Suami Yang Menolak, Hati Yang Hancur
muncul, tapi cahayanya redup, terhalang awan yang menggantung rendah di lang
lapar. Ia sudah bangun sejak subuh, namun hatinya seperti masih tertinggal di mimpi yang samar-
tangga. Mantap, tapi tidak tergesa. Pria itu muncul dengan kemeja biru yang lenga
menyapa, melainkan membuka ponselnya. K
atanya datar, ma
nti bergerak. "Sakit? Bukanny
inggi, katanya sejak tengah malam. Mereka sudah bawa ke klinik kec
h sendoknya.
gas tapi tanpa nada marah. "Kalau kamu mau ikut, bers
langsung berbalik menuju pintu kelu
tu di nadanya tadi-dingin, tapi terseli
jal
endaraan pagi. Hujan semalam membuat aspal mengilap, dan gen
h karena biasanya ia duduk di depan, di samping sopir. Mungkin Adria
erdengar hanya suara mesin dan se
dari sudut matanya, ia bisa melihat Adrian sesekali menunduk menatap p
?" tanyanya ak
us ke depan, tapi jemarinya berhenti mengetik. "Keir
ban itu terdengar seperti din
ah
tiseptik yang menusuk hidung. Di ruang IGD, Keira berbaring di ranjang, pipinya memer
emamnya masih 39 derajat. Dokt
menunduk memegang tangan keci
tersenyum lemah. "Ayah..." su
i mata Adrian yang jarang-bahkan hampir tak pernah-ia lihat. Bukan tatapan pen
ata Adrian sambil menoleh singkat ke Alm
yang P
taman kecil dengan beberapa pohon flamboyan. Cahaya siang
a tidur nyenyak setelah minum obat penurun panas. Sua
ik berisi roti dan air mineral. "M
di pagi. Almira menerima roti itu t
sakit seperti ini?" tanya
u sebabnya aku tidak suka membiarkannya menginap di
a-kata itu-bukan sekadar protektif, tapi se
ta
Suhu tubuhnya mulai turun, namun ia tetap dim
etarisnya. Nada suaranya rendah, namun tegas. Almira tidak
anya. "Aku harus ke kantor sebentar malam
au begitu, biar aku
ti menimbang. "Baiklah. Tapi
benar-benar mempercayakan sesuatu p
a
s, wajahnya tampak lebih tenang. Almira duduk di kurs
r tak dikenal: "Hati-hati. Tidak semua orang
dikit lebih cepat. Ia tidak tahu siapa pengirimnya, tap
linya, ia berharap A