Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Komentar
Penayangan
Bab

Bab 1 Ranjang

Pagi itu, aku baru saja tiba di kantor setelah cuti dua hari karena proses pindahan ke rumah baru. Rasanya masih ada lelah yang tersisa, tapi semangat kembali bekerja mengalahkan segalanya. Belum sempat aku duduk, suara khas Riva langsung menyambut riang.

"Wah, selamat ya, Say! Akhirnya keluar juga dari rumah kontrakan sempit itu! Sekarang Suci bisa lari-larian di rumah yang lebih proper!"

Aku tertawa, tak kuasa menahan senyum mendengar celotehnya yang selalu apa adanya. "Iya, akhirnya juga bisa punya halaman buat tanam bunga. Suci senang banget, tiap pagi nyiram tanaman, walaupun lebih sering main airnya."

Belum lima menit, seperti yang sudah bisa ditebak, Riva langsung menengok ke teman-teman yang mulai merapat.

"Eh, berarti ini momen dong ya? Ada yang baru pindah rumah, waktunya kita pesan makanan enak nih!"

Serentak semua bersorak setuju, seperti memang sudah menunggu isyarat kecil saja.

Dan seperti biasa, aku yang baru balik malah jadi korban traktiran. Tapi anehnya, aku senang-karena aku juga sering melakukan hal yang sama saat orang lain ulang tahun, promosi, atau bahkan baru ganti gaya rambut. Di kantor ini, logika traktiran memang suka terbalik: yang merayakan, justru yang ditodong.

Namun kami semua paham batasnya. Kalau ada rekan yang memang sedang dalam kondisi terbatas, kami takkan memaksa. Bahkan bisa jadi kami yang patungan untuk membuatnya merasa dihargai. Yang penting, suasananya selalu hangat dan penuh tawa.

Hari itu, aroma ayam geprek dan nasi uduk semerbak memenuhi ruang kantor, diselingi candaan dan suara-suara yang saling tumpang tindih. Aku duduk di tengah mereka, menggigit risoles yang masih hangat, dan merasa... pulang. Bukan hanya ke rumah baru, tapi ke rutinitas yang aku syukuri-tempat di mana pekerjaan dan pertemanan saling menyambut dalam kehangatan sederhana.

Suasana kantor masih riuh dengan sisa-sisa tawa dan obrolan makan siang. Aroma ayam geprek dan sambal matah masih menggantung di udara, sementara beberapa rekan mulai kembali ke meja masing-masing, mengelus perut kekenyangan. Aku sedang membereskan bungkus plastik di mejaku ketika suara khas itu terdengar dari balik pintu kaca.

"Bu Rissa, bisa ke ruangan saya sebentar?"

Pak Yosep. Atasanku yang kharismatik itu.

Aku pun segera berdiri dan melangkah ke ruangannya. Seperti biasa, ia menyambut dengan senyum ramah khasnya. Posturnya tinggi besar, kulitnya cerah khas blasteran India-Indonesia, dan selalu rapi dengan kemeja lengan panjang berwarna netral. Tapi yang membuat semua orang menghormatinya bukan itu-melainkan wibawa dan kehangatan yang selalu memancar dari cara bicaranya.

Kami duduk santai di ruangannya yang sejuk. Sambil menyeruput kopi yang tinggal setengah, Pak Yosep membuka obrolan ringan.

"Gimana rumah barunya, Riss? Sudah nyaman? Suci pasti senang, ya."

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Alhamdulillah, Pak. Senang sekali, apalagi Suci. Dia sampai minta bikin taman sendiri."

Obrolan pun mengalir ringan. Lalu tiba-tiba, dengan nada yang santai tapi penuh rasa ingin tahu, ia bertanya tentang Mas Aldo-suamiku.

"Sekarang Mas Aldo sibuk di mana, Riss? Masih di cabang luar kota itu?"

"Gak sih, hanya memang lebih sering dinas luarnya. Dalam sebulan bisa empat sampai lima kali. Tapi ya, demi kemajuan karirnya juga, Pak."

Aku jawab sejujurnya, sebagaimana biasanya. Pak Yosep memang dari dulu perhatian, bahkan sejak aku masih gadis. Aku tahu betul beliau punya rasa yang sempat terpendam dulu. Tapi ia tak pernah melangkah melewati batas. Ia selalu menjaga sikap dan aku pun sudah lama menganggapnya seperti ayah sendiri-figur panutan yang tidak hanya dihormati, tapi juga dicintai banyak orang di kantor ini.

Lalu, tanpa banyak basa-basi, beliau membuka laci meja kerjanya dan menyodorkan sebuah amplop putih kepadaku.

"Ini buat makan siang tadi. Saya tahu pasti kamu yang bayarin semua, termasuk yang buat saya."

Aku nyengir kecil. Sudah bisa menebak sejak tadi. Amplop itu tidak kubuka, tapi aku tahu, seperti biasa, isinya akan sangat pas-tidak lebih, tidak kurang.

"Terima kasih, Pak. Tapi kan nggak perlu juga repot-repot..."

Beliau hanya tertawa. "Ah, kalau semua atasan kayak saya, pasti kantor ini tambah bahagia."

Kami berdua tertawa pelan.

Ya, Pak Yosep memang begitu. Elegan, adil, dan tahu bagaimana menjaga hubungan profesional tanpa kehilangan sentuhan pribadi. Kami semua mencintainya-bukan karena jabatannya, tapi karena ketulusannya.

Aku keluar dari ruangannya dengan hati ringan dan senyum mengembang. Rasanya seperti mendapat suntikan semangat baru untuk menyelesaikan sisa hari. Amplop itu kugengam erat, bukan karena nominalnya, tapi karena isinya: perhatian dan rasa hormat yang tulus.

Baru saja aku duduk, belum sempat menaruh amplop pemberiannya ke laci meja, Riva sudah menghampiri. Wajahnya menyeringai kecil dengan gaya andalannya-setengah serius, setengah mengiba.

"Riss..." bisiknya sambil duduk di pinggir mejaku, "Pinjem dulu dong. Buat arisan. Aku kepepet banget, demi Allah."

Aku hanya menatapnya sebentar, lalu menghela napas pelan. Dalam hati aku sudah bisa menebaknya sejak tadi. Ini bukan pertama kali. Dan pasti bukan yang terakhir.

Dengan sedikit ragu, aku sodorkan amplop putih itu ke tangannya. Ia menerimanya dengan senyum penuh kemenangan kecil, lalu langsung memelukku sebentar sambil berbisik, "Thanks ya, sahabatku dunia akhirat. Bulan depan aku ganti, janji."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Riva adalah sahabatku sejak zaman putih abu-abu, bahkan kami sempat satu kos saat kuliah. Kami sudah berbagi banyak hal: cerita cinta pertama, patah hati, skripsi yang dikejar-kejar deadline, bahkan sampai ke fase menjadi ibu. Dan jujur saja, aku bisa berada di kantor ini, di posisi yang nyaman ini, juga karena bantuannya.

Riva orangnya baik, perhatian, dan selalu ada saat aku butuh. Tapi ya itu... hobinya arisan dan belanja kadang bikin aku geleng-geleng kepala. Suaminya sendiri kadang suka ngedumel, merasa jadi ATM berjalan. Tapi aku tahu, Riva selalu punya cara untuk menenangkan semuanya.

Dan meski kadang aku sebal juga kalau dia terus-terusan minjam tanpa tanggal pasti balikinnya, aku tetap saja luluh. Karena ya... dia Riva. Sahabatku. Yang kalau aku sedih, bisa tiba-tiba muncul dengan boba dingin dan pelukan hangat tanpa diminta. Yang kalau aku down, langsung ngajak karaoke nyanyi lagu galau sampai suara habis.

Amplop itu memang pindah tangan, tapi aku tahu aku nggak kehilangan apa-apa. Karena sahabat sejati, meski kadang merepotkan, selalu tahu caranya menebus semuanya-entah dengan perhatian kecil, atau sekadar tawa lepas di tengah hari yang penat.

Mobilku perlahan memasuki kompleks perumahan baru kami. Jalanannya masih mulus, belum banyak dilalui kendaraan. Di kiri kanan, deretan rumah tampak masih segar-catnya cerah, taman kecil di depan rumah tertata rapi, dan beberapa rumah bahkan masih dipenuhi kardus dan perabotan belum dibongkar.

Mataku menyapu suasana sekitar. Di beberapa sudut, terlihat pasangan muda yang sedang menyiram tanaman atau sekadar duduk-duduk di teras sambil mengawasi anak-anak mereka bermain sepeda. Rata-rata tampaknya seusia denganku-usia 30-an, dengan dua anak kecil yang berlarian di trotoar.

"Sepertinya aku bakal betah tinggal di sini," aku membatin sambil tersenyum kecil.

Ada rasa lega yang perlahan mengisi dadaku. Lingkungan ini terasa hidup, tapi tidak gaduh. Tidak mewah, tapi nyaman. Semuanya seperti berada dalam satu irama: keluarga muda yang berjuang bersama membangun rumah tangga dan masa depan.

Di ujung jalan, kulihat rumahku-rapi, bersih, dengan cat krem yang hangat dan pagar kecil yang manis. Terlihat sederhana tapi bersahabat. Dari jendela depannya, tampak tirai tipis melambai pelan tertiup angin. Hatiku menghangat.

"Akhirnya..." gumamku pelan, "tempat baru, awal yang baru."

Saat akan belok masuk pekarangan aku terdiam dan duduk sejenak dalam mobil, menikmati suasana. Anak-anak tetangga masih berlarian sambil tertawa riang. Seorang ibu muda melambaikan tangan dari halaman rumah sebelah.

"Baru pindah ya, Bu?" sapanya ramah.

"Iya, baru kemarin. Saya Rissa," jawabku sambil tersenyum.

"Saya Tia. Anak saya dua, itu yang baju merah sama yang main sepeda. Rumah saya sebelah kanan. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan ya!"

"Terima kasih banyak, Mbak Tia. Wah, sepertinya kita satu generasi ya," jawabku, mulai merasa lebih ringan.

Ya, besar kemungkinan aku akan betah di sini. Setidaknya, aku tak merasa sendiri. Orang-orangnya sepertinya satu frekuensi denganku. Dan itu-buat seorang ibu yang tengah berjuang mempertahankan keluarga-adalah anugerah kecil yang tak ternilai.

^*^

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Cris Pollalis
5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Patah Hati Mendatangkan Pria yang Tepat

Patah Hati Mendatangkan Pria yang Tepat

Renell Lezama
5.0

Tunangan Lena adalah pria yang menyerupai iblis. Dia tidak hanya berbohong padanya tetapi juga tidur dengan ibu tirinya, bersekongkol untuk mengambil kekayaan keluarganya, dan kemudian menjebaknya untuk berhubungan seks dengan orang asing. Untuk mencegah rencana jahat pria itu, Lena memutuskan untuk mencari seorang pria untuk mengganggu pesta pertunangannya dan mempermalukan bajingan yang selingkuh itu. Tidak pernah dia membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan orang asing yang sangat tampan yang sangat dia butuhkan. Di pesta pertunangan, pria itu dengan berani menyatakan bahwa dia adalah wanitanya. Lena mengira dia hanya pria miskin yang menginginkan uangnya. Akan tetapi, begitu mereka memulai hubungan palsu mereka, dia menyadari bahwa keberuntungan terus menghampirinya. Dia pikir mereka akan berpisah setelah pesta pertunangan, tetapi pria ini tetap di sisinya. "Kita harus tetap bersama, Lena. Ingat, aku sekarang tunanganmu." "Delon, kamu bersamaku karena uangku, bukan?" Lena bertanya, menyipitkan matanya padanya. Delon terkejut dengan tuduhan itu. Bagaimana mungkin dia, pewaris Keluarga Winata dan CEO Grup Vit, bersamanya demi uang? Dia mengendalikan lebih dari setengah ekonomi kota. Uang bukanlah masalah baginya! Keduanya semakin dekat dan dekat. Suatu hari, Lena akhirnya menyadari bahwa Delon sebenarnya adalah orang asing yang pernah tidur dengannya berbulan-bulan yang lalu. Apakah kesadaran ini akan mengubah hal-hal di antara mereka? Untuk lebih baik atau lebih buruk?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku