Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Perselingkuhan Liar Istriku

Perselingkuhan Liar Istriku

Gemoy N

5.0
Komentar
109.7K
Penayangan
169
Bab

Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"

Bab 1 Part 1

Namanya Mirza Amalia, seorang dokter, pengusaha, dan aktivis sosial. Ia berasal dari keluarga pejabat di kota ini. Priviledge itu juga yang membuatnya kini memimpin sebuah rumah sakit. Padahal, usianya baru 37 tahun ini. Ia juga seorang ibu dari anak laki-laki berusia 7 tahun dan istri dari seorang dokter spesialis penyakit dalam yang cukup populer. Mungkin, sebagian besar orang di kota ini mengenalnya. Entah sebagai keluarga pejabat yang memang turun temurun di sini itu, atau sebagai Mirza Amalia. Dengan segala keberuntungan itu, rasa-rasanya, tak ada yang kurang dalam hidup yang Ia jalani.

Selain memimpin sebuah rumah sakit swasta, Mirza juga mendirikan sebuah sekolah islam untuk anak usia dini hingga menengah. Sekolah ini Ia dirikan bersama dengan saudara-saudaranya. Kini, sekolah tersebut menjadi salah satu favorit karena memang berkualitas dan cukup mahal tentunya. Kemampuan manajerial didukung sumber daya yang mumpuni membuat Mirza tak kesulitan membesarkan bisnisnya.

Kesibukan bisnis itu tampak tak cukup baginya. Ia butuh ruang ekspresi lain. Ia ingin mengabdikan dirinya untuk orang lain. Maka, beberapa tahun ini Mirza sangat aktif dalam kegiatan sosial. Baik di bidang kesehatan maupun pendidikan. Dua bidang yang memang Ia tekuni. Hasilnya, Ia menjadi orang yang amat dipercaya. Memimpin sebuah organisasi non profit di bidang kesehatan juga rutin melalukan penggalangan dana untuk pendidikan anak kurang mampu. Wanita yang sempurna. Bahkan Ia tak sempat mengaplikasikan ilmu kedokterannya. Dunia bisnis dan aksi sosial lebih menarik baginya.

Mirza merupakan perwujudan wanita idaman bagi banyak laki-laki. Tentu bukan laki-laki patriarkis yang hanya ingin mendominasi wanitanya. Kepribadian yang mulia serta kecerdasan mumpuni tentu tak lengkap jika tak didukung kondisi fisik. Bagaimana pun juga, yang pertama di lihat seseorang adalah bentuk fisiknya. Namun Mirza tak memiliki tubuh seperti model atau cerita-cerita serupa yang mengimajinasikan tubuh sempurna. Ia nampak seperti wanita yang umumnya berusia 37 tahun. Tubuh sedikit lipatan di beberapa bagian, juga tak terlampau langsing. Dengan tinggi 165 cm, tubuhnya nampak segar dan sedikit berisi. Namun karena kulit putih dan bentuk wajah yang tidak membosankan, kondisi fisik lain boleh dipinggirkan. Ia pun memakai hijab dan pakaian longgar saban hari. Jika mengedepankan ketertarikan fisik, Ia tentu tak masuk pada imajinasi sebagian besar orang. Tapi, Mirza tetap memiliki pesona yang menarik bagi banyak laki-laki. Sebagai seorang aktivis sosial, Ia sangat supel. Cara bicaranya juga amat menyenangkan. Siapa pun yang menjadi lawannya bicara pasti merasa nyaman.

Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Selain Tuhan, rasanya siapa pun memiliki kekurangan, apalagi Mirza yang hanya manusia biasa. Priviledge dan segala kemudahan hidup yang Ia dapatkan dilengkapi dengan sedikit kekurangan. Kita akan membahasnya sedikit pada bagian ini.

Bagi semua orang yang melihat kehidupan rumah tangga Mirza dan Hanif, suaminya, sepakat bahwa mereka memiliki keluarga yang harmonis. Pernikahan mereka telah berumur 14 tahun. Bukan waktu yang singkat tentunya. Meski hanya memiliki satu anak, tak ada yang menyangsikan keharmonisan keluarga tersebut. Tapi itu lah yang bisa dilihat orang lain. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam, selain mereka yang menjalani. Hanif berusia 10 tahun lebih tua. Sebagai keluarga terpandang, mereka bertemu berkat perkenalan keluarga. Masa perkenalan yang singat tak jadi soal saat itu. Mereka saling mencintai seiring berjalannya waktu. Permasalahan ternyata baru muncul 10 tahun kemudian. Mirza merasa tak bahagia secara batin. Mereka memang baru memiliki anak di usia pernikahan ke-7. Itu pun dengan program in vitro fertilisation atau dikenal orang dengan bayi tabung. Tak ada yang tahu ini selain keluarga besar mereka. Sebenarnya, setelah berhasil menjalani program IVF tersebut, hubungan Mirza dengan suami makin mesra. Namun itu tak bertahan lama. Tak ada yang membaik di dalam kamar. Sama seperti sebelum mereka memiliki anak. Aktivistas seksual mereka makin menurun dan kian tak berkualitas. Sebagai seorang istri yang dituntut mengabdi pada suami, Mirza tak serta merta protes. Ia sempat mengajak sang suami berdiskusi masalah ini. Di usianya saat itu, Ia merasa makin bernafsu besar. Tapi hasilnya tak sesuai ekspektasi. Suaminya kian merasa superior dan justru menuntut Mirza menerimanya apa adanya. Ia diam. Ia ingin menjadi istri yang baik, sesuai pesan orang tuanya. Selepas diskusi malam itu, hubungan mereka agak canggung. Kejadian itu pula yang membuat Mirza memutuskan untuk lebih giat melakoni kegiatan bisnis dan sosial. Ia butuh pengalihan. Dan tentu memperbaiki hubungannya dengan suami.

Ia ingin memperbaiki diri. Mungkin Ia kurang bersyukur, pikirnya. Dengan kemudahan yang segala rupa, kekurangan sedikit itu harus Ia terima. Begitu Ia memutuskan. Hubungannya kembali baik. Kondisi di dalam kamar berlangsung seperti sedia kala. Ia melayani suaminya dengan baik. Meski barang tentu semua belum memenuhi ekspektasinya. Mirza kian menyibukkan diri. Bertemu dengan banyak orang. Membantu orang-orang kurang mampu. Juga membesarkan bisnis pendidikannya. Ia hanya mengingat kekurangan suaminya saat mereka selesai melakukan hubungan suami istri. Terkadang, Ia menetesan air mata. Esok, setelah bangun dari tidur, Ia kembali memendam perasaan itu kuat-kuat.

"Jadi perlengkapan buat besok sudah clear semua ya, Dok?" seseorang mengirimkan sebuah pesan ke ponsel Mirza

"Sudah, Mas. Tadi Pak Anto sudah konfirm ke saya. Besok kita langsung ketemu di lokasi?" balasnya

"Alhamdulillah. Siap, Dok. Jam 8 ya?" Ia menerima pesan lagi

"Nggak boleh telat ya. Lokasinya lumayan soalnya," balasnya lagi

"Siap, Bu Dokter. Sampai ketemu besok," Ia tersenyum menerima pesan itu

"Sampai ketemu, Mas," balasnya memungkasi percakapan malam itu

Ia terpejam dengan sedikit senyuman. Suaminya sudah tidur karena kelelahan setelah melakukan operasi sore tadi. Ia masih ingin menjadi istri yang baik. Ia cium kening suaminya, lalu memejamkan mata.

>><<

"Bagaimana rasanya menikah selama 14 tahun, Dok?" Tanyaku padanya saat kami rehat setelah kegiatan bakti sosial hari itu

"Kalau kata anak-anak sih kayak makan permen nano-nano," jawabnya yang kemudian disusul oleh tawa kami berdua

Hari itu, Kami melakukan kegiatan pemeriksaan mata di sebuah desa di lereng gunung. Dokter Mirza sebagai ketua tim relawan memang mengawal program ini langsung. Aku seringkali salut dengan dedikasinya pada kegiatan sosial seperti ini. Meski harus melalui medan yang tidak mudah, bahkan pernah beberapa kali sampai malam hari, Ia dengan penuh semangat tak pernah alpa. Aku yang jarang ikut serta turun lapangan dibuat heran namun bangga. Sebagai wanita dari kalangan berada, kenyamanan adalah kesehariannya. Tapi Ia memilih jalan lain. Mengabdikan diri untuk masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu.

"Lihat ini belum selesai, kayaknya kita sampai malam ini, Dok, baru pulang," kataku sesaat setelah kami menyelesaikan ibadah sore itu

"Screening terakhir malam baru jam 10 malam aku sampai rumah, Mas," jawabnya

"Terima kasih ya, Dok, sudah sebegini dedikasinya," kataku memuji

"Teman-teman, Mas, yang luar biasa. Saya kan hanya mengawal," balasnya merendah

Senyumnya manis sekali. Kadang, aku sampai lupa kalau Ia istri orang. Dan berusia 10 tahun lebih tua dariku. Ia punya gingsul yang sepertinya dibiarkan. Kami memang makin akrab beberapa minggu ini. Apalagi kalau bukan karena aku ditugaskan kantor untuk menjadi bagian dari tim relawan kegiatan pemeriksaan mata dan operasi katarak untuk waga kurang mampu. Karena butuh koordinasi, mau tidak mau kami sering berkontak. Baik itu secara langsung mau pun melalui ponsel. Aku suka mendengarkan suaranya ketika kami bertelepon.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gemoy N

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku