Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Derita Gadis Ternoda

Derita Gadis Ternoda

olivepj

5.0
Komentar
4.9K
Penayangan
18
Bab

Namanya Ana. Ia perempuan muda yang cantik, pendiam dan sangat lugu. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya kalau ia akan menjadi korban pemerkosaan. Ana hamil dan diusir oleh ayahnya. Ia berangkat ke Jakarta dan membawa janin dalam perutnya. Di Jakarta pahitnya kehidupan Ana dimulai. Ia bertemu dengan Lukman yang banyak membantunya. Akan tetapi istri Lukman yang bernama Juju sangat jahat. Ana mengalami penindasan dan siksaan selama tinggal bersama Juju. Sementara Lukman bertolak belakang dengan istrinya, ia sangat prihatin dan selalu membantu Ana karena ia merasakan getaran di hatinya ketika melihat Ana. Dan Di Jakarta juga akhirnya Ayu bertemu dengan sosok yang telah memperkosanya dulu

Bab 1 Diusir

Putra memandang wanita muda di depannya dengan sorot mata menyala. Tak bisa disembunyikannya amarah yang sedang bergemuruh di dada.

Ana, sosok yang menjadi sumber amarah Putra terlihat menangis sesenggukan dalam pelukan Hesti.

"Siapa yang menghamilimu?" bentak Putra.

Ana masih membisu, hanya isak tangisnya saja yang terdengar bersahut-sahutan dengan isak tangis Hesti.

Seminggu ini Putra dan Hesti curiga pada perubahan bentuk tubuh Ana, terlebih Ana sering mual, dan mengeluh pusing. Tak pernah sedikit pun terpikir kalau anak semata wayang mereka itu sedang hamil, sebab ia belum bersuami.

Namun sebagai orang tua yang lebih berpengalaman, pastilah mereka mengenali tanda-tanda wanita yang sedang berbadan dua.

Tadi pagi Hesti dan putra akhirnya membeli testpack dan menyuruh Ana melakukan test.

Hasil testpack tergeletak di atas meja. Dua garis merah yang terpampang di testpack itu membuat mereka semua syok.

"Siapa yang melakukannya?" Putra kembali bertanya, suaranya makin meninggi.

"A-ana nggak tahu, Yah," jawab perempuan berusia sembilan belas tahun itu terbata-bata. Ia sangat takut. Isak tangisnya semakin kencang, membuat pundaknya naik turun tak terkendali.

"Tak tahu kau bilang? Dasar perempuan j@-l@ng!"

Plak!

Kali ini bukan hanya bentakan saja yang didapatkan Ana, tapi sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Rambutnya juga dijambak oleh Putra. Emosi ayahnya itu sudah di ubun-ubun. Hesti mencoba melerai, tapi ia malah di dorong hingga tersungkur.

"Ayah, jangan kasar pada Ana. Bicaralah baik-baik," rintih Hesti.

"Kau mau membela anak j@-l@ng ini, hah? Ini juga salahmu, tak becus mendidik anak. Ibu macam apa kau ini, bisa sampai kecolongan." Kini Hesti yang menjadi sasaran amarah Putra.

"Jangan salahkan Ibu, Yah. Ibu nggak salah. Ana juga nggak salah. Ana di-per-k*s@ ...." rintihan Ana. Suaranya hampir tenggelam, perkataan itu sulit sekali keluar dari mulutnya.

Ia juga ingin membela Heesti dan tak mau jika Putra malah menyalahkan ibunya itu

"Dasar perempuan tak tahu malu. Bisa-bisanya kau bilang kalau kau di-per-k*s@ hanya untuk menutupi kelakuan busukmu. Warga kampung Mekar sini semuanya berakhlak. Tak akan ada yang berani melakukan tindakan asusila, apalagi kepadamu. Kau anak seorang tetua di kampung ini. Orang-orang akan berpikir seribu kali melakukannya," sanggah Putra. Semakin keras ian menarik rambut Ana.

"Demi Tuhan, Ana di-per-k*s@," ucap Ana dengan berderai air mata. Tangannya memegang pangkal rambut yang ditarik oleh Putra.

Bukannya iba, Putra semakin menambah kekuatan tangannya saat mengepal rambut Ana.

"Tolong dengarkan anak kita sekali ini aja, Yah." Hesti berdiri, sekali lagi ia ingin melerai tangan Putra, ia tak tahan melihat Ana meringis kesakitan, tapi malah tendangan yang didapatnya.

"Kalau bukan karena kau yang kegatelan, pasti tak ada yang mau mem-per-k*s@mu." Putra semakin geram.

"Ana korban, yah. Kenapa ayah tak mau mengerti perasaan Ana. Harusnya ayah bantu Ana mencari keadilan."

"Hal itu tak akan terjadi kalau kau berteriak, lari dan melakukan perlawanan. Kenapa kau diam saja? Apa kau menikmatinya juga, hah?"

Tangan putra yang satunya lagi kini mencekik leher Ana.

Ana kesulitan bernafas, wajahnya merah padam, dadaknya sesak. Ia kini pasrah pada apa pun yang akan dilakukan Putra.

"Lebih baik kau mati saja!"

"Ayah, hentikan!"

Hesti panik dan tak menyangka kalau Putra tega mencekik darah dagingnya sendiri. Dengan cepat bangkit berdiri dan menggigit lengan Putra. Putra meringis dan kembali menendang Hesti.

"Dasar anak si-al-an. Pergilah dari kampung ini. Kau hanya membuat malu ayah, kau sudah mencoreng nama baik keluarga kita."

Akhirnya Putra melepaskan kepalan tangannya dari rambut dan leher Ana, lalu menghempaskan putri semata wayangnya itu dengan kasar hingga tersungkur di lantai.

"Kemasi barangmu sekarang. Pergilah ke mana saja kau mau, sebelum warga tahu kalau kau hamil", lanjutnya lagi tanpa mau memandang Ana.

"Ayah, tolong jangan usir Ana. Kemana Ana akan pergi. Kondisinya sedang hamil. Siapa yang akan mengurusnya? Tolong terimalah keadaan anak kita, Yah."

Hesti meraung. Ia bersimpuh di kaki Putra, memohon agar Putra memaafkan Ana.

"Lebih baik dia pergi dari kampung ini, atau kubu-n*h dia. Mau ditaruh di mana mukaku, Bu. Aku orang yang dihormati dan dituakan di kampung ini, tapi justru anakku sendiri memberi contoh yang tak baik bagi warga. Dia hanya akan dianggap sebagai pembawa kutuk oleh warga kalau ketahuan hamil tanpa suami. Aku tak sudi punya anak seperti dia."

Putra tak bisa membayangkan jika orang-orang mengetahui hal memalukan ini. Keluarga Putra Setiawan turun temurun telah menjadi contoh dan teladan bagi penduduk kampung Mekar.

Apalagi empat bulan ke depan pemilihan Kepala Desa dan ia mejadi salah satu kandidatnya. Siapa yang akan sudi memilihnya jika kabar kehamilan Ana tersiar. Mengurus anak saja tak becus, apalagi mengurus warga.

Kampung Mekar pada siang hari memang sunyi dan lengang. Kebanyakan warga sudah berangkat ke sawah. Hanya ada beberapa anak kecil yang bermain dan berlarian, sehingga Putra tak terlalu takut jika ada warga yang mendengar pertengkaran mereka.

"Pasti ada cara lain, Yah. Kita carikan calon suami untuk Ana. Kita nikahkan Ana secepatnya."

"Kau pikir ada lelaki yang mau menikahi perempuan yang sudah tak suci lagi?"

Ana yang dari tadi diam dan tak berani mengangkat wajahnya kini berjalan mendekati Putra.

"Baiklah ayah. Ana akan pergi dari kampung ini."

"Ana, jangan gegabah. Kau harus tetap di sini, Nak."

"Ana akan baik-baik saja, Bu. Benar kata Ayah, Ana sudah buat malu keluarga."

Segera Ana beranjak ke kamar dan mengemasi pakaiannya. Tak banyak yang ia bawa, hanya satu koper baju dan beberapa perlengkapan lainnya.

"Kalau begitu, kau ke rumah Paman Ardi saja di Padang. Hubungi Paman Ardi. Kau harus ke sana. Janji sama ibu."

Hesti memberikan secarik kertas berisi nomor telepon, juga sejumlah uang. Ana punmengangguk.

"Selalu aktifkan nomor hpmu, nak. Kau harus mengabari ibu di sepanjang perjalanan," ujar Hesti dengan deraian air mata. Ia tak pernah berpisah dari putri kesayangannya itu.

Dipeluknya tubuh Ana erat sekali, tak ingin dilepasnya pelukan itu, rasa-rasanya seakan ia tak bisa berjumpa lagi dengan Ana.

"Ana pamit, Bu," ujar Ana dengan isakan tangis yang hebat. Ia lalu berjalan mendekati pintu rumah, tempat Putra berdiri.

"Ayah, Ana pamit." Ana bersimpuh di kaki Putra, lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan rumah sederhana yang menyimpan banyak kenangan indah baginya.

Rumah sederhana yang tadinya penuh kehangatan dan cinta, tapi kini seakan jadi neraka akibat terbakar luapan emosi dari Putra.

Beribu pertanyaan menggunung di kepala Ana. Kenapa ia bisa mengalami hal sepahit ini. Ia harus menanggung akibat dari kesalahan yang tak pernah dilakukannya. Ia tak bersalah. Ia korban.

Tapi siapa yang mau percaya padanya. Ayahnya sendiri tak percaya dan menganggapnya perempuan j@-l@ng.

Putra dan Hesti memandang kepergian Ana dengan tatapan nanar. Sedikit pun tak pernah terbayang dalam benak mereka hal seperti ini akan terjadi.

Bayangan Ana sudah tak tampak lagi di jalan setapak, tapi Putra masih menatap ke depan, tangannya terkepal kuat. Anak kesayangannya sudah pergi, membawa serta aib yang sama sekali tak mau ditanggungnya.

Air mata yang dari tadi ditahan Putra akhirnya luruh. Pertahanannya runtuh beserta tubuhnya yang merosot ke lantai, ia pun menangis pilu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku