Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
"Ma, aku berangkat dulu," pamit Anindea—gadis cantik berkulit kuning langsat, yang merupakan anak semata wayang dari orang tuanya.
Anindea adalah mahasiswa semester empat di salah satu universitas ternama di kotanya. Hari ini, dia begitu terburu-buru untuk berangkat ke kampus. Karena dia bangun kesiangan akibat semalam begadang menonton drama Korea yang dibintangi oleh aktor favorit-nya. Karena itu dia kesiangan dan semalam lupa kalau hari ini ada kelas dengan dosen killer.
Meli yang mendengar teriakan dari putri satu-satunya itu, langsung bergegas menemui buah cintanya. Dia sudah tahu pasti, apa yang dialami oleh Anindea setiap hari. Sehingga, Meli tidak kaget lagi ketika Anindea pamit berangkat ke kampus dengan buru-buru seperti itu. Setelah ada di dekat anaknya, sorot mata Meli langsung menatap kearah Anindea dengan begitu tajam. Meli berusaha menunjukkan kalau dirinya saat ini sedang marah. Padahal, jauh di lubuk hati Meli, tidaklah dia sedang memarahi anaknya. Dia begitu tidak tega untuk menyakiti Anindea—gadis cantik yang dia kandung, dilahirkan serta dia asuh sampai saat ini. Namun, Meli juga tidak mau Anindea terus-terusan seperti ini.
Dengan melipat kedua tangan di dada, Meli memberhentikan langkahnya, tepat dihadapan Anindea. "Kamu ini kebiasaan banget, ya. Suka bangun kesiangan, sehingga terlambat untuk berangkat ke kampus jika sedang ada kelas pagi. Makanya, kalo tidur itu jangan larut malam. Mama heran lihat kamu, lebih mengutamakan drama Korea dengan dibintangi oleh aktor favoritmu, dibanding mengingat jadwal kelas untuk masa depanmu kelak. Ingat, kamu itu anak satu-satunya mama sama papa! Kamu adalah penerus perusahaan papamu nant. Jika kamu seperti ini, selalu tidak disiplin waktu, bagaimana nantinya kamu bisa mengendalikan perusahaan besar seperti milik papamu, De? Cobalah ubah kebiasaan burukmu itu!" oceh Meli, sekaligus menyelipkan nasehat didalam ocehannya untuk Anindea.
"Sudah selesai ceramahnya, Ma? Kalau sudah, Dea berangkat dulu, ya." Pamit Anindea, dengan santai dia berlalu dari hadapan Meli.
Anindea sebenarnya bukanlah seorang anak pembangkang. Hanya saja, dia tidak suka yang namanya basa-basi. Gayanya yang tomboy, ditambah karakter tegas turunan dari sang papa, membuat Anindea paling anti berbasa-basi, atau bermulut manis yang mengandung empedu di dalam kemanisan itu.
Melihat Anindea yang berlalu pergi begitu saja dari hadapannya, Meli pun kembali angkat bicara untuk menegur Anindea. "Anak yang mama besarkan, ternyata sekarang dia sudah benar-benar besar. Berangkat ke kampus saja sudah tidak salim lagi. Kalau anak sudah besar memang begitu, beda dengan anak kecil yang masih menyimpan rasa menghormati orang tua," sindir Meli yang berhasil membuat langkah anaknya terhenti.
"Maaf, Ma," ucap Anindea yang merasa bersalah, karena mengabaikan sang mama akibat terburu-buru untuk berangkat ke kampus.
"Tidak apa-apa. Kenapa kamu harus minta maaf pada mama? Kamu 'kan tidak salah. Anak yang sudah besar sepertimu, memang tidak harus lagi menghormati mamanya," ujar Meli yang terus menyindir Anindea atas kekhilafan yang Anindea perbuat.
"Mama, jangan ngomong begitu. Sindiran mama itu lebih sakit dari pukulan yang mama berikan." Anindea yang merasa bersalah, akhirnya berbalik arah dan menarik langkahnya kembali menuju sang mama yang masih berdiri di tempat semula.
"Eh ... emangnya mama pernah memukulmu?" tanya Meli yang salah paham dengan ucapan Anindea.
Sudah dua puluh tahun sejak dia melahirkan Anindea, tidak sekalipun Meli menyakiti anaknya. Apalagi, memukul Anindea, sudah pasti itu tidak pernah dia lakukan. Lalu, saat Aninde mengungkit, kalau sindiran Meli lebih sakit dari sebuah pukulan. Hal itu langsung menarik perhatian Meli. Bahkan, itu membuat dia salah mencerna ucapan Anindea dan terjadi kesalahpahaman dalam memorinya.
"Maafkan aku, Ma." Ucap Anindea, lalu meraih tangan Meli dan mencium tangan wanita yang telah melahirkannya itu.
"Mama mau nanya, kapan mama memukul kamu?" tanya Meli yang masih bermonolog dengan pikirannya.
Anindya yang mendengar pertanyaan dari mamanya itu, dia pun langsung tertawa sampai terbahak-bahak. Dia tidak menyangka, kalau ucapannya yang tadi akan dipermasalahkan oleh Meli—mamanya.
"Ma, makanya hidup itu jangan terlalu dijalani dengan serius. Apa-apa, selalu bawaannya baperan. Sering-sering nonton komedi, ya, Ma." Bisik Anindea di dekat telinga mamanya sebelum bibir Anindea mencium pipi Meli.
"Ya, sudah, Ma. Dea sudah makin terlambat berangkat ke kampus, nih. Dea pergi dulu, ya. Jangan lupa nonton komedi setelah ini," goda Anindea yang humoris walau karakternya tomboy.
"Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Meli menatap punggung anaknya yang berjalan setengah berlari karena buru-buru.
"Aku sarapan di kantin kampus saja, Ma. Aku sudah sangat terlambat ... dadah, Mama. Jangan lupa nonton komedi, biar tidak baperan lagi!" Ujar Anindea berbalik arah melihat ke arah Meli, dan melambaikan tangan, lalu kembali melangkah menuju garasi.
Saat telah sampai di garasi, Anindea langsung menuju mobil sport kesayangannya. Dengan buru-buru, Anindea masuk kedalam mobil sport berwarna merah itu, dan menyalakan mesin mobil untuk melaju mengendarai roda empat kesayangannya. Mobil terus melaju yang dikemudikan oleh anindea, dan meninggalkan pekarangan rumah. Sekarang mobil itu telah membelah keramaian kendaraan yang lalu-lalang di tengah jalan raya dengan kecepatan sedang. Untung saja jarak antara kampus dan rumah Anindea tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh menit dengan menggunakan mobil.
Dalam perjalanan menuju kampus, Anindea terus mengingat apa ada tugas yang terlewat olehnya yang belum dia kerjakan semalam, atau malah ada tugas yang ketinggalan di rumah akibat berangkat dengan terburu-buru. Karena pagi ini adalah mata kuliah bersama dosen killer, membuat Anindea terus bergidik ngeri membayangkan hukuman yang akan dia terima, jika melanggar aturan yang telah diberikan dosen killer itu sebelumnya. Satu saja tugas terlewatkan, si dosen killer tidak akan memaafkan siapapun mahasiswa atau mahasiswi tersebut dan akan memberi sanksi sangat berat untuk yang bersangkutan.
Tidak butuh waktu lama, kendaraan sport roda empat yang dikendarai oleh Anindea sudah berhenti di parkiran kampus. Anindea yang sudah terlambat langsung keluar dari mobil dan berlari menuju kelasnya. Sifat Anindea yang tomboy dan masa bodoh, membuat dia tidak sungkan untuk berlari di hadapan para bintang kampus. Ada yang menatap aneh ke arah Anindea, ada yang biasa saja, karena sudah sering melihat Anindea bersikap seperti itu.
"Alhamdulillah," ucapnya saat sampai di ambang pintu kelas.
Dengan nafas yang ngos-ngosan, Anindea masuk kedalam kelas. Namun, kali ini dia tidak berlari lagi. Anindea sudah berjalan santai. Dia sangat bersyukur, dosennya belum masuk, dan itu artinya dia terbebas dari hukuman pertama, yaitu hukuman akibat terlambat masuk kelas. Sekarang, yang dicemaskan Anindea adalah hukuman kedua, yang mana hukuman akibat lalai akan tugas diberikan oleh dosen killer-nya.
Tanpa menunda-nunda waktu, Anindea segera duduk di bangku dan meletakkan tasnya di atas meja. Dengan segera dia memeriksa isi tas untuk memastikan tidak ada tugas yang tertinggal di rumah.
"Hai, De. Kamu kenapa ngos-ngosan seperti tengah dikejar ulat bulu?" goda Dewi yang sebetulnya sudah tahu kebiasaan sahabatnya.
"Aku takut telat mengikuti kelas pagi ini, Wi. Sampai aku tidak sarapan sebelum berangkat," jawab Anindea tanpa menoleh ke arah Dewi.
"Kamu 'kan tahu, sama siapa kelas pagi ini. Kalau aku telat lagi, aku bisa disuruh jadi babu untuk ratusan kalinya sama dia, Wi. Untung saja dia belum masuk," Imbuh Anindea dengan tangan terus sibuk di dalam tasnya.
"Kenapa harus buru-buru dan takut kena hukuman? Bukankah kelas bersama pak Zico diundur satu jam. Kamu tidak melihat pemberitahuan di dalam grup?" tanya Dewi yang sekarang sudah duduk di bangku samping Anindea.
Anindea yang dari tadi sibuk mengecek isi tasnya, sekarang refleks memberhentikan aktivitas itu dan menatap Dewi dengan alis yang mengerut dan hampir bersatu ujung alis itu satu sama lainnya. Rasa kesal pada diri sendiri pun langsung menyerang Anindea.
"Benarkah? Kenapa aku sebodoh ini!" gerutunya.
Anindea langsung merogoh saku samping tasnya, untuk mengambil ponsel yang tadi dia simpan di sana. Dengan cekatan jari jempol Anindea membentuk pola kunci layar ponselnya, biar benda pipih itu bisa dioperasikan. Menu pertama yang Anindea buka adalah aplikasi media sosial berwarna hijau dengan lambang telepon di tengah logo aplikasi tersebut. Dengan serius Anindea membuka chat groub yang sudah sangat menumpuk. Ternyata memang benar kalau ada pemberitahuan kelas diundur setengah jam oleh si dosen killer yang dibenci banyak mahasiswa dan mahasiswi di kampus itu.
"Hah! Tahu gini, aku nggak bakal buru-buru seperti tadi," ucap Anindea kecewa karena sudah melewatkan sarapan pagi ini yang sudah disiapkan oleh mamanya.
Dewi yang melihat raut wajah kesal pada sahabatnya pun tertawa. "Kan ini sudah ciri khas kamu. Kalau ada kelas pagi, pasti terlambat dan datang ke kampus dengan terburu-buru. Semalam sampai jam berapa kamu nonton drama Korea series terbaru itu?" tanya Dewi yang juga penggemar drama Korea.
Walau dua sahabat itu sama-sama penggemar drama Korea, tetapi Dewi tidaklah se candu Anindea. Dewi masih bisa membatasi jadwal menontonnya, apalagi kalau menonton malam hari, pasti dia mengutamakan jadwal istirahatnya. Berbeda dengan Anindea yang tidak akan berhenti menonton sebelum drama yang dia tonton belum selesai.
"Sepertinya sampai jam tiga subuh, tapi aku tidak begitu memperhatikan lewat berapanya." Jawab Anindea yang kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku tas.
"Kamu itu harus bisa membatasi waktu menonton. Kita itu butuh istirahat yang cukup, biar tidak gampang terserang penyakit. Memang nonton drama series terbaru itu memang sangat mencandu, tapi kita juga harus ingat, tubuh kita butuh istirahat," ujar Dewi mengingatkan sahabatnya akan kesehatan.
"Nggak di rumah, nggak di kampus, nggak di mana-mana, pasti ada 'kang ceramahnya buat aku," sindir Anindea yang mengatakan Dewi sebagai 'kang ceramah untuk dia.
Kini, Anindea kembali sibuk memeriksa isi tasnya untuk memastikan tugas hari ini tidak ada yang tertinggal. Dia tidak mau dapat hukuman dosen Killer yang tidak pernah memberi ampun pada mahasiswa/ mahasiswinya tanpa terkecuali.