Suamiku Memilih Maduku
menayangkan sebuah sinetron malam. Ia bahkan tidak tahu alurnya, tidak peduli siapa tokohnya, tidak paham konflik yang sed
ngan kosong, sesekali menghela napas panjang. Ia menunggu. Menunggu Radwan pulang. Menungg
mbuat hatinya
iknya lirih, suaranya nyaris ten
an gemuruh hatinya. Namun sekeras apa pun ia
an mengangkat wajahnya. Radwan masuk dengan langkah tenang, aroma par
Radwan ringan, seolah
an ludah. "A
menuju kulkas untuk mengambil sebotol air dingin. Ia minum tanpa m
panggil Ar
wan menol
lang terla
uduk di sofa seberang. "Aku
ya tajam. "Kant
angsung menjawab. Hanya tatapan dingin yang ia arahkan pucap Radwan akhirnya, suara
a-pura, Radwan. Aku yang menyuruhmu menikah lagi, iya, aku sadar. Tapi
yang memintaku menikah lagi. Sekarang kau ya
leh emosi yang sudah lama ia tekan. "Aku masih ada di sini, menunggumu
nya kembali. "Aku tidak in
inya. "Radwan! Jangan pergi lagi. Malam
ya menatapnya dengan ekspresi datar. Ia melepaskan pegangan Ar
a menutup wajah dengan kedua tangannyn tipis. Ia harus keluar, membeli beberapa keperluan rumah. Di supermark
ika mendengar suara tawa yang
ma istrinya yang baru. Radwan tampak begitu mesra menggandeng tangan wanita it
antungnya berdegup tak beraturan. Ia ber
ir matanya kem
abaikannya. Ia terus berjalan bersama wanita itu,
ke meja dapur dengan kasar. Dadanya naik-turun menahan se
da bayangannya sendiri. "Kau bahka
gi. Ia merasa dirinya terperangkap. Terj
memeluk bantal, membiarkan air matanya membasahi sarungnya. D
uar sana...?" bisiknya lirih, suara h
ulang, dan jika pulang pun hanya untuk tidur. Tak ada lagi
nata rumah serapi mungkin, bahkan merawat dirinya agar tampak l
ng menyiram bunga di halaman,
saja?" tanya Bu Ratna d
coba tersenyum. "Aku
percaya. "Aku sering melihat suamimu bersama... ya, k
h dalam. Ia hanya mengangguk lemah,
tangisnya
Arlisa yang tengah duduk di ruang tamu langsung b
Ayo makan bersama," ucapnya penuh sema
menatapnya singkat.
han memudar. "Dengan... dia?" t
njawab. Diamnya
ngis yang hampir pecah. Ia ingin berteriak, in
dak mencintaiku lagi?" tany
enatapnya. Tatapan itu dingin, tapi
tahu lagi
menghancurkan hati Arlisa. Ia terjalangkah pergi menin
sa tahu-ia berada d