Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Setelah Ternoda
5.0
Komentar
584
Penayangan
8
Bab

Setelah ternoda oleh kekasihnya, Vania mengalami kemalangan hidup hingga dia terjerumus dalam prostitusi, tapi akhirnya takdir mempertemukannya dengan tuan muda yang mengalami gangguan jiwa dan akhirnya kehidupannya berubah. Vania terjerat cinta sang tuan muda, tapi kehidupan masa lalunya terus saja mengusiknya. Apakah Vania bisa menjalani kehidupannya meskipun masa lalunya terus menghantuinya?

Bab 1 Kenikmatan Sesaat

Suara petir menggelegar dan air hujan yang mulai turun membuat Axelle melajukan motornya kencang agar segera sampai ke kontrakan Vania. Secepat apa pun motor itu melaju, tapi mereka tetap saja kehujanan. Mereka berdua turun di sebuah rumah sederhana tempat Vania mengontrak bersama tiga temannya.

Suasana rumah masih sepi dan lampu rumah juga belum menyala, itu artinya penghuni kontrakan yang lain belum ada yang pulang.

Vania segera turun dan membuka pintu rumah. Beberapa tempat terdapat genangan air karena rumah itu bocor. Axelle segera membantu Vania mengambil bak untuk menampung air hujan.

Mereka berdua duduk di sofa berdempetan karena sofa yang lain terkena air hujan. Udara dingin semakin menusuk apalagi pakaian mereka basah. Suasana yang sepi ini membuat pikiran keduanya tidak tenang karena mereka hanya berdua.

"Van, kamu ganti baju aja dulu, bajumu basah nanti sakit, lho," kata Axelle sambil mengusap jemari kekasihnya. Gadis yang dipacarinya satu setengah tahun yang lalu saat mereka masih SMA.

Vania mengangguk lalu masuk ke kamar tidurnya yang satu ruangan dengan ruang tamu, kamar itu hanya bersekat dinding tanpa pintu, kamar itu hanya ditutupi gorden saja.

Mata Axelle terus saja tertuju kearah kamar Vania, terlihat bayangan Vania mengganti bajunya. Kamar yang Vania tempati memang sempit hanya ada ranjang dan juga lemari serta meja belajar, jadi jika Vania mengganti bajunya terlihat kaki Vania yang putih itu.

Berkali-kali Axelle menelan ludahnya membayangkan tubuh polos Vania. Bukan tanpa sebab, mereka berdua baru saja pulang melihat film di bioskop. Adegan romatis dari layar lebar di bioskop masih terngiang di benak Axelle, ada sesuatu yang mendorongnya untuk masuk ke kamar vania dan akhirnya lelaki jangkung itu masuk ke kamar Vania.

Vania yang sedang memakai baju dan belum sempurna menutup bagian bawahnya langsung terperanjat hingga rok yang akan dipakainya terjatuh dan terlihat dalaman yang dia pakai.

Axelle menelan ludahnya, dia masih menatap apa yang belum pernah dia lihat. Tubuh Vania begitu menggoda. Tiba-tiba tangannya menarik tubuh kekasihnya dan mendekapnya erat. Axelle telah dikuasai nafsu sekarang.

"Jangan, Xel." Vania menggeleng saat wajah Axelle mendekat ke lehernya, dia berusaha mendorong tubuh kekar itu.

"Kenapa? Bukankah kita saling cinta?" Axelle yang sedang dikuasai nafsu menatap dengan kecewa saat Vania menolaknya. Entah apa yang merasukinya, yang jelas Axelle tidak bisa mengendalikan tubuh dan pikirannya. Dorongan dari dalam sana begitu kuat menjebol kesadarannya.

"Ini tidak benar, kita tidak boleh melakukannya."

"Aku mencintaimu, ini adalah bukti cinta kita. Apa kamu tidak mencintaiku?"

"Tapi, Xell, aku ...." Belum selesai Vania bicara bibirnya sudah dibekap oleh bibir Axel hingga Vania tidak bisa menolaknya. Dia ingin sekali menolak, tapi entah kenapa tubuhnya juga bereaksi ingin lebih.

Tanpa berkata lagi Axelle membuka kancing baju Vania yang belum sempurna terkancing itu, tangan besarnya memegang sesuatu di sana yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Desahan pun keluar dari bibir mungil sang kekasih. Axelle menganggap itu adalah ungkapan persetujuan Vania.

Axelle semakin yakin kalau Vania tidak keberatan melakukannya, dia pun mulai membuka satu persatu pakaian yang menutupi tubuh indah sang kekasih lalu menggiringnya lembut ke atas ranjang. Tanpa bicara mereka berdua akhirnya melupakan segalanya.

Terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi, mereka telah melampaui batas, mereka lupa dengan janji mereka akan terus menjaga hubungan itu tetap suci dan mereka lupa bahwa yang mereka lakukan akan menghancurkan masa depan mereka.

Vania memejamkan matanya, wajah tulus penuh kasih sayang orang tuanya seolah menatapnya kecewa, dia tahu bagaimana hancurnya orang tuanya jika melihat anak gadisnya melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan. Air mata Vania menetes, rasa sesal memenuhi dadanya setiap mengingat nasehat orang tuanya. Dia membenci dirinya yang tidak bisa melawan nafsunya .

Axelle berusaha memeluk tubuh Vania saat kekasihnya berusaha melepaskan diri, dia juga menyesal telah melakukannya, dia juga takut jika sampai terjadi hal yang tidak diinginkan pada hubungan singkat itu. Apa yang bisa dia lakukan karena orang tuanya pasti akan mengusirnya dari rumah jika mengetahui apa yang telah dia perbuat pada Vania.

"Maaf, Van, aku khilaf," sesal Axelle.

Vania memukul dada bidang Axelle sambil terus menangis, dia tidak menyalahkan sepenuhnya pada Axelle karena dia juga tidak bisa menolaknya. Dia hanya menyesal tidak seharusnya dia memasukkan Axelle ke rumah saat mereka hanya berdua.

Vania segera memakai kembali pakaiannya, dia lalu berlari keluar menuju kamar mandi, diguyur tubuhnya dengan air kran yang mengalir, dia merasa tubuhnya sangat kotor. Seandainya saja dia mengikuti nasihat ibunya, mungkin dia tidak akan melakukan itu.

Ibunya selalu mengatakan untuk tidak pacaran, bahkan nasehat ibunya hanya dianggap angin lalu saat Vania menerima cinta Axelle-lelaki yang begitu menghipnotisnya sejak dia dibangku sekolah menengah atas. Hingga dia kuliah di kota juga karena ingin bersama Axelle, padahal orang tuanya sangat mengharapkan dirinya bisa mewujudkan cita-cita.

Axelle segera memakai pakaiannya, dia juga merasa sangat kalut karena kekhilafannya. Dia lalu keluar menghampiri Vania yang berada di kamar mandi. Axelle mengetuk pintu kamar mandi. Terdengar air keran mengucur disertai suara tangis Vania.

"Van, aku pulang, ya," pamit Axelle pada Vania. Dia segera keluar dari rumah itu tanpa menunggu persetujuan dari Vania.

Vania menangis, rasa dingin sudah tidak dia rasakan, hanya penyesalan yang ada. Rasa nyeri di area sensitifnya semakin menambah nyeri di hatinya. Seandainya saja waktu bisa berputar Vania akan tetap berada di luar meskipun pakaiannya basah. Dia hanya menangisi yang telah terjadi tanpa bisa mengembalikan keadaan dan tidak bisa mengembalikan kesuciannya.

Satu-satunya yang Vania harapkan, dia tidak hamil setelah hubungan terlarang itu, dia tidak mau masa depannya hancur hanya gara-gara kenikmatan sesaat, bahkan sebenarnya dia tidak merasakan kenikmatan, justru nyeri yang dia rasakan.

Exelle tidak peduli dengan guyuran air hujan, suara petir menggelegar dan kilatan cahaya tidak dia hiraukan, dia menyesal telah menodai kekasihnya, dia khilaf. Seandainya saja dia langsung pulang, mungkin mereka tidak terjebak dalam hubungan terlarang itu dan tidak menyakiti kekasihnya. Saat pulang dari bioskop tadi mereka masih bergurau dan hubungan mereka masih normal layaknya remaja pacaran. Tidak pernah terbersit sedikitpun dalam pikirannya untuk melakukan hubungan terlarang itu.

Sesekali Axelle berteriak mengumpat kebodohannya, motor pun leluasa dia lajukan membelah air hujan yang terus mengguyur bumi. Dingin yang menyelimuti tubuhnya tidak membuat hatinya dingin, dia resah, takut dan juga menyesal. Tidak ada yang bisa dia ungkapkan selain menyebut dirinya bodoh. Dia telah melanggar janjinya pada Vania utuk menjaga kekasihnya itu hingga mereka sampai ke pelaminan

Paginya badan Vania meriang karena semalam dia berada di dalam kamar mandi sangat lama. Sepanjang malam Vania menangis, dia membuang sprei yang menjadi saksi kehormatannya terenggut secara suka rela.

"Van, kamu kenapa?" tanya Dea-salah satu teman satu kontrakan Vania, dia baru pulang subuh tadi karena ada sift malam.

Dea masuk ke kamar Vania karena dia khawatir Vania tidak keluar sejak pagi, dilihatnya Vania yang meringkuk di kasur tanpa menggunakan sprei. Dea lalu menyentuh kening Vania, "Kamu sakit, Van?"

Dea keluar lagi mengambil obat turun panas dan juga air putih, dia lalu memanggil Tia yang saat ini tidak bekerja pagi. Mereka berdua menghampiri Vania yang masih meringkuk.

"Ini, minum obatnya." Dea membantu Vania untuk bangun dan memberikan obat untuknya.

Tia membawa sepiring nasi dan lauk lalu menyuapi vania. Dia tampak sangat khawatir pada Vania. Dari ketiga teman Vania hanya Tia yang khawatir dengan hubungan Vania dan Exelle. Sejak awal melihat Exelle, Tia merasa lelaki itu bukan lelaki baik-baik.

Vania baru beberapa bulan tingal di kontrakan itu, dia diantar teman ayahnya untuk menyewa rumah kontrakan itu karena biayanya lebih murah dari pada tinggal di kostan. Rumah itu ditempati tiga orang termasuk Vania, tapi di sana Vania tidak ada yang mengawasi hingga terjadilah malam petaka itu. Malam yang merenggut kehormatannya semalam.

"Apa kamu kehujanan?" tanya Tia. Saat itu mereka hanya berdua karena Dhea sudah keluar.

Vania hanya menggeleng lalu air matanya luruh kembali. Ingatannya tentang kejadian semalam masih menjadi sesal yang begitu mendalam, Vania membenci dirinya karena tidak bisa menjaga diri. Dia sebenarnya tahu kalau salah, tapi malam itu dia tidak bisa menolak.

"Kamu kenapa?" tanya Tia. Dia meletakkan piring di atas meja, lalu meraih tubuh Vania memberikan pelukan.

"Apa Axelle melecehkanmu?" tanya Tia lagi.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku