Dunia ku adalah dunia yang hina bagi kedua orang tuaku. Mereka berada di dunia yang penuh dengan aturan, sedangkan aku tidak. Sebenarnya mereka mengajarkan ku untuk tinggal di dunia yang dipenuhi dengan aturan dan juga kebajikan. Tapi, sayangnya, aku tersesat dan tertinggal di dunia yang sekarang ku injak ini - Penghinaan. Semua itu adalah istilah saja. Aku tidak bermaksud membuat dunia yang berbeda dari dunia sekarang. Tapi, sebenarnya yang ku maksud adalah dunia yang dipenuhi dengan dosa. Mengertilah ini semua karena cinta. Salah?
HAAAA...
Sebuah sinar yang sangat terang muncul di depanku secara tiba-tiba. Aku berteriak keras tapi tidak bisa mendengar seberapa besar teriakanku. Telingaku seperti tersumbat oleh batu yang besar. Semua terasa cepat, seolah-olah ada yang berjalan di sekelilingku. Aku menutup mata seraya sinar tersebut menarikku ke dalam. Sinar tersebut terasa hangat seperti selimut tebal yang membungkus tubuhku dan membuatku berkeringat. Ada perasaan seperti tubuhku terpotong-potong, mengecil dan terasa ringan seperti udara.
Selama masa yang singkat itu aku berpikir bahwa kematian telah menangkapku. Sinar yang terang yang tadi muncul, bisa jadi sinar yang bisa membuatku tentram di kehidupanku selanjutnya.
Aku mulai lelah berteriak. Aku berhenti dan berkata dalam hati, bahwa sudah saatnya aku menerima balasan dari perbuatanku. Kematian adalah sebuah balasan yang masuk akal atas dosa yang kuperbuat.
Wait a minute! I think I left my consciousness in the 6th dimension... (Kenapa jadi nyanyi di tik tok yak!)
Kembali ke topik.
Tapi, tidak. Telah lama menunggu, aku merasa baik-baik saja dan sinar tersebut telah menghilang. Aku bisa merasakannya dari balik kelopak mataku. Aku pun membuka mata ingin melihat apa yang terjadi. Tiba-tiba aku berada di tempat yang tidak ku kenal. Aku berpindah tempat. Tapi, kenapa daerah ini kelihatan begitu kuno?
Aku menyingkirkan sebentar pertanyaan-pertanyaan itu. Aku membersihkan tubuhku yang kotor terlebih dulu karena sekarang, aku berbaring di tanah. Aku berdiri sambil membersihkan lumuran pasir di tangan dan bajuku. Tak sengaja, aku melihat ke kanan. Ada rumah di kanan ku. Rumah itu terbuat dari kayu dan sangat sederhana. Desain dari rumah itu juga sangat kuno. Dibuat dari kayu dengan atap genteng. Kenapa masih ada desain seperti itu di tahun 2022 ini?
Di kiriku ada pagar yang terbuat dari kayu-kayu yang dibuat mengelilingi sebidang tanah. Ternyata itu adalah kandang sapi. Apa benar ini di Medan?
Aku penasaran di mana aku berada. Cahaya yang tadi ada di depanku membawaku ke tempat ini. Apakah ini kehidupan selanjutnya yang harus ku tempuh?
Suasana di sekitarku tampak asri. Langitnya begitu cerah. Aku bisa yakin bahwa polusi tidak ada disini, tidak seperti kota tempat tinggal ku.
Aku berdiri sambil melihat ke atas dan mencoba mengingat apa yang kulakukan sebelumnya. Awalnya aku berada di belakang bengkel ayah di dekat mobil tua itu, tapi saat aku terbangun aku berada di tempat yang berbeda. Aku sudah mati atau masih hidup? Kenapa keadaan disini sangat berbeda?
Sesuatu mengalihkanku. Suara-suara anak kecil terdengar. Aku mengintip dari kejauhan dengan bersembunyi di semak-semak. Aku takut ada orang yang berbuat jahat kepadaku karena melihat cara berpakaianku. Dari tampilanku sudah pasti aku tidak berasal dari daerah ini.
Aku melihat ada dua orang wanita yang berpakaian sederhana sambil menggendong anak mereka yang masih balita. Disampingnya, ada anak kecil yang tidak memakai baju, sedang meminta dibelikan makanan dari pedagang asongan yang baru saja datang. Ibu-ibu yang menggendong anak tersebut terlihat menyanggul rambutnya ke belakang dengan menggunakan tusuk rambut.
