, hampir tidak mendengar kata-kata makian dan ancaman ayahku yang ditujukan kepada putrinya yang berusia enam tahun. Aku bahkan tidak merespon ketika dia menampar wajahku.

Tidak! Mataku tetap tertuju pada Dolly. Dolly tidak boleh pergi. Siapa yang mau mengadakan pesta teh denganku atau berpelukan denganku saat aku ketakutan di malam hari?

Aku tidak menangis saat menatap tubuh Dolly yang cacat. Aku terlalu mati rasa untuk itu, dan tetap saja, entah bagaimana aku tahu bahwa dia tidak nyata. Kita tidak mungkin meratapi benda mati.

Aku perlu beberapa tahun lagi, setidaknya sampai aku berusia tiga belas tahun, untuk memahami apa arti berkabung. Namun aku bukanlah penyelamat pada saat itu. Aku adalah pembunuhnya, aku yang menyebabkan dia cacat.

Mengingat kembali interaksiku dengan Dolly, aku merasa ironis karena aku kehilangan sesuatu yang penting bagiku di hari yang sama ketika aku mendapatkan sahabat terbaik yang pernah kumiliki.

Sambil terisak, aku melihat punggung ayahku masuk ke dalam rumah sampai pintu terbanting menutup, dia meninggalkanku sendirian berada di luar seolah-olah aku tak lebih dari sampah yang dibuang. Mungkin hanya itu saja hal berkesan yang pernah kualami bersamanya.

Aku perlu beberapa kali mencoba untuk bangkit berdiri. Tubuhku bergetar karena amukan tak terduga ayahku. Jika melihat ke belakang, aku kira kita dapat mengatakan bahwa kemarahan ayah adalah satu-satunya hal yang konstan dalam hidupku.

Tumpukan dedaunan berserakan di rerumputan dan trotoar, berderak di bawah kakiku yang berkaus kaki. Aku memeluk diriku sendiri, berusaha meringankan rasa perih di lenganku. Dinginnya angin menderu membuat bulu kudukku merinding.

Tanpa memikirkan tujuan, aku berjalan. Yang aku tahu hanyalah aku ingin menjauh sejauh mungkin dari dua orang yang seharusnya memberiku cinta tanpa syarat. Tentu saja, pemikiran ini baru muncul di benakku ketika aku sudah dewasa. Yang kuingat saat itu hanyalah bertanya-tanya mengapa Ayah tidak mencintaiku. Kenapa dia memukulku? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Mengapa aku gagal sebagai seorang putri, meski aku sudah mengenakan gaun baruku yang cantik?

Aku tidak menyadari seberapa jauh aku telah berjalan sampai aku menemukan taman bermain yang terjaga keamanannya.

Sebuah sekolah, aku terlambat menyadarinya. Seperti tempat ke mana perginya anak-anak di TV.

Aku belum pernah ke sekolah sebelumnya. Sepanjang ingatanku, Ayah sengaja mengurungku, dan karena itu aku bersekolah di rumah. Dia tidak ingin aku punya teman.

Anak-anak memanjat hutan buatan, bermain kejar-kejaran di lapangan, dan berayun di ayunan. Pemandangan itu tampak nyaris tidak nyata, dan otak kecilku berusaha memproses semuanya sekaligus.

Untuk sesaat, rasa cemburu menusuk dadaku. Aku adalah gadis yang memiliki segalanya, namun ironisnya, keterasinganku semakin terasa saat berada di hadapan orang-orang, setidaknya dengan orang yang diizinkan oleh orang tuaku untuk bergaul denganku, yaitu anak-anak eksekutif bisnis yang tengil.

Aku hanya menatap anak-anak di sekolah itu dengan kagum. Aku tidak hanya ingin bersama dengan mereka, aku ingin menjadi mereka.

Mataku melihat sekitar dan tertuju pada sosok yang berada di tengah-tengah kotak pasir. Dia membungkuk di atas truk mainan, rambut hitamnya tergerai sampai ke lutut. Dia tampak mungil bila dibandingkan dengan anak laki-laki di sekitarnya, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya.

Aku bergerak di sepanjang garis pagar sekolah itu dan menempatkan diriku di depan kotak pasir. Kini hanya pagar yang memisahkanku dari sosok peri mungil itu.

Aku menangkap akhir pidato dari anak laki-laki yang lebih tinggi di sana.

"...orang aneh. Mengapa kamu tidak mati dan tersedak pasir saja?" Anak laki-laki itu berseru pada si peri mungil.

"Hai!" Aku berteriak sebelum sempat memikirkan kembali keputusanku. Karena, memang aku tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan keputusanku...

Aku mengepalkan tanganku dan membenturkannya ke pagar. Suara gemeretak pagar melebihi suaraku, mengagetkan para pengganggu itu. Orang yang awalnya kudengar berbicara menyipitkan matanya ke arahku.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu bahkan tidak bersekolah di sini!"

Aku berusaha menjaga suaraku tetap nyaring, seperti yang selalu dilakukan ayahku. "Berhentilah mengganggu gadis itu, dan aku akan pergi!"

Entah kenapa, kata-kataku membuat anak-anak itu tertawa lagi.

"Lihat, hei orang aneh? Bahkan orang asing pun mengira kamu perempuan!" Sebuah suara baru menusuk dari sosok berambut panjang di belakang anak laki-laki tinggi itu. Dalam pikiranku, aku menyebut anak ini sebagai Short Stack. Sebenarnya tidak ada alasan, kecuali kenyataan bahwa wajahnya tampak seperti ada yang mengolesi sirup lalu menempelkan semen ke sirup tersebut. Yup, dia jelek sekali. Bukan hanya rupanya, bahkan sikapnya pun sama jeleknya.

Ketika anak kotak pasir itu berbalik untuk memukul tangan Short Stack, aku menyadari bahwa dia bukanlah perempuan, melainkan laki-laki. Dia jelas-jelas memiliki ciri-ciri yang maskulin. Matanya yang tajam menatapku dengan kesedihan dan rasa dikhianati sehingga jantungku mulai berdebar kencang di dadaku.

"Tinggalkan dia sendiri," kataku, dengan bangga aku menjaga suaraku tetap stabil. Mataku tak pernah lepas dari wajah anak laki-laki berambut panjang itu.

"Atau apa yang akan kamu lakukan, Nak?" kata salah satu pengganggu, aku tidak melihat yang mana yang mengejek.

Tidak mungkin aku bisa mengalahkan anak-anak ini dalam pertarungan fisik, tapi ada satu hal yang tidak bisa mereka lakukan. Pengetahuan berlimpah tentang fakta-fakta tidak berguna yang tidak boleh diketahui oleh anak berusia enam tahun.

"Apakah kamu tahu siapa aku?" tanyaku sambil meluruskan tulang punggungku. Itu tidak banyak menambah tinggi badanku yang pendek, tapi itu membuatku merasa agak angkuh terhadap para pengganggu ini.

"Seorang gadis mungil?" Pengganggu 1 - sebut saja dia Turd Wiper -

"Aku dokter termuda di dunia," aku berbohong sambil menyilangkan tangan di depan dada. Short Stack mendengus, tapi Pengganggu 3 – Tidak Cukup Relevan dengan Namanya – tampak sedikit cemas.

"Omong kosong," kata Turd Wiper.

"Itu benar. Dan jika kamu tidak berhenti mengganggunya, aku akan mencabut mitokondriamu, dan kamu akan mati."

Kata-kata gertakan kosong itu membuat mereka terkesiap. Tiga pasang mata menatap wajahku dengan tingkat kengerian yang berbeda-beda.

"Kamu tidak bisa – kamu tidak bisa melakukan itu!" salah satu dari mereka tergagap. Aku yakin yang aku katakan adalah hal yang tidak relevan dan juga omong kosong.

"Mitokondria adalah pembangkit tenaga listrik sel. Jika kamu tidak memilikinya, kamu akan mati," ucapku dengan lebih lantang

"Tetapi-"

"Dan aku juga akan memberimu hidrosefalus!" Anak-anak itu bergeser dengan gelisah. "Dan kepalamu akan meledak."

Jika aku mengingat kejadian itu, aku tidak tahu apakah kata-kataku yang tidak masuk akal atau senyumanku yang sedikit sinislah yang menyebabkan mereka ketakutan. Atau mungkin karena ketulusan hatiku saat mengancam akan membunuh mereka. Apa pun yang terjadi, anak-anak itu lari seolah-olah ada anjing dari neraka yang mengejar mereka dan mencoba menggigit tumit mereka.

"Betul begitu, larilah para pecundang. Selamatkan dirimu!" Aku berteriak pada mereka. "Dan jangan biarkan ayunan itu menghantammu saat keluar!"

Aku menunggu sampai mereka hilang dari pandangan, pastinya sedang mengadu kepada seorang guru. Lalu aku berbalik ke arah anak laki-laki mungil tadi.

"Apakah kamu baik-baik saja?" Aku bertanya dengan agak ragu-ragu. Aku takut dia juga akan lari dariku.

Meskipun dia tidak lari, dia juga tidak menyapaku. Dia terus menatapku seolah-olah aku adalah spesimen eksotik, seekor zebra di antara kawanan domba.

"Namaku Adelaide," kataku setelah hening beberapa saat yang tidak nyaman. "Siapa namamu?"

Awalnya, kupikir dia tidak akan menjawab, tapi dia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.

"Ducky?" tanyaku, takut aku salah dengar. Karena dia tidak mengoreksiku, aku tersenyum padanya. Aku yakin aku terlihat berantakan, dengan rambut acak-acakan dan gaun berlumuran darah. Dia benar-benar tersenyum kembali padaku.

"Yah, Ducky, aku ingin tetap di sini, tapi kurasa orang-orang brengsek itu akan kembali dan membuatku mendapat masalah."

Wajah Ducky murung seolah kecewa karena aku tidak bisa tinggal lebih lama. Terpikir olehku bahwa aku juga tidak ingin pergi. Ada kesedihan di wajahnya yang aku tahu sama dengan wajahku. Kami berdua patah hati dan sangat membutuhkan seorang teman.

"Bagaimana kalau aku kembali besok?" tanyaku, "Aku akan menemuimu di sini?"

Senyuman yang terpancar di wajahnya sungguh menenangkan.

Senyuman yang sama yang menghantuiku selama bertahun-tahun setelah kematiannya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku