Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Ahh … Sayang … ya, lagi. Sedikit lagi.”
Suara animalistik yang hampir menyentuh nikmat surgawi dari sebuah video rekaman alakadarnyar nyatanya membuat Yolanda Anastasia menjadi berang.
Dengan napas yang menderu, ia mengangkat tangannya dan meminta perias wajah untuk berhenti menyapukan riasan pada wajahnya yang tinggal sedikit lagi selesai.
“Jangan rias wajahku lagi,” pintanya sambil mengamati lekat video tersebut hingga gemetar hebat.
Yola tidak ingin percaya apa yang dirinya lihat sampai suara yang akrab di telinganya kembali terdengar. Mengalun dengan begitu menusuk sanubari dan relung di hatinya.
“Sayang, aku datang. Ya. Ya … astaga," ucap seorang pria yang nampak mengejang sebelum luruh.
“Tolong rahasiakan hal ini dari Yola,”sambungnya lagi sambil berguling dari perempuannya untuk berbaring di atas tempat tidur yang nampak kusut tersebut dengan selimut yang mencuat dari berbagai sisi.
Yola memandang hal itu dengan mata memicing dan menyaksikan video rekaman ini membuat air matanya tertumpah dengan deras hingga menganak sungai.
Bukankah harusnya hari ini adalah hari bahagia untuknya? Ketika dirinya dapat bersanding dengan Raden Dwimas, seorang konglomerat serta CEO dari perusahaan ekspor impor mebel.
Ketika akhirnya jalinan asmara delapan tahun antara Yolanda Anastasia dan Raden Dwimas berakhir bahagia?
Namun kenapa? Hanya berselang beberapa jam dari janji suci dan ikrar yang terucap, ia malah mendapatkan kiriman tidak senonoh yang menampilkan suaminya tengah bermesraan dengan perempuan lain?
Yang lebih parahnya, setelah Yola mengamati dengan lekat, perempuan yang sedang memadu kasih dengan calon suaminya adalah Irene, sahabat karibnya yang bahkan kini menjadi pendampingnya untuk menuju altar.
Perlahan, pintu ruang itu terbuka dan menampilkan seorang pendamping pengantin yang tengah membawakan buket bunga untuk Yola pegang nantinya.
“Yola, ini aku bawa bunga untuk kau pegang waktu jalan ke altar—” suaranya terputus dan sebuah senyuman sirna dari wajahnya ketika melihat Yola bergegas bangun dari tempatnya sambil melemparkan telepon genggam yang masih memutar video tersebut dengan volume paling kencang.
BRAK!
“Kau kenapa Yol?” tanya Irene dengan gugup sambil mengambil benda pipih yang dijatuhkan oleh sahabatnya tersebut sebelum mendengar suaranya sendiri yang tengah beradu dengan suara milik Raden.
“Masih bertanya aku kenapa, Ren? Kau beneran jadi duri dalam daging ya ternyata! Bisa bisanya dirimu tidur dengan Raden!”
Mendengar gelagar amarah dari Yola membuat beberapa perias wajah keluar dari kamar tersebut sementara Irene mematung di tempatnya.
Perempuan itu ragu antara ingin mematikan telepon genggam tersebut yang masih mengeluarkan suara atau mencoba menenangkan Yola.
“I-itu bukan diriku. Mukanya saja yang mirip. Kan dirimu tahu sekarang ada aplikasi untuk ngedit muka,” jawabnya.
Mendengar penuturan dari Irene membuat Yola menggeleng dengan kuat kemudian dirinya berjalan dengan cepat meski merasa kesulitan akibat baju pengantinnya yang sungguh lebar hingga menyapu lantai.
Ia kumpulkan ujung dressnya sebelum melangkah dan mendekati Irene. Kala jarak mereka hanya berbeda beberapa helai rambut, Yola berbicara dengan nada yang cukup bengis.
“Mirip? Mirip sama dirimu? Oh, aku sangat amat percaya dengan dirimu, Ren. Sahabat terbaik yang aku miliki sejak bersekolah hingga kita bekerja dan aku hampir menikah dengan Raden. Benar. Aku harus mempercayai dirimu, bukan?” tanyanya dengan penuh sindiran yang cukup pedas seraya mengambil buket bunga yang sejak tadi di genggam oleh Irene.
“Dirimu memang tidak akan mengkhianati diriku 'kan, Ren? Terima kasih sudah menjadi sahabat paling baik yang pernah aku miliki,” tambahnya lagi dengan mata yang memerah.
“Yola—”
“Kenapa masih diam di situ? Kenapa dirimu tidak keluar dari sini?” potong Yola dengan cepat sebelum menginjak buket bunga tersebut yang membuat kelopaknya berhamburan serta tangkainya patah.
“Kenapa Ren kenapa?!” tanyanya lagi dengan nada yang lebih keras.
“I-itu bukan diriku. Aku tidak mungkin melakukan perbuatan tercela dengan Raden di hadapanmu,” ucap Irene dengan cukup terbata yang membuat Yola semakin terbakar amarah.
“Di hadapanmu.” Yola berdecih kala mengulang apa yang terlontar dari belah bibir Irene dengan tidak habis pikir.
“Dasar pembohong! Kau memang lihai mengelabui diriku, Irene. Kau tidak melakukan apapun di hadapanku namun di belakang, kau bermain tunggangan kuda bersama dengan Raden!” imbuhnya.
Napasnya menderu dengan hebat, langkahnya limbung hingga ia harus berpegangan pada bangku yang sebelumnya ia gunakan untuk merias diri.
“Ternyata dirimu memang merupakan pagar makan tanaman, Irene. Aku kerap bercerita pada dirimu tentang hubunganku dengan Raden, ternyata … ternyata dirimu malah menikung dan bahkan kawin dengan Raden. Dasar binatang!” murkanya lagi sambil berpaling dan menggelengkan kepalanya.
Yola beranjak ke arah jendela dan menyibak tirainya sedikit untuk melihat tamu yang mulai datang dan memenuhi kawasan pernikahannya.
Tamu-tamu yang nampak bahagia serta orang tuanya yang tersenyum tulus kala bertemu teman lama mereka.