/0/27200/coverbig.jpg?v=b250a528e180dbffa54c6e5df87dedc1&imageMogr2/format/webp)
Almira terpaksa menikahi ayah dari murid les privatnya, Adrian Elvano, setelah sebuah insiden tak terduga membuat mereka kedapatan tidur bersama dalam satu kamar hotel. Kejadian itu murni salah paham, namun Mami dan nenek Adrian bersikeras bahwa satu-satunya cara untuk menjaga nama baik keluarga adalah dengan menikahkan mereka. Adrian awalnya menolak mentah-mentah. Ia menegaskan bahwa peristiwa itu hanyalah kesalahpahaman belaka. Namun, di bawah tekanan keluarga, pernikahan tetap dilangsungkan, dan Adrian terpaksa mengucap janji yang tidak pernah ia inginkan. Sejak awal, penolakan Adrian tak pernah berhenti. Setiap sikap dingin dan tatapan acuhnya membuat Almira harus menahan pedih yang perlahan menggerogoti hati. Ia sendiri tak pernah menginginkan pernikahan ini, namun keadaan memaksanya. Tinggal di rumah besar milik Adrian terasa seperti menapaki lorong sunyi-penghuninya bahkan tak pernah menganggapnya ada. Bagi Adrian, Almira hanyalah guru les anaknya yang secara kebetulan tinggal di rumah tersebut, bukan seorang istri. Trauma masa lalu bersama istri pertamanya membuat Adrian menutup rapat pintu hatinya. Ia sama sekali tak berniat menikah lagi, apalagi mencintai seseorang. Kehadiran Almira dianggapnya sebagai beban yang harus segera ia lepaskan. Di tengah rasa terasing dan tidak diakui, muncul tawaran pertukaran pelajar ke luar negeri. Almira mulai mempertanyakan: apakah ia harus menerima kesempatan itu demi keluar dari rumah yang tak pernah menerimanya, atau bertahan meski hatinya terus terluka?
Suara langkah kaki yang tergesa-gesa memantul di lantai marmer hotel bintang lima itu. Almira nyaris berlari menyusuri koridor panjang sambil menggenggam erat ponselnya. Jemarinya bergetar, bukan hanya karena tubuhnya lelah setelah mengajar les privat seharian, tetapi juga karena ada perasaan tak nyaman yang sejak tadi menggelayut di dadanya.
"Nomor kamarnya... 1205," gumamnya lirih sambil melirik catatan kecil yang dikirimkan temannya lewat pesan. Katanya, kamar itu kosong dan bisa dipakai sebentar untuk istirahat sebelum ia kembali ke rumah kos.
Saat pintu terbuka, udara dingin dari pendingin ruangan menyambutnya. Tanpa pikir panjang, Almira masuk, menutup pintu, lalu menurunkan tas ransel dari bahunya. Ia terlalu lelah untuk memeriksa keadaan sekeliling. Yang ia pikirkan hanya rebahan sebentar sebelum perjalanan pulang yang masih panjang.
Namun, begitu ia merebahkan tubuh di atas ranjang king size itu, kelopak matanya berat. Ia memejam, hanya ingin istirahat beberapa menit. Entah berapa lama ia tertidur, tetapi suara pintu terbuka tiba-tiba membuatnya terlonjak.
Seorang pria tinggi dengan jas hitam elegan berdiri di ambang pintu, wajahnya menyiratkan keterkejutan bercampur amarah. Matanya tajam menatap Almira yang masih kebingungan.
"Apa yang kau lakukan di kamarku?" suaranya rendah, namun cukup menusuk.
Almira terperanjat. "Kamar... kamar ini? Aku... aku pikir-"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, langkah kaki lain terdengar. Seorang wanita paruh baya dengan penampilan mewah masuk, diikuti oleh seorang perempuan tua dengan tongkat berlapis ukiran perak. Mata mereka membelalak melihat pemandangan itu: seorang pria dewasa dan seorang perempuan muda di satu kamar, di atas ranjang yang sama.
"Adrian Elvano! Apa yang terjadi di sini?!" suara wanita paruh baya itu-Mami Adrian-meledak.
"Apa yang kalian pikirkan?!" Nenek Adrian ikut bersuara, suaranya tajam meski bergetar.
Adrian mencoba menjelaskan, "Ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Dia-"
Namun, Mami-nya memotong dengan nada tegas. "Tidak ada alasan yang bisa membenarkan ini. Kita harus menjaga nama baik keluarga. Kalian akan menikah."
"Apa?!" Adrian dan Almira bersuara hampir bersamaan.
"Aku tidak akan menikah!" Adrian menatap mereka dengan ekspresi marah. "Ini salah paham!"
Nenek menghela napas panjang, tatapannya penuh wibawa. "Kau pikir publik akan peduli itu salah paham? Foto kalian sudah beredar. Ada yang memotret kalian dari luar pintu. Besok pagi, semua orang akan tahu. Satu-satunya cara memperbaikinya adalah pernikahan."
Almira menelan ludah. Kepalanya pening mendengar kata-kata itu. Foto? Pernikahan? Ia bahkan baru tahu pria ini bernama Adrian, dan tahu-tahu... mereka akan dipaksa menikah?
Tiga minggu kemudian, pernikahan itu benar-benar terjadi.
Gaun putih yang dikenakan Almira terasa seperti pakaian pinjaman yang terlalu berat. Senyumnya dipaksakan, langkahnya kaku. Di sampingnya, Adrian berdiri tegap dalam setelan jas hitam, namun wajahnya sedingin marmer. Tatapan matanya kosong, seolah pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas yang tak ada artinya.
Saat penghulu mengucapkan ijab kabul, suara Adrian terdengar datar. Tidak ada getaran emosional, tidak ada senyum sekilas pun. Sementara itu, tangan Almira dingin, jantungnya berdegup tak karuan.
Sesudah acara, mereka tidak berbicara banyak. Bahkan ketika masuk ke mobil yang akan membawa mereka pulang ke rumah Adrian, keheningan menggantung seperti kabut tebal.
Rumah Adrian Elvano berdiri megah di atas tanah yang luas. Dindingnya menjulang, dengan pilar-pilar besar yang mengesankan kemewahan klasik. Tapi begitu Almira melangkah masuk, ia tak merasakan kehangatan rumah-hanya dingin yang menusuk, sama seperti tatapan pemiliknya.
Keesokan paginya, Almira bangun lebih awal. Ia mencoba menata meja makan, berpikir mungkin itu bisa sedikit mencairkan suasana. Namun saat Adrian turun, ia hanya melirik sekilas, lalu duduk tanpa berkata sepatah kata pun.
"Selamat pagi," sapa Almira hati-hati.
Adrian hanya mengangguk tipis.
Tak tahan dengan kebekuan itu, Almira mencoba bicara lagi. "Aku... tahu ini bukan yang kau inginkan. Aku juga tidak menginginkan ini. Tapi... kita terpaksa, jadi mungkin-"
"Aku tidak ingin membicarakan ini," potong Adrian dingin. "Kau hanya guru les anakku yang kebetulan tinggal di sini. Jangan menganggap kita suami istri."
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Almira menunduk, berusaha menelan rasa perih yang membakar tenggorokannya.
Hari-hari berikutnya tidak jauh berbeda. Adrian pulang larut malam, jarang makan bersama. Bahkan saat mereka berada di satu ruangan, ia seperti berbicara pada udara kosong.
Suatu sore, Almira duduk di teras belakang sambil mengoreksi buku latihan milik Keira, putri Adrian yang berusia tujuh tahun. Gadis kecil itu manis, tapi cenderung pendiam seperti ayahnya.
"Tante Almira," suara Keira pelan, "Papa tidak marah sama Tante, kan?"
Almira tertegun, lalu tersenyum tipis. "Tidak, sayang. Papa hanya sibuk."
Tapi di dalam hatinya, ia tahu jawabannya tak sesederhana itu. Adrian tidak hanya sibuk-dia menutup dirinya rapat-rapat.
Malam itu, saat Almira kembali ke kamarnya, ia menemukan sebuah email masuk dari universitas luar negeri yang menawarkan program pertukaran pelajar. Tawaran itu seperti cahaya kecil di tengah gelap yang melingkupinya. Pergi... meninggalkan rumah ini... meninggalkan Adrian.
Namun, pikirannya bercabang. Bagaimana dengan Keira? Anak itu mulai terbiasa dengannya. Bagaimana pula dengan omongan orang jika ia pergi?
Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya berputar. Hatinya seperti berada di persimpangan. Pergi, atau bertahan di rumah yang tak pernah menerimanya.
Dan di luar pintu kamarnya, Adrian berdiri sejenak, menatap pintu itu dengan rahang mengeras. Ada sesuatu di matanya-entah kebencian, entah luka lama-sebelum ia berbalik dan pergi tanpa mengetuk.
Bab 1 hotel bintang lima
16/08/2025
Bab 2 Dia sudah terbiasa menunggu
16/08/2025
Bab 3 memperhatikan Keira
16/08/2025
Bab 4 kepercayaan diri
16/08/2025
Bab 5 Keira sakit
16/08/2025
Bab 6 menginginkanmu tetap di sana
16/08/2025
Bab 7 rumah sakit terasa sunyi
16/08/2025
Bab 8 Pesan misterius semalam
16/08/2025
Bab 9 Di dalam kamar rawat Keira
16/08/2025
Bab 10 Malam itu lebih sunyi daripada sebelumnya
16/08/2025
Bab 11 menahan rasa takut
16/08/2025
Bab 12 Kau terlalu dekat
16/08/2025
Bab 13 Aku akan kembali
16/08/2025
Bab 14 keamanan yang Adrian pasang
16/08/2025
Bab 15 menampilkan
16/08/2025
Bab 16 Kau mendapat pesan
16/08/2025
Bab 17 rasa cemas
16/08/2025
Bab 18 Mereka yang kau sayangi
16/08/2025
Bab 19 Pesan itu membuatnya sadar
16/08/2025
Bab 20 lambat
16/08/2025
Bab 21 Pilihanmu akan menentukan
16/08/2025
Bab 22 Rasanya pahit
16/08/2025
Bab 23 hujan semalam
16/08/2025
Bab 24 mengajarinya
16/08/2025
Bab 25 menenangkan
16/08/2025
Bab 26 halaman rumah
16/08/2025
Bab 27 tidak boleh terpancing.
16/08/2025
Bab 28 Apa yang terjadi
16/08/2025
Bab 29 kamar dengan lembut
16/08/2025
Bab 30 Matanya sembab
16/08/2025
Bab 31 kebisuan
16/08/2025
Bab 32 sedikit merinding
16/08/2025
Bab 33 mengucapkan kalimat tadi sore
16/08/2025
Bab 34 berhasil membuatnya kehilangan kendali
16/08/2025
Bab 35 Adrian pulang larut malam
16/08/2025
Bab 36 Bayangan hitam
16/08/2025
Bab 37 kebingungan
16/08/2025
Bab 38 membawa nama kita
16/08/2025
Bab 39 kejadian terakhir
16/08/2025
Bab 40 tawa kecil
16/08/2025
Buku lain oleh suyono
Selebihnya