/0/27202/coverbig.jpg?v=f52e8846988ac37d758841a99a0961ed&imageMogr2/format/webp)
Arlisa meminta suaminya, Radwan, untuk menikah lagi-sebuah keputusan yang ia ambil hanya demi mendapatkan perhatian yang sudah lama hilang dari pria itu. Ia berharap dengan adanya orang ketiga, Radwan akan kembali menyadari keberadaannya, kembali menoleh dan menyentuh dirinya seperti dulu. Namun kenyataan berbalik menyakitkan. Radwan justru larut dalam kemesraan bersama istrinya yang baru. Senyum, tatapan lembut, hingga sentuhan penuh gairah yang dulu Arlisa rindukan, kini hanya ia saksikan berpindah kepada madunya. Arlisa hanya bisa menelan pahit, menahan sesak di dada setiap kali melihat kebahagiaan yang tak lagi menjadi miliknya. Mampukah Arlisa bertahan dalam badai gairah yang semakin tak tertahankan? Ataukah ia akan memilih jalan yang berbeda-mencari pelukan hangat di luar rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman?
Arlisa duduk di tepi ranjang besar berlapis sprei putih itu dengan tatapan kosong. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tapi ia masih terjaga. Tangannya meremas ujung selimut, sementara pikirannya melayang jauh, memutar ulang percakapan yang beberapa minggu lalu ia lontarkan pada suaminya.
"Bang... mungkin abang sebaiknya menikah lagi saja."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya waktu itu, dalam keadaan hati yang penuh keraguan dan putus asa. Ia masih bisa mengingat jelas wajah Radwan, suaminya, yang tampak terkejut, lalu terdiam lama sebelum akhirnya menatapnya dengan sorot yang sulit ditebak.
Arlisa tidak sedang bergurau. Ia sungguh-sungguh merasa bahwa rumah tangga mereka mulai kehilangan kehangatan. Radwan jarang menyentuhnya, jarang berbicara panjang, bahkan sekadar duduk berdua sambil minum teh di teras pun semakin langka. Dingin. Semua terasa dingin.
Awalnya Arlisa berpikir itu hanya fase. Radwan mungkin lelah bekerja, mungkin stres dengan beban kantor. Tapi setelah berbulan-bulan, keadaan tak kunjung berubah. Sentuhan yang dulu membuatnya merasa hidup kini nyaris hilang. Pelukan sebelum tidur hanya tinggal kenangan.
Arlisa bukan tipe istri yang menuntut banyak. Ia bisa mengurus rumah, melayani dengan sabar, dan berusaha memahami keadaan suaminya. Tapi ia juga perempuan, dengan hati yang butuh kasih sayang, dan tubuh yang merindukan belaian. Dan ketika semua itu tidak ia dapatkan, Arlisa mencari cara lain-cara yang menurutnya bodoh, tapi saat itu ia merasa itu satu-satunya jalan.
Ia berharap, jika Radwan punya madu, ia akan tersulut rasa cemburu, lalu justru kembali mencari Arlisa. Bukankah sering kali manusia baru menghargai sesuatu ketika hampir kehilangan?
Namun, malam-malam seperti ini membuat Arlisa sadar bahwa dirinya mungkin telah mengambil keputusan paling gila dalam hidup.
"Lis, kamu yakin?" suara lembut tapi mantap itu menggema di telinganya. Radwan menanyakan ulang kala Arlisa menyarankan pernikahan kedua.
Arlisa menunduk, menahan getar di dadanya. "Aku... aku cuma ingin abang bahagia. Kalau memang aku tidak bisa memenuhi semuanya, mungkin ada perempuan lain yang bisa. Mungkin setelah itu abang bisa kembali... menoleh padaku."
Radwan memandangnya dengan tatapan sulit diartikan. Ada ketegasan, ada kebingungan, tapi juga seolah ada secercah lega. Dan saat Radwan akhirnya menyetujui gagasan gila itu, hati Arlisa justru hancur, meski bibirnya tersenyum samar.
Kini, beberapa minggu setelah akad itu berlangsung, kenyataan mulai benar-benar menamparnya. Radwan menikah lagi dengan seorang perempuan muda bernama Raline. Cantik, segar, penuh semangat-persis lawan dari dirinya yang mulai kusam oleh rutinitas.
Arlisa sering mendengar tawa mereka dari kamar sebelah. Tawa yang dulu sering menghiasi ruang keluarga, kini hanya menjadi tamu asing di telinganya. Kadang ia mendengar suara lembut Radwan memanggil nama istrinya yang baru, dengan nada manja yang sudah lama tidak pernah ia dengar lagi.
Dan malam ini, ketika tembok kamar tipis itu seolah tidak mampu menahan kenyataan, Arlisa menggigit bibirnya erat-erat. Ada suara langkah, ada bisikan, lalu ada tawa renyah Raline yang membuat hatinya seperti disayat.
Air mata Arlisa jatuh tanpa bisa ia cegah. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, mencoba meredam suara yang menembus dinding.
"Ya Allah... ini bukan yang aku harapkan," lirihnya. "Aku cuma ingin dia kembali padaku, bukan pergi semakin jauh..."
Hari-hari Arlisa berjalan dalam bayang-bayang luka. Saat pagi tiba, ia tetap menyajikan sarapan seperti biasa. Nasi goreng kesukaan Radwan, teh hangat, dan potongan buah. Tapi Radwan jarang menyentuhnya. Ia sudah terlalu terbiasa dengan sarapan buatan Raline yang katanya lebih variatif, lebih segar, lebih 'anak muda'.
Pernah suatu kali, Arlisa melihat Radwan mencicipi sup buatan Raline di meja makan sambil memuji, "Ini enak sekali, Lin. Kamu belajar dari mana?" Dan saat itu, hati Arlisa remuk menjadi serpihan kecil.
Ia ingin berteriak bahwa dirinya juga bisa memasak enak, bahwa selama bertahun-tahun ia sudah mencoba menyenangkan hati Radwan dengan makanan kesukaan. Tapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa tersenyum hambar, lalu beranjak ke dapur dengan alasan membereskan piring.
Di ruang tamu, Arlisa duduk seorang diri sambil menatap foto pernikahannya dengan Radwan. Foto itu penuh senyum bahagia. Waktu itu, ia percaya cinta mereka cukup untuk menghadapi apapun. Radwan pernah berjanji akan selalu ada untuknya.
Tapi janji, ternyata, bisa pudar oleh waktu.
"Kenapa aku yang harus meminta semua ini terjadi?" bisiknya getir. "Kenapa aku begitu bodoh, mengizinkan madu hadir di rumahku sendiri?"
Suara hatinya terus bertarung. Di satu sisi, ia masih sangat mencintai Radwan. Ia masih ingin dipeluk, masih ingin disentuh, masih ingin diperhatikan. Tapi di sisi lain, ia lelah menjadi penonton dalam panggung rumah tangga sendiri.
Malam demi malam, gairah yang ia pendam semakin menyesakkan. Arlisa masih perempuan normal, dengan darah dan daging yang merindukan keintiman. Tapi Radwan tak lagi menyentuhnya. Bahkan, sekadar menoleh pun jarang.
Arlisa pernah mencoba mendekat. Suatu malam, ia masuk ke kamar Radwan dengan harapan bisa berbaring di sampingnya, seperti dulu. Namun, Radwan dengan halus berkata, "Lis, aku capek. Tidurlah di kamarmu, ya."
Dan sejak malam itu, Arlisa tak berani lagi mencoba. Ia merasa seperti orang asing di rumah sendiri.
Hari berganti minggu, dan luka Arlisa kian dalam. Ia mulai sering menyendiri di kamar, membaca buku, atau menulis curahan hati di buku catatan lusuhnya.
Di halaman terakhir catatan itu, ia menulis:
"Aku ingin bahagia, tapi kebahagiaan itu seperti menjauh. Aku ingin cinta, tapi cinta itu kini terbagi. Sampai kapan aku bisa bertahan?"
Sore itu, saat hujan turun deras, Arlisa berdiri di depan jendela, menatap tetesan air yang berlari di kaca. Radwan belum pulang, katanya menemani Raline belanja ke mall. Dan ia? Sendirian lagi, dengan segelas teh yang sudah dingin di tangan.
Tiba-tiba, hatinya bertanya lirih, "Haruskah aku mencari kehangatan di luar? Haruskah aku mencari seseorang yang bisa membuatku merasa hidup lagi?"
Pertanyaan itu membuat Arlisa merinding sendiri. Ia tahu itu berbahaya. Tapi semakin ia menahannya, semakin sesak rasanya.
Malam itu, ketika Radwan pulang dengan wajah sumringah membawa kantong belanjaan bersama Raline, Arlisa tersenyum tipis. Senyum yang dipaksakan, yang tak pernah sampai ke matanya.
Dalam hati, ia sadar satu hal: jalan yang ia pilih telah menjadi bumerang. Dan kini, ia berdiri di persimpangan paling sulit dalam hidupnya-bertahan dalam rumah tangga yang dingin, atau pergi mencari pelukan hangat di luar sana.
Bab 1 menikah lagi
17/08/2025
Bab 2 Arlisa hanya diam
17/08/2025
Bab 3 aku tahu ini mungkin salah waktu
17/08/2025
Bab 4 rumah begitu ramai
17/08/2025
Bab 5 sinetron malam
17/08/2025
Bab 6 penuh kebahagiaan
17/08/2025
Bab 7 menertawakan kesedihan
17/08/2025
Bab 8 perempuan itu adalah dirinya sendiri
17/08/2025
Bab 9 menyelesaikan pekerjaannya
17/08/2025
Bab 10 membantunya mendapatkan uang sendiri
17/08/2025
Bab 11 benar-benar melakukan ini
17/08/2025
Bab 12 pendingin ruangan semalam
17/08/2025
Bab 13 mimpi buruk
17/08/2025
Bab 14 antara Radwan dan Raline
17/08/2025
Bab 15 mustahil
17/08/2025
Bab 16 semakin aman ia akan berada
17/08/2025
Bab 17 rasa lega
17/08/2025
Bab 18 membutuhkan lebih
17/08/2025
Bab 19 sarapan lengkap
17/08/2025
Bab 20 kekhawatiran
17/08/2025
Bab 21 sekarang yang penting adalah kau aman
17/08/2025
Bab 22 tumpangan pulang
17/08/2025
Bab 23 mata yang menyala amarah
17/08/2025
Bab 24 ruang keluarga
17/08/2025
Bab 25 Hatinya berdebar
17/08/2025
Bab 26 serius dan hangat
17/08/2025
Bab 27 tidak ada ruang untuk kesalahan
17/08/2025
Bab 28 harus diperhitungkan
17/08/2025
Bab 29 menentukan keselamatannya
17/08/2025
Bab 30 Hatinya dipenuhi rasa takut
17/08/2025
Bab 31 berpura-pura membaca buku
17/08/2025
Bab 32 memanfaatkan
17/08/2025
Bab 33 hanyalah kedok
17/08/2025
Bab 34 membutuhkan perlindungan
17/08/2025
Bab 35 tekad yang membara
17/08/2025
Bab 36 menyimpan rasa sakit
17/08/2025
Buku lain oleh suyono
Selebihnya