Rumah Tanpa Buah Hati
rt
ulang. Ia tak ingin lagi berlama-lama di situ. Tu
anjak larut malam. Suara deru motornya tenggelam, bersama s
perdulikan sahabatnya itu membalas atau tidak. Terpentin
ya membuat ia tiba di sebuah perumahan yang cukup lua
onselnya dan membaca balasan p
mahku selalu terbuka untuk
an motornya masuk, ke dalam perumahan ter
karena dihiasi dengan beraneka ragam tanaman di halaman rumah.
di luar!" seruan Kania membuat Alice se
itu. Mata Alice berkeliling, mengamati situasi rumah Kania. Ia
luar kota selama beberapa hari." Kania berkata samb
endek, dan segera meletakkan tubuhn
iarkan Alice sendirian di ruang tamunya, dan ia pun
" Kania menyodorkan secangki
gukan kepalanya sekilas. Lalu ia kemb
enceritakan apapun, lebih baik sekarang istirahatlah. Tubuh dan jiwamu mem
aca-kaca, dan tiba-tiba pandangannya mendadak gelap disertai ra
rih seraya mengedarkan panda
dan security perumahan pun langsung membawamu ke rum
sar dan menghapus titik-titik air
jika hanya membuat hatimu semakin merasa sakit." Lirih suara Kania ter
t. Meski bukan untuk selamanya, tapi setidaknya dapat mengangkat beban berat d
berselang seorang suster datang mengh
juga ya, Bu?" tanya s
inya?!" sahut Kania seraya kembali
sekaligus ingin menanyakan, apakah pasien bersedia di rawat inap di sini?" S
aja,
ak p
sang suster. Mata mereka pun bertemu, seolah m
skan sahabat saya ini rawat inap?" Kania kemb
ada beberapa hal yang ingin beliau sampaikan." Suster menjawab seraya membe
i, Sus!" cetu
u. Bukannya takut, Kania malah terkekeh me
." Alice langsung menyanggah
Sus!" Kania kembali melontarkan uca
. Ia sempat melirik ke arah Alice dan mulai memahami j
ini sejak tadi. Karena saya langsung menghubunginya, ketika sahabat saya ini pertam
nya kembali memanas dan mulai me
enasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh sang dokter
dan Kania. Sehingga membuatnya langsung kembali duduk dan dengan seketika ia menyilangkan k
cetus Kania tanpa ekspresi s
at membalas pesanmu." Barana segera duduk di sampi
an untuk bertemu dengan dokter ya, Pak. Mari ikuti saya."
arana, yang masih terdiam di sis
apan suster bar
era berlari mengikuti je
presi khawatir ataupun sedih sedikit pun." Kania mengomentari s
tu. Terlebih melihat sikap Alice yang hanya ter
tap tajam ke arah Alice yang merupakan atasannya di kantor. Tetapi jika di l
irih Alice mulai terdengar. Bahkan nyaris tidak terd
gera berdiri dan bersiap untuk keluar ruangan UGD. M