Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rumah Tanpa Buah Hati

Rumah Tanpa Buah Hati

Mas Khalid

5.0
Komentar
1.2K
Penayangan
21
Bab

RUMAH TANPA BUAH HATI Alice menatap sendu ke arah luar jendela rumahnya. Tampak terlihat anak-anak kecil tengah bermain bola di depan rumahnya. Ramai, bising, dan gelak tawa yang membuat orang lain terganggu, tapi tidak dengannya. Ia selalu merindukan momen dimana anak-anak bermain di depan rumahnya. Terkadang, ia memberikan makanan atau minuman ringan untuk mereka semua. Alice tersenyum, saat melihat bocah kecil itu tertawa riang melihat aneka jajanan yang diberikan olehnya. Sesekali ia menghapus buliran bening, yang membasahi pipinya. Ia kembali teringat akan ucapan sang ibu mertua, yang membuatnya menitikkan air mata. Sang ibu mertua menyindirnya, saat ia dan suami berkunjung kesana. Sindiran tajam yang terdengar biasa bagi yang lain, tapi tidak bagi Alice. Anak, adalah sosok yang selalu menjadi buah pertengkaran antara dirinya dengan sang ibu mertua. Acapkali sang ibu mertua menolak bertemu dengannya, jika ia datang dengan tidak menggendong seorang buah hati. Berulang kali Alice menghapus air matanya, namun malah semakin deras mengalir membasahi pipinya. Suara riuh gelak tawa anak-anak tetangganya, selalu menjadi hiburan tersendiri untuknya. **

Bab 1 Kau wanita mandul!

Part 1

"Dasar mandul!"

Alice hanya menahan tangisnya, manakala mendengar ucapan Mariam, sang ibu mertua barusan.

Matanya menatap ke arah Barana, suaminya. Seolah memohon bantuan dan juga pembelaan atas semua cacian dari sang ibu mertua.

Tetapi Alice malah mendapatkan kekecewaan, manakala melihat Barana tidak bereaksi sedikit pun atas ucapan yang dilontarkan oleh Mariam.

"Orang lain mungkin sudah punya anak dua, mengingat usia pernikahan kalian sudah tujuh tahun. Lah ini, satu orang anak pun belum juga dapat kamu berikan kepada kami." Mariam menatap sinis ke arah Alice.

Wanita paruh baya itu memainkan wajahnya, menahan emosi manakala menatap wajah Alice yang terlihat datar, meski menahan air mata.

"Coba kau tengok mantan kekasihmu itu, Bar! Sudah punya anak tiga dia, lucu dan tampan anaknya. Andaikan kau jadi menikah dengannya, takkan malu aku melihat rumah tangga kalian ini." Wanita paruh baya itu pun berdiri dan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Alice dan juga putranya yang sejak tadi duduk terdiam.

"Kita pulang yuk, Mas. Aku sangat lelah." Alice berkata dengan nada lirih dan menahan tangis agar tidak tumpah di rumah itu.

Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung dan nyaman untuk dia kunjungi itu, malah membuat dirinya merasa bagaikan di neraka setiap kali berkunjung ke sana.

Barana tidak menjawab, namun ia langsung berdiri dan melangkah menuju kamar sang ibu. Tampak terdengar ia tengah berpamitan kepada Mariam, yang enggan untuk keluar menemui Alice.

"Sudah kubilang, aku tidak ingin sering-sering ke rumah ibu." Alice berbicara dengan nada sedikit tercekat, saat keduanya telah berada di dalam mobil.

Barana hanya terdiam, ia tetap fokus membawa kendaraannya melintas di jalanan ibu kota yang cukup lengang. Berulang kali ia menoleh ke arah Alice, namun kembali lagi menatap ke arah depan.

"Apa tidak lelah, ibumu mencaciku sejak dulu, Mas? Apa hanya itu yang ada dalam benak ibu, dalam melihat diriku? Kesempurnaan seorang wanita yang hanya terlihat dari posisinya memberikan seorang keturunan." Alice kembali berucap. Kali ini air matanya sudah membanjiri kedua pipinya yang halus mulus.

"Padahal, kehamilan itu bisa terjadi karena kedua belah pihak. Akan tetapi, mengapa hanya perempuan yang di salahkan, manakala tidak dapat memiliki seorang anak." Suara Alice kembali terdengar. Kali ini suara lembut itu kembali mulai terdengar parau.

Barana segera menoleh, manakala mendengar ucapan Alice barusan. Kedua bola matanya langsung membulat kemudian berkata, "Maksudmu apa bicara seperti itu? Kamu menuduh aku yang mandul gitu? Tidak hanya dirimu saja yang mandul? Enak saja! Jangan bicara sembarangan kamu. Tidak ada dalam sejarah keluarga besarku mandul!"

Alice menatap wajah Barana dengan tersentak. Wajahnya memanas, dan membuat kedua netranya kembali mengeluarkan air mata.

"Jawab Alice! Kamu pasti berpikir jika aku yang mandul. Begitukan?!"

"Aku tidak bermaksud seperti itu, Mas. Tapi maksudku, cobalah periksakan dirimu juga ke dokter. Jadi kita tahu apa yang sebenarnya terjadi dan bisa langsung diberikan solusinya." Alice menatap wajah suaminya dengan sendu. Ia tak ingin menyakiti perasaan orang yang sangat dicintainya tersebut.

"Aaah! Apa bedanya? Tetap saja itu berarti kau menuduhku yang mandul. Makanya menyuruhku untuk berobat ke dokter kandungan. Jangan kau limpahkan kekuranganmu, dengan menyuruhku ke sana! Pikirkan saja bagaimana caranya agar kau bisa hamil!" Dengan penuh emosi Barana pun segera membawa kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Hingga akhirnya ia tersadar setelah beberapa kali hendak menabrak pengguna lain.

**

Selalu seperti itu. Barana akan meluapkan kemarahannya, jika Alice mengajaknya untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan.

Kebetulan sahabat kuliah Alice merupakan seorang dokter. Meskipun hanya seorang dokter umum, namun sahabatnya itu memiliki rekomendasi program bayi tabung bagi keduanya.

Alice pun antusias manakala mendengar semua saran sahabatnya tersebut. Ia pun sejak saat itu mulai menabungkan sebagian penghasilannya, agar dapat melakukan program bayi tabung.

Sayangnya, setiap ia mengajak Barana untuk pergi ke dokter bersama-sama, pria itu malah menolaknya. Bahkan tak jarang marah-marah, karena tidak terima dituduh mandul.

Pernah suatu hari Alice memaksanya untuk menemani ke dokter kandungan.Hal itu merupakan jalan satu-satunya, agar dapat membawa Barana ke dokter kandungan.

Akan tetapi saat itu juga Barana marah besar. Ia tidak pulang ke rumah selama beberapa hari dan pulang ke rumah Mariam. Hingga akhirnya ia mendatangi rumah mertuanya dan meminta maaf.

Semenjak itu, Alice tak lagi meminta Barana ke dokter kandungan. Meski hanya untuk menemani dirinya memeriksakan kandungannya.

**

Beberapa bulan kemudian.

"Mas, bangun. Sudah pukul lima pagi. Bukankah kamu ada meeting hari ini?" Alice membangunkan Barana, yang masih tertidur dengan nyenyak.

"Mas ...." Alice kembali membangunkan dengan suara lembutnya.

"Hmmm,"

"Bangun, sudah pukul lima pagi."

"Iya." Suara Barana yang terdengar serak, membuat Alice tersenyum.

Tiba-tiba Barana memeluknya dengan erat dari belakang. Ia menciumi tubuh Alice dengan lembut dan berbisik, "Hamil ya, Sayang. Tunjukkan pada keluargaku jika kamu adalah wanita yang sempurna."

Alice tersenyum dan membalikkan tubuhnya. Ia pun memeluk erat tubuh Barana dan akhirnya mereka pun larut dalam percintaan di pagi hari.

Usai kejadian pagi tadi. Alice terlihat begitu semangat menjalani aktivitasnya di kantor. Senyum manisnya tak pernah lepas dari bibir tipisnya.

Beberapa teman satu ruangannya bekerja hanya menggelengkan kepala mereka. Seolah paham dengan apa yang terjadi pada diri Alice sebelum berangkat ke kantor.

Semua orang menyukai Alice. Wanita cantik, dengan tubuh tinggi semampai. Senyuman selalu menghiasi bibirnya dan bersikap ramah kepada siapapun.

Beberapa teman dekat Alice di kantor juga menyayangkan keadaan rumah tangganya yang belum juga diberikan seorang anak. Bahkan tak jarang dari mereka memberikan referensi untuk menemui dokter kandungan yang terkenal.

Alice sudah mengikuti saran teman-temannya kantornya, ia mendatangi dokter-dokter tersebut dan hasilnya kandungan ia dinyatakan sehat dan baik-baik saja.

Hingga suatu hari, Alice bertemu dengan sahabatnya saat kuliah dan merekomendasikan untuknya melakukan program bayi tabung.

"Lice,"

"Apa,"

"Udah ke dokter lagi?" Kania salah satu rekan kerjanya bertanya dengan hati-hati.

"Baru kemarin malam, Nia. Kenapa? Tumben nanyain?" Alice dengan santai menjawab pertanyaan rekannya tersebut.

"Mas Bara mau nemenin?"

Alice hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Senyum manis yang dapat meluluhkan hati siapapun yang melihatnya, bahkan sesama kaum hawa sekalipun.

"Kamu jangan senyum gitu, ah! Bikin aku gak jadi kesel sama mas Bara." Kania kembali ke kursi kerjanya dengan wajah ditekuk.

Alice kemudian tertawa melihat sikap Kania barusan. Sebenarnya, ia sedikit terhibur jika berada di kantor. Sebab hanya di kantor saja, ia merasa dihargai dan tidak pernah dihina perihal kondisinya saat ini.

"Lice," Kania kembali memanggilnya.

"Apa lagi, Nia?"

"Maaf nih ya. Aku kok jadi mikir, jangan-jangan mas Bara yang mandul." Kania berkata dengan nada berhati-hati, namun mampu membuat Alice terkesiap.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku