Kejadian tak terduga di hotel malam itu, membuat kesucian Kinara direnggut oleh pria asing yang merupakan tamu di hotel tempatnya bekerja. Bagaimana nasib Kinara selanjutnya, di tengah perjuangannya menyelamatkan nyawa sang adik yang sedang sakit keras? Dan siapakah pria yang sudah merenggut kesuciannya itu?
Seorang gadis berpostur tinggi, berpinggang ramping, berdada sintal, dengan bentuk tubuh yang begitu proporsional, nampak sedang berlari-lari kecil di antara ratusan tamu yang sedang menghadiri pesta akbar salah seorang konglomerat. Para tamu undangan yang terdiri dari kalangan para CEO, direktur, serta beberapa pejabat tinggi negara itu, terlihat hadir dengan pasangan masing-masing yang berpenampilan sangat glamour.
Alunan musik yang begitu merdu dan membahana, serta canda gurau dari para keluarga sultan itu memenuhi area gedung hotel berbintang lima tepatnya di lantai 30, tempat pesta itu diadakan.
Namun, berbeda halnya dengan para tamu yang tampak saling berbincang dan tertawa bahagia, justru gadis cantik yang mengenakan seragam pegawai bertuliskan nama 'Kinara' itu terlihat sangat panik dan gugup, ketika harus menghidangkan jamuan kepada para tamu bangsawan yang hadir. Beberapa tamu bahkan ada yang meminta Kinara supaya membawakan wine ke hadapan mereka. Awalnya Kinara bingung, karena ia sama sekali belum pernah melihat sejenis apakah wine itu.
"Kinara, kenapa kamu gugup seperti itu?" tanya salah seorang pegawai lain yang bernama Gina.
"Eh, enggak, Gina. Aku cuma lagi gugup aja. Tadi ada beberapa tamu yang meminta untuk dibawakan wine, dan aku nggak tahu wine itu seperti apa, soalnya ini kan baru pertama kalinya aku kerja di sini. Jadi, aku belum terlalu paham sama cara kerja dan istilah-istilah baru di tempat ini." Gadis cantik berkulit putih nan bermata sipit bernama Kinara itu mengutarakan alasan rasa paniknya.
"Nggak apa-apa kok, Ra. Besok-besok kamu juga akan terbiasa. Kamu harus banyak belajar, lagipula kamu melakukan semua ini demi mendapatkan biaya untuk pengobatan adikmu kan? Jadi, kamu harus lebih semangat lagi ya." Gina memberikan motivasi kepada teman seprofesinya tersebut.
Mendengar ucapan dari Gina, Kinara hanya membalas ucapan itu dengan sebuah senyum disertai dengan anggukan kepala. Ingatannya pun seketika melayang kepada sang adik yang sedang menderita penyakit usus buntu, dan secepatnya harus dilakukan operasi untuk bisa menyelamatkan nyawanya.
Sang kakak, Kinara harus berjuang demi mendapatkan biaya untuk operasi adiknya yang tak sedikit, hingga ia terpaksa berhenti kuliah dan bekerja sebagai seorang pegawai hotel, dengan rekomendasi dari Gina yang merupakan tetangganya. Kinara dan adiknya yang bernama Karina itu hanya hidup berdua saja, karena ibu mereka telah meninggal dunia. Sementara ia tak pernah tahu dimana keberadaan ayah mereka selama ini.
Selama Kinara bekerja, ia terpaksa meninggalkan sang adik seorang diri, karena tak mungkin jika ia harus mengajak Karina pergi ke tempat kerjanya. Tanpa terasa tiba-tiba bulir bening jatuh dari kedua netra indah Kinara, kala bayangan sang adik yang sedang merintih kesakitan sambil memegangi perutnya, kembali menari-nari di pelupuk mata Kinara. Ia tak kuasa untuk tak menghentikan aktivitasnya sejenak, dan menangis selama beberapa saat meratapi nasib adiknya.
"Karina, maafkan kakak karena belum bisa membantu kamu untuk lepas dari rasa sakit itu. Maafkan kakak," lirih Kinara sambil sesekali menyeka air matanya.
Selama beberapa saat ia menundukkan wajah di atas pangkuannya, dengan berusaha menahan air matanya yang terus menggenang. Ia baru tersadar dari kesedihannya, tatkala sebuah telepon terdengar berdering dari meja yang berada tak jauh dari tempatnya sekarang. Kinara pun mendongakkan kepala, serta menoleh kesana kemari. Tak ada seorang pegawai pun disini, karena mereka semua sedang sibuk melayani para sultan yang menjadi tamu di hotel mewah ini. Maka, terpaksalah Kinara yang harus menjawab telepon itu, karena beranggapan kalau telepon itu mungkin saja berasal dari salah seorang tamu hotel yang sedang membutuhkan sesuatu.
"Halo," sahut Kinara.
"Antar makanan ke kamar 2305. Sekarang!"
Terdengar suara berat seorang pria dari seberang telepon. Suara itu bahkan terdengar membentak Kinara, hingga nyaris membuat gadis itu terlonjak kaget. Ia pun segera mengangguk dan mengiyakan apa yang diminta oleh suara di seberang sana.
"Ba .... Baik, Tuan," balas Kinara dengan gugup.
Sambungan telepon itu pun segera terputus begitu saja, menyisakan Kinara yang masih tampak gemetar karena mendapat bentakan yang begitu kasar dari salah satu tamunya. Namun, karena tak ingin mendapatkan bentakan lagi jika tamu itu harus menunggu makanannya terlalu lama, maka Kinara pun bergegas pergi ke dapur untuk memberitahukan koki supaya segera menyiapkan makanan bagi seorang tamu.
Sekitar 15 menit kemudian, makanan telah siap dan Kinara hanya tinggal mengantarkannya saja. Dengan mengucap bismillah, gadis cantik itu pun melangkahkan kaki menuju lift khusus karyawan yang akan mengantarkannya menuju ke kamar 2305.
Tak butuh waktu lama, karena akhirnya Kinara sudah berhenti di lantai tempat kamar nomor 2305 itu berada. Dengan langkah gugup, ia memacu kakinya yang beralaskan high heels itu menuju kamar yang dimaksud oleh pria di dalam telepon tadi.
Prok, prok.
Suara high heelsnya beradu dengan licinnya lantai marmer, menimbulkan suara ketukan yang begitu khas dan anggun di telinga, terlebih ketika melihat betapa gemulainya si pemilik langkah dalam menapakkan kaki beralaskan high heels tersebut. Kedua mata Kinara terus mencari-cari dimana letak kamar 2305 itu berada. Sampai akhirnya langkahnya terhenti di depan pintu sebuah kamar yang tampaknya begitu lengang di dalam sana, karena tak terdengar suara apapun. Berbeda dengan kamar-kamar lain yang sayup-sayup terdengar suara desahan, hingga membuat bulu kuduk Kinara meremang.
"Nah, ini dia," gumam Kinara dengan senyum manis tersungging di bibirnya, ketika ia sudah berada tepat di depan kamar bertuliskan 2305.
Tok, tok, tok.
"Permisi, saya mengantarkan makanan Anda, Tuan," salam Kinara dengan sopan.
Namun, hanya keheningan yang ada, tanpa adanya sahutan dari dalam sana. Berulang kali Kinara mengetuk pintu, berharap akan ada seseorang yang membukanya. Akan tetapi, keadaan masih sama seperti tadi. Kamar itu tetap saja sunyi layaknya tak berpenghuni.
Sebenarnya Kinara berniat untuk kembali saja, karena ia tak mendapatkan jawaban apapun. Namun, mengingat betapa garangnya sosok pria di telepon itu, membuat Kinara seketika mengurungkan niatnya. Daripada ia harus mendapatkan marah ataupun bentakan lagi, lebih baik ia masuk saja sebentar dan meletakkan makanan yang dibawanya ini ke dalam sana. Mungkin saja penghuni kamar ini sedang pergi keluar karena ada urusan. Ya, itu hanyalah asumsi dari seorang Kinara saja.
Tanpa menunggu waktu lagi, Kinara pun mulai memutar knop, dan membuka pintu tersebut, kemudian masuk ke dalamnya. Ia tercengang ketika kakinya mulai melangkah melalui ambang pintu. Kamar itu begitu luas, tetapi penerangan di dalam sana sangatlah minim atau bisa dibilang remang-remang. Bahkan Kinara nyaris tak bisa melihat dimana keberadaan meja kamar itu. Setelah beberapa menit terbiasa dalam gelap, Kinara akhirnya berhasil menemukan meja yang berada tepat di samping ranjang berukuran king size.
Gadis cantik itu pun segera meletakkan baki berisi makanan yang dibawanya, kemudian ia bergegas membalikkan tubuhnya untuk segera pergi meninggalkan kamar tersebut.
Namun, sayangnya ketika ia hendak berbalik, tangannya tak sengaja menyenggol gelas yang berada di atas meja hingga terjatuh.
Prangg.
"Aaa." Kinara sontak menjerit kaget, tetapi ia segera mengatup mulut dengan kedua telapak tangannya, karena tak ingin membuat kegaduhan di kamar tamu.
Kinara pun gegas berjongkok untuk membersihkan serpihan kaca itu, tetapi aktivitasnya seketika terhenti ketika ia melihat sosok tinggi kekar yang muncul dari kegelapan, sedang berjalan perlahan menuju ke arahnya.
"Sayang, kamu kah itu?"
Buku lain oleh Callista Ivan
Selebihnya