Aku melihat baju yang kupakai dan membandingkannya dengan baju yang mereka pakai. Baju yang mereka pakai sangat berbeda denganku. Wanita dan ibu-ibu memakai sarung batik sebagai pengganti rok mereka. Para pria juga memakai sarung tapi hanya sampai melewati lutut. Mereka juga memakai peci dengan corak batik di kepala mereka.
Aku terkejut. Aku sudah yakin, bahwa aku tidak berada di Medan. Aku berada di sebuah desa yang tidak ku tahu dimana.
Di tahun 2022, siapa yang memakai baju kuno seperti ini? Apakah aku berpindah tempat ke negeri pelosok kalimantan atau mungkin NTT? Apa aku melewati lubang cacing sehingga bisa berpindah tempat? Aku semakin bingung. Aku meletakkan tanganku di jantungku. Aku terpaksa harus menekannya kuat, karena detak jantungku begitu kencang. Rasanya, jika aku lepaskan tanganku, jantungku bisa keluar melewati kulitku dengan mudah.
Aku menarik napas agar lebih tenang. Aku ingin tahu apakah ini mimpi atau tidak. Jika tidak mimpi, mungkin aku harus mencari cara untuk kembali ke dunia ku.
Saat sibuk memikirkan perbedaan dandanan mereka, aku malah ingin buang air kecil. Perutku juga sakit. Kakiku bergetar karena memikirkan keberadaanku. Kenapa tiba-tiba aku ada disini. Aku masih bertanya-tanya.
Angin yang kencang bertiup hingga selembar koran menutupi wajahku. Tidak ku sangka apa yang ada di film-film itu benar, bahwa ada kejadian, saat angin kencang, kertas-kertas bisa menabrak wajah orang yang berjalan kaki. Seperti itulah diriku sekarang. Koran ini menempel tepat di wajahku. Bagiku, ini lebih seperti keadaan sial.
Aku mencoba mengeja kalimat besar dari berita utama di koran tersebut.
"Bapak Pieters di toendjoek melakoekan persiapan koloni!"
Ejaan yang dipakai sudah sangat lama. Bukankah ejaan van Ophuysen? Ini ejaan yang sudah lama sekali dan tidak lagi dipakai di Indonesia.
"Koran De Java Post."
Aku tidak pernah mendengar nama koran ini. Aku mencari tanggal terbitnya koran ini.
"30 Juli 1920!"
Aku langsung lemas saat melihatnya. Berarti aku sedang kembali ke masa lalu? Aku sangat takut. Tangan ku gemetaran karena tahu aku terjebak di waktu yang berbeda.
Kalau begitu, aku bukan berpindah ke alam lain, melainkan datang ke masa lalu. Seharusnya aku lega, aku bukan mati. Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini?
Aku menggigit jari sambil berjalan mondar mandir. Aku mencoba mengingat apa yang ku perbuat sebelumnya hingga sinar yang terang itu muncul. Aku sudah mencoba untuk mengingatnya. Tapi, malah tangisan dari anak perempuan yang meminta es kelapa yang muncul di pikiranku.
Aku tidak bisa berpikir. Apa ada yang bisa membantuku di dunia ini?
Aku tidak bisa diam saja. Meski aku tidak bisa keluar dari sini, aku harus berupaya untuk bertahan hidup. Tunggu, perutku sakit. Aku lupa, kalau aku sedang hamil. Tidak mungkin ini tanda-tanda ingin melahirkan karena usia kandunganku baru lima bulan. Aku menjadi lemas karena menahan rasa sakit ini.
Karena tidak tahan lagi dengan rasa sakitnya, aku pun duduk dan menyandarkan diri pada dinding kayu rumah itu. Aku tidak peduli ada semut yang berkeliaran di tanah lagi. Setidaknya perasaan ku lebih baik setelah duduk. Nafasku tersengal-sengal dan keringatku bercucuran. Ini sepertinya akibat dari terlalu banyak berpikir. Aku seharusnya tidak terlalu khawatir. Tapi, bagaimana mungkin aku santai saja saat aku mengetahui aku berada di masa lalu?
Dimana Mikhael? Mungkin dia tahu harus berbuat apa. Apakah saatnya aku berdoa kepada tuhan untuk meminta pertolongan?
***
Aku membuka mata.
"Hai! Apakah kau bangsa Eropa?" Kata seorang anak perempuan yang tiba-tiba muncul di atasku.
"Dimana topi yang biasa kau pakai di kepalamu? Biasanya orang Belanda selalu memakai topi kecil di kepala mereka!" Katanya lagi dengan polosnya.
Aku terkejut. Aku langsung duduk dan menjauh darinya. Lalu seorang anak laki-laki, lebih kecil darinya berkata, "Dia menjadi takut karena kakak tidak memperkenalkan diri."
Anak perempuan itu mendekat kepadaku setelah ia diberi saran.
"Goedenacht! Nama saya Anjani!"
"Hallo! Saya Bayu!"
"Siapa kalian?" Tanyaku sambil mencoba untuk duduk.
"Kami menemukan nyonya di samping rumah kami. Lalu ayah membawa anda ke sini!" Jawab anak lelaki tadi, yang bernama Bayu.
"Apakah ini tahun 1920?"
Anjani mendekatkan wajahnya, "Ya, anda benar! Ini tahun 1920."
Aku benar-benar terkejut. Aku menghela napas karena tidak bisa mengambil kesimpulan. Ini bukan mimpi. Ini benar-benar nyata.
"Baju yang kamu kenakan sangat indah. Apakah itu terbuat dari wol?" Tanya Bayu.
Aku memakai daster saja. Disini sepertinya tidak umum untuk menggunakan daster seperti yang kupakai, karena itulah dia tampak bingung dengan cara berpakaianku.
"Bukan, ini tidak terbuat dari wol. Ini hanya baju biasa."
"Perutmu membesar, apakah ada anak bayi di dalam sana?" Tanya Anjani.
"Ya, saya hamil."
Mendengar jawabanku, mereka berdua tersenyum dan terlihat senang.
Bayu masih penasaran dengan bajuku. Dia masih membahas tentang itu.
"Kau tidak tahu bahan pembuatan dari baju mu sendiri?" Tanya Bayu dengan penasaran.
Saat aku akan menjawab, ibu anak-anak itu datang dan menyuruh mereka menjauh dariku agar aku bisa beristirahat.
"Anda sudah merasa lebih baik?" Tanyanya. Ia membawa sesuatu dari tempat yang terbuat dari batok kelapa. "Minumlah ini. Bayi yang ada di perut anda sedang tidak sehat. Karena itulah anda pingsan."
Aku menatap wanita dengan sanggul sederhana di kepalanya. Ia duduk di depanku sambil kesulitan untuk duduk karena dia sedang menggendong bayinya. Ia melepaskan ikatan kain gendongnya, setelah aku mengambil minuman buatannya.
"Iuhh.. Pahit!"
"Ini bisa meredakan rasa sakitmu karena sedang mengandung. Kenalkan," dia tersenyum padaku. "Saya adalah ibu dari Anjani dan Bayu. Anjani anak pertama, dan Bayu anak kedua. Yang ini," memaksudkan anak yang sedang digendongnya, "Yang ketiga, Dika!"
Senyuman wanita itu sangat lembut. Aku bisa langsung percaya bahwa dia adalah wanita yang baik.
"Apakah kau seorang bangsawan?" Tanyanya padaku.
"Bukan!" Jawabku singkat setelah meminum jamu yang diberikannya. Rasa dari jamu itu pahit tapi tidak sepahit obat. Setelah minum jamu tersebut, perutku terasa lebih baik dibandingkan sebelumnya. Reaksinya sangat cepat.
Tiba-tiba seseorang datang ke rumah tersebut dengan terburu-buru. Dia berkata kepada ibu dari kedua anak itu, "Tuan Straiger datang. Ayo kita meminta bantuannya. Dia pasti memberikan kita sedikit uang!"
Mereka semua dengan cepat keluar dari rumah meninggalkanku sendiri. Mendengar kata Straiger, aku jadi ingat nama belakangku. Di dunia yang kuno ini, ternyata ada nama yang keren juga. Aku ingin melihat seperti apa tuan Straiger itu.
Aku pun keluar. Ternyata, hari sudah malam, tapi ada banyak orang yang mengerumuni -nya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku masuk ke dalam kerumunan tersebut hingga aku terjatuh dan mereka berhenti bergerak. Seseorang memberikan tangannya kepadaku. Dia dengan baik hati mau membantuku berdiri.
Aku terkejut melihat wajah itu. Kenapa wajahnya sama dengan kakek?
Buku lain oleh The Mask
Selebihnya