icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kehormatan Yang ternoda

Kehormatan Yang ternoda

aisyah humaira

5.0
Komentar
1.4K
Penayangan
22
Bab

Salmah gadis desa yang hidup dalam garis kemiskinan harus berjuang lebih keras lagi ketika nasib membawanya pada pemerkosaan terhadap dirinya sehingga melahirkan seorang anak yang BERNAMA Ayuna. Setelah tiga tahun kemudian sang pemerkosa Jhondra Mahardika datang untuk merebut Ayuna dari Salmah ketika istri Jhondra yang BERNAMA Dinda Kirana tidak bisa hamil lagi untuk selamanya karena rahim Dinda di angkat setelah diagnosis penyakit yang di deritanya. Mau tidak mau untuk mempertahankan Ayuna, Salmah terpaksa menikah dengan Jhondra sebagai istri kedua. Namun pernikahan yang di rasakan oleh nya bukan seperti pernikahan pada umumnya. Salmah menderita dengan pernikahan itu.

Bab 1 Percuma punya keluarga

"Assalamu'alaikum, Nek."

Salmah mengetuk daun pintu mewah di hadapannya. Hingga beberapa kali barulah muncul si pemilik rumah yang dipanggil Salmah dengan sebutan Nenek.

"Wa'alaikum salam. Siapa?" daun pintu pun dibuka.

Wajah wanita tua itu terlihat tidak senang dengan kehadiran Salmah. Tanpa basa-basi ia langsung ingin menutup kembali pintu. Akan tetapi Salmah berusaha menahannya agar tetap pada kondisi terbuka.

"Tunggu, Nek! aku mohon!" wajah Salmah mengiba pada wanita tua itu.

"Apa lagi? pasti ingin menyusahkan lagi," ketus Wanita tua itu yang tidak lain adalah Nenek kandung Salmah.

"Ibu sedang sakit Nek, tolong pinjam uang untuk bawa ibu berobat!"

"Sudah Kuduga," sinis tatapan sang Nenek. Lalu ia melanjutkan ucapannya, "Tidak ada yang namanya pinjaman! Itu resikonya kalau durhaka kepada orang tua. Dibilang jangan menikah dengan Ayahmu itu.

Hidupnya miskin melarat, mana bisa membahagiakan Ibumu. Sekarang jalani saja! Toh itu pilihannya sendiri. Sudah sana kamu pulang!"

Pintu ditutup dengan keras hingga membuat Salmah terkejut.

Ini bukan yang pertama kali, namun tidak membuat Salmah jera. Kepada siapa lagi ia akan meminta bantuan kalau tidak kepada keluarga sendiri. Namun yang dianggap keluarga, tidak pernah sedikitpun peduli.

Begitu juga dengan Bibi dan Pamannya yang lain. Mereka semua sama saja, selalu menghina Ayah dan Ibu Salmah.

Menurut mereka, Ibu Salmah tidak ada lagi hubungan keluarga antara mereka semenjak Ibu Salmah memilih menikahi Ayah Salmah.

Menurut mereka, Ayah Salmah tidak sederajat dengan mereka.

Sepanjang perjalanan menuju pulang, uraian air mata berlinang di pipi Salmah.

Ia tidak habis pikir mengapa ada keluarga seperti itu?

Mungkin bisa dibenarkan semua sikap mereka karena rasa kecewa terhadap anak mereka. Namun adakah hati orang tua sekeras itu, membiarkan anaknya sendiri dalam kesusahan?

Salmah berdiri lesu di ambang pintu rumahnya yang reot. Terlihat Sang Ayah sedang menuntun ibunya keluar dari rumah reot mereka itu.

"Salmah, dari mana saja kamu nak?" ujar Pak Zainal melihat pada wajah putri bungsunya.

"Dari rumah Nenek Ayah."

Winda langsung menegakkan kepalanya. Menatap Salmah penuh marah.

"Apa yang kau harapkan di rumah itu, Salmah? sudah berapa kali Ibu melarangmu? lupakan mereka! anggap kita tidak punya keluarga di sini."

"Tapi, Bu. Ibu sedang membutuhkan biaya untuk berobat."

"Salmah, apa kamu tidak mencintai Ayahmu? apa kamu akan melukai hatinya dan pergi merendahkan harga dirinya di depan keluarga yang tidak menyukai Ayahmu ini?"

Air mata Winda berlinang. Ia terkulai lemah dalam dekapan suami yang selama ini sudah menjadi nahkoda dalam mengarungi samudera rumah tangga.

Meskipun Zainal tidak kaya seperti yang diharapkan orang tua Winda. Meskipun hidupnya dalam garis kemiskinan, namun Winda tidak pernah menyesal menikah dengan Zainal.

Bahkan ia sangat bahagia, karena Zainal selalu memperlakukan dia dengan baik dan lemah lembut.

"Sudah, Buk. Jangan marah, kamu lagi tidak sehat."

Zainal mencoba meredam amarah sang istri. Meskipun ia selalu tersakiti oleh keluarga Winda, tidak sedikit pun ia ingin menaruh dendam di hati. Menurutnya itu hanya akan membuat dirinya sendiri tidak tenang. Ia hanya mencoba mengikhlaskan semuanya kepada Sang maha kuasa.

"Maafkan Salmah, Ibu! Salmah hanya sangat khawatir dengan kondisi Ibu." Salmah meremas jari-jari tangannya dan menundukkan kepalanya, ada penyesalan di dalam hatinya saat ini.

"Ya sudah, kita bawa Ibumu ke puskesmas sekarang!"

Zainal menggendong Winda hati-hati. Berjalan setapak demi setapak menuju puskesmas terdekat. Salmah pun mengekori langkah sang Ayah dari belakang.

Setibanya di puskesmas, Winda langsung diperiksa.

Seorang Dokter muda lagi tampan yang kini memeriksa Winda saat ini. Di sampingnya pun terdapat beberapa orang Dokter muda juga.

"Apa keluhannya, Ibu?" tanya sang Dokter.

"Badan saya lemas sekali Dokter, terus dada saya sakit sekali." jawab Winda sambil terbatuk-batuk.

"Mari silahkan, Ibu berbaring dulu ya!"

Stetoskop ditempelkan pada bagian dada Winda. Tensimeter pun juga di tangannya.

"Banyak bawa istirahat ya, Bu! dan ini obatnya. Bila setelah ini belum ada perubahan, bawa kembali ke sini." ucap sang Dokter muda dengan tersenyum ramah.

*****

Sore hari yang begitu indah. Rona langit mengukir bagaikan curahan tinta sang seniman.

Angin sepoi-sepoi menambah suasana nyaman saat ini.

Jhondra Mahardika, seorang Dokter muda, berparas tampan nan menggoda siapa saja lawan jenisnya yang menatap.

Dia dan dua temannya yang lain sedang menjalani internship selama sembilan bulan di sebuah desa.

Bertugas di sebuah puskesmas sebelum ia benar-benar dilepas untuk melakukan tugas Dokternya tanpa pengawasan dari Dokter senior.

Sore ini Jhondra sedang memetik tali gitarnya. Melantunkan lagu-lagu bersama kedua temannya.

Salmah lewat dengan menundukkan kepalanya karena merasa sungkan melewati rumah kost Jhondra.

Evan yang mengenakan kaos dan celana pendek sedang menepuk pahanya sendiri, mengikuti alunan suara gitar Jhondra langsung menghentikan aktivitasnya.

"Sore, Neng," sapa Evan ramah terhadap Salmah.

Sekilas Salmah melirik arah suara itu dan tersenyum kaku lalu menundukkan kepalanya kembali seraya melangkah menuju masjid. Ia sangat pemalu terlebih lagi kurang percaya diri. Bullying yang kerap ia terima dari teman-temannya juga keluarganya sendiri membuat rasa percaya diri itu memudar. Ia seakan tidak pantas bergaul, atau pun memiliki kehidupan.

Seburuk itulah dampak bullying bagi Salmah.

Salmah mengisi harinya selalu menyendiri tanpa merasakan perasaan seperti yang dirasakan oleh remaja lazimnya.

Untuk mengisi kekosongan harinya itu, setiap sore sebelum masuk waktu magrib, Salmah mengajari anak-anak desa mengaji dengan tanpa imbalan. Karena ia sangat senang melakukannya.

"Shodaqollahul Adzim"

Salmah menyudahi mengaji sore ini, karena waktu magrib telah tiba.

Anak-anak berhamburan berlarian keluar masjid untuk mengambil wudhu. Begitu pula dengan Salmah.

"Eh, Neng, yang tadi bukan?" sapa Evan saat berpapasan dengan Salmah di depan tempat berwudhu.

Salmah hanya tersenyum kaku dan menganggukkan sedikit kepalanya.

"Neng, Ibunya yang berobat kemarin bukan?" tanya Evan lagi.

"Iya,"

Kali ini Salmah menatap serius pada Evan.

"Kenalkan saya Dokter Evan, dan ini Dokter Jhondra dan yang ini Dokter Gavin." Evan menunjukkan kedua temannya dan memperkenalkan mereka kepada Salmah.

"Bagaimana keadaan Ibunya? sudah mendingan?" tanya Evan lagi.

Salmah kemudian tersadar selama itu Evan berbicara, selama itu pula ia memperhatikannya.

Lalu buru-buru ia kembali menunduk.

"Alhamdulillah sudah mendingan, Dokter," jawab Salmah.

"Alhamdulillah. Rumah Neng yang sebelum rumah kost itu kan?"

"Iya, Dokter."

"Wah, berarti kita bertetangga."

Suara adzan pun berkumandang Salmah permisi dari sana untuk mengambil wudhu yang sempat tertunda.

Saat mereka sedang berwudhu, Jhondra mengatakan kepada Evan, jangan kegenitan. Harus menjaga wibawa karena mereka adalah Dokter.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku