Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ranjang Yang Ternoda

Ranjang Yang Ternoda

Fajar Merona

5.0
Komentar
801
Penayangan
2
Bab

Khusus bacaan yang sudah punya ranjang sendiri, kalau masih numpang sama ranjang orang lain, sebaiknya abaikan cerita ini. Jadi, sebelum membaca kisah ini, mohon dipastikan dulu ranjang yang kamu pakai memang benar-benar bukan ranjang pinjaman.

Bab 1 Terciduk Polisi

Lamunan Melia seketika ambyar karena ada gedoran keras pada pintu rumahnya.

“Demi Tuhan, Mel! Kamu pasti tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi!" cerocos Widia seperti petasan yang dibakar begitu Melia membukakan pintu untuknya.

"Wah! Gosip panas nih? Pastinya lumayan bagus. Kamu belum pernah bersemangat seperti ini sejak tahu Irzan ganteng itu ternyata punya kekasih sesama lelaki, hihihihi," jawab Melia sambil terkikik.

“No! aku sudah melupakan dia! Tapi ini masih tentang brondong juga! Astaga Mel, aku masih tak bisa percaya apa yang baru saja kulihat. Mataku masih berasa kelilipan, oh my God!" Widia makin berapi-api.

“Oke kita ngobrol di dalama aja,” ajak Melia sambil menarik tangan Widia, dan mereka pun bergerak menuju ruang keluarga.

“Nola kemana, Mel?” tanya Widia sambil melangkah ke dekat kulkas.

“Lagi main di rumah Bi Asih,” jawab Melia sambil duduk di tepi sofanya.

“Ampe kehausan gini aku, Mel,” ucap Widia sesaat setelah kembali ke sofa sambil memegang segelas air putih, lalu duduk di samping sofa.

"Isi kepalamu sepertinya mau pecah deh. Ceritain dong ada apa, sih?" Melia mesem-mesem, geli dengan tingkah sahabatnya yang selalu berapi-api dalam merespon sesuatu. Bahkan jika itu sangat receh.

"Gini, aku barusan pergi ke tempatnya Bu Nia, tetangga kita yang baru itu. Maksudnya buat narik uang arisan, soalnya dia kan udah daftar.”

“Ya.”

“Oh my God. Ternyata selera meubel dan perabotannya sangat buruk, Mel!” Widia membelalakan matanya sepertinya teramat kaget.

“Hmmm lantas?” Melia sedikit mengernyitkan dahi, walau sudah sangat biasa dengan gaya sahabatnya yang terkadang super lebay.

“Nah, aku kan diterima sama Bu Nia, ngobrol bentar, kemduian aku diajak ke ruang makannya. Di sana ada meja makan bulat yang atasnya pake kaca. Lalu kita duduk di sana, dan aku membuka catatan arisan untuk menunjukkan dan sekaligus mengatakan kalau hari ini, dia wajib bayar."

"Oh, Jadi kamu melihat kalau mereka punya meja makan bulat kaca yang sangat buruk. Lantas kamu ke sini hanya untuk menceritakan itu? Pentingnya apa, Bestie?" Melia mulai sedikit mencibir mengejek kelebayan bestienya itu.

“Dengerin dulu, Bestie. Bukan meja makan yang aku lihat!”

“Lantas apa dong?”

“Nah, Bu Nia ngambil uang buat bayar, sambil manggil Kelvin, suaminya yang brondong itu. Mereka lantas membaca catatanku dan menyetujuinya. Kelvin saat itu masih memakai jubah mandi warna putih, rambutnya pun masih basah, mungkin baru keluar dari kamar mandi.” Widia menjeda ucapannya dengan meneguk minumannya.

“Ya, lantas.” Melia mulai sedikit penasaran.

“Kelvin duduk di seberangku, dan saat dia mengambil catatan itu, aku sedang melihat ke bawa menembus meja kaca itu. Kemudian Kelvin maju ke depan seraya membuka kakinya dan jubahnya tersingkap ke samping! Dia bahkan tidak memakai celana dalam. Dan aku langsung melihat ada yang menggantung di sana, Mel!” seru Widia sambil kembali membelalakan matanya.

“Hah!” Melia ikut tersentak.

“Maksud aku, saat dia bergerak itu, yang tergantungnya seperti diayun-ayun maju-mundur. Oh Tuhan! Itu bentuk dan ukurannya seperti pisang ambon itu, Mel!" jelas Widia sambil menunjuk pisang ambon yang ada di meja makan.

"Astaga. Kamu melihatnya langsung?" Melia kian tersentak.

"Hanya beberapa detik sih. Maksudnya, aku sebentar saja melihatnya karena malu."

"Ya, melihatnya hanya beberapa detik, tapi cukup lama menceritakannya. Kamu bahkan bisa ingat kalau itu terayun maju-mundur seperti pisang ambon ya? Dasar gilingan!" sergah Melia kesal.

“Hahahahaahaha!” Dan mereka pun tertawa terpingkal-pingkal.

"Apa Kelvin tahu kamu melihat pisang ambonnya? Bagaimana kalau Bu Nia juga tahu, kamu merhatiin pisang suaminya, Widia?” tanya Melia setelah tawanya mereda.

“Aku rasa tidak.”

“Baguslah. Tapi itu mungkin tidak sebesar yang kamu pikirkan. Maksud aku, kamu kan hanya sebentar melihatnya. Jadi tidak benar-benar mengetahui jika itu sebesar pisang ambon itu, hahahaha." Melia pun ikut-ikutan menujuk pisang ambon yang asli yang ukurannya memang begitu besar, dan dia tertawa geli.

"Mel, aku emang melihat punya Kelvin itu cuma sekejap, tapi kejadian setelah itu yang membuatku tertegun dan jadi kehausan begini!” Widia kembali menegug minumnya.

“Memang ada kejadian apa setelahnya?” Melia kembali melongo.

Widia lalu menarik tangan Melia ke dekat jendela dapur yang gordengnya sudah tersingkap.

“Nah!” seru Widia tiba-tiba, “Kamu kenal siapa brondong yang pake celana pendek biru itu? Dia anak kost barumu bukan?” lanjut Widia sambil menunjuk dua remaja yang sedang ngobrol sambil duduk di teras depan kamar mereka.

“Yang celana biru, Jovan. Ada apa dengan dia?” Melia balik bertanya.

Widia menarik tangan Melia untuk kembali duduk di sofa. “Aku kan pulang dari rumah Bu Nia itu lewat belakang rumahmu. Karena tiba-tiba kebelet pipis, maksud aku mau numpang di kamar mandi belakang yang biasa dipakai anak-anak kostmu. Ya, aku pikir pasti sepi, soalnya mereka pada kuliah kan.”

“Hmmm, and then?” Melia makin tak sabar.

“Begitu aku mendekati kamar mandi, di sana ada yang sedang kencing sambil berdiri. Dia memelorotkan celana pendeknya hangga pahanya. Dan bahkan tidak menutup pintunya dengan baik. Kamu tahu apa yang kulihat, Mil?” Pertanyaan Widia dijawab dengan gelengan kepala oleh Melia.

“Pisangnya Jovan ternyata lebih besar dan lebih panjang dari miliknya Kelvin!”

“Hah!” Melia makin terbelalak. “Kamu lihat langsung punya Jovan?” bisik Melia tak percaya.

“Yes, aku bisa pastikan itu. Karena cukup lama melihatnya, sampai kami sama-sama tersadar dan malu. Maksudnya aku yang malu. Kemudian aku bergegas ke sini. Dan sekarang, aku kebelet pipis lagi, hahahaha,” terang Widia sambil beranjak dari duduknya dan bergegas masuk ke kamar mandi.

“Sudah kuduga, dasar gilingan!” gerutu Melia.

Widia berusia dua tahun lebih tua dari Melia. Dia pengagum brondong ganteng, namun sejauh ini belum pernah terlibat affair dengan lelaki manapun, kendati suaminya sudah tua dan kurang perkasa. Widia hanya menjadi secret admirer buat brondong-brondong yang dia perkirakan punya senjata gedong, karena milik suaminya jauh dari kata besar.

“Punya Jovan itu sebenarnya bukan pisang lagi namanya, tapi terong ungu, Mel!” bisik Widia setelah kembali dari kamar mandi. Melia kembali hanya tersenyum dan jantungnya mulai sedikit dag-dig-dug tak karuan.

Ketika Widia sedang di kamar mandi, Melia kembali menyempatkan mengintip Jovan yng sedang ngobrol serius dengan Decky, teman kostnya. Sebenarnya Melia juga sempat beberapa kali melihat Jovan dalam keadaan seronok, hanya memakai kolor atau boxer saat menjemur dan mengangkat cuciannya. Melia bahkan masih ingat, sebesar apa tonjolan selangkangan Jovan kala itu. Tidak salah jika Widia mengatakan seperti terong ungu.

“Jaga baik-baik tuh, Mel. Jovan itu brondong kualitas super yang udah langka. Kalem, ganteng, gedong lagi. Hihihi!” pungkas Widia sebelum berpamitan dan hendak keluar dari rumah Melia untuk melanjutkan kegiatan ngabragnya,

“Eh, emangnya kamu udah pernah lihat punya Decky?” Melia berbisik sebelum Widia benar-benar keluar dari rumahnya.

“Belum sih, tapi aku rasa, sulit mencari bandingannya buat yang Jovan. Decky emang badannya lebih alteltis, secara kan usia dia juga lebih matang ya. Tapi sepertinya punya Jovan emang beda, Bestie!” balas Widia sangat yakin.

“Kamu pernah lihat punya Decky?” Widia balik bertanya.

“Belum pernah. Dia kan udah jarang ada kostan, sibuk sama skripsinya.”

“Eh, tapi penasaran juga ya, jadi pengen lihat punya Decky, hihihi.”

“Gak sekalian diintip juga punyanya David, Ilham dan Dody? Hihihi.” Melia mengabsen anak kostnya yang lain, sambil memegangi perutnya yang sedikit sakit.

“Dasar gilingan! Hahahaha” umpat Widia sambil tertawa ngakak.

“Yang lainnya, biar ibu kostnya aja yang ngintip. Aku sih cuma penasaran sama punyanya Decky. Soalnya yang Jovan kan udah lihat tadi. Hhahahaha!” Tawa Widia pun terbawa sampai dia pergi menjauh dari rumah Melia.

Jika berpikir Widia dan Melia adalah sepasang ibu rumah tangga yang genit dan mesum, tentu tidak terlalu benar. Tidak seperti itu, mereka dua sahabat dekat yang biasa saling berbagi cerita, namun masih dalam tarap kewajarannya. Tak pernah mereka bicara vulgar di depan orang lain, hanya pada saat berdua saja mereka bisa bercerita dengan sangat mendetail.

Waktu terus berlalu siang berganti malam. Tak terasa waktu sudah menunjukan jam sepuluh. Nola putri Melia pun sudah sejak tadi terlelap dalam tidurnya. Melia sendiri sudah mulai ngantuk, namun tak bisa memejamkan mata karena didera perasaan gelisah.

Diki, suaminya belum pulang dari kantornya dan sama sekali tidak bisa dihubungi. Bukan sekali ini, Diki Dirgantara telat pulang, namun selalu memberi kabar atau setidaknya mudah dihubungi.

Ketika kegelisahan Melia sudah kian memuncak, tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponselnya dari nomor yang tak dikenal.

“Selamat malam. Betul ini dengan Ibu Melia Nagita, istrinya Bapak Diki Dirgantara?” Sebuah suara tegas dan berwibawa langsung menyapa Melia saat hubungan telah terkoneksi.

“Ya, saya sendri Melia Nagita, Pak. Maaf dengan siapa saya bicara?”

“Saya Bripka Hendra Irawan, anggota kepolisian sektor Cintarasa. Maaf bila menggangu ibu malam-malam begini.”

“Polisi? Ada apa Pak?” tanya Melia dengan jantung yang mendadak berdebar-debar.

“Begini Bu, Kami mau menginformasikan Pak Diki Dirgantara suami ibu, saat ini sedang menjalani pemeriksaan di Kantor Polisi”

“Hah! Ada apa dengan suami sya, Pak?” Melia berseru setengan berteriak.

“Maaf, suami ibu terjaring dalam operasi penyakit masyarakat yang kami adakan pada malam ini. Beliau tertangkap tangan sedang berada di sebuah kamar penginapan melati dengan seorang wanita yang bukan istrinya.”

“Astagfitullah, Mas Diki!” Melia kehabisan kata-kata, mulut menganga, mata terbelalak.

“Untuk keterangan lebih lanjut, ibu bisa segera datang ke Kantor Polsek Cintarasa, di Jalan Pembangunan Raya, Lingkar tiga.”

“I…i..iya Pak, sa…saya akan segera ke san..sana. Selamat malam, Pak.”

“Selamat malam, Bu Melia, kami tunggu dan mohon tetap berhati-hati di perjalanan.”

Jiwa Melia seketika terguncang dan dalam sekejab terasa runtuh. Masih tak percaya dengan semua yang baru saja didengarnya. Sekujur tubuhnya mendadak lemas hingga dia terjatuh duduk di sofa ruang tamu dengan air mata yang yang tak bisa lagi dibendungnya.

Sedih, marah, kecewa dan bingung, semua bercampur aduk dalam hati dan pikirannya. Tak tahu apa yang harus dilakukan.

“Ya, Allah ujian apa yang sedang Engaku timpakan kepada keluarga kami?” tanya Melia dalam sedu-sedan tangisnya.

Cukup lama Melia bergelut dengan ratap tangisnya, hingga akhirnya dia bisa kembali menenangkan dan menguatkan dirinya. Walau masih dengan kepanikan dan bingungan yang belum sepenuhnya sirna, Melia memutuskan untuk segera berangkat ke kantor polisi agar segera mendapat kejelasan nasib suaminya.

‘Jovan!’ seru Melia dalam hati.

Ya, nama itulah yang terlintas di benaknya. Dan dengan mata yang masih sembab, Melia mempersiapkan segalanya, termasuk menggendong Nola, putri kecilnya yang masih tertidur lelap.

^*^

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Fajar Merona

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku