Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Jangan Main-Main Dengan Dia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
Persetan dengan pergantian shift! Aku terus menggerutu sepanjang perjalan menuju cafe tempatku bekerja. Itu adalah cafe besar yang buka 24 jam. Ya benar, satu-satunya Cafe yang buka sepanjang hari tanpa pernah tutup meskipun badai datang menghadang. Karena durasi itulah, sistem kerjanya mirip dengan tempat sortir barang yang terus berjalan 24 jam non stop, dimana kami akan bergantian dengan pegawai lainnya melalui sistem shift siang dan shift malam.
Saat melamar kerja, selain ditanya pertanyaan umum pada wawancara kerja lainnya, para calon pegawai akan diberi pilihan siang atau malam. Dan untukku yang selalu kedapatan sulit tidur karena insomnia ini, tanpa pikir panjang aku langsung memilih untuk shift malam. Setidaknya aku bisa memanfaatkan penyakit yang menggerogoti psikisku ini jadi menghasilkan uang untukku bertahan hidup.
Namun, selain efektif, itu juga membawa buntut lainnya yang tidak pernah aku duga. Ya, aku kerap kali dijadikan sasaran untuk ganti shift dengan teman-teman satu kost yang juga bekerja di tempat yang sama. Seringnya mereka memintaku ganti shift dengan mereka untuk kencan dan juga acara keluarga. Sialnya, aku tidak punya pilihan. Bagaimana aku bisa menolak ketika mereka menawarkan persenan dari gaji mereka. Sudah dapat gaji, dapat bonus pula dari mereka. Bagiku itu seperti melempar dua burung dengan satu batu.
Tidak pernah aku menolak tawaran mereka sekali pun, kecuali jika mereka memintanya begitu mendadak. Tetapi kali ini untuk pertama kalinya aku terpaksa menerimanya di saat aku baru saja hendak menikmati tidurku setelah sepanjang malam terjaga membersihkan dapur dan juga menyiapkan bahan-bahan untuk siang.
“Ini darurat, Lidya!” , desak teman satu kost ku bernama Vivian. Aku biasa memanggilnya Vian karena penampilannya yang agak tomboy.
Suaranya benar-benar mengganggu di telingaku. Terus terjaga selama hampir 16 jam penuh membuat kepalaku sakit dan semuanya tampak mengganggu. Aku mengabaikan panggilannya yang semakin lama semakin mendesakku. Bahkan dia tidak membiarkanku untuk minum dengan tenang. Saat aku mengangkat gelasku, dia terus menggoyang-goyangkan lenganku sambil terus merengek, seperti yang biasa ia lakukan saat ada sesuatu yang diinginkan.
“Demi Tuhan, Vian!” , gertakku sambil meletakkan gelas dengan keras.
Aku tidak tahu pasti apa yang membuat Vivian terdiam, suaraku atau suara gelas yang membentur meja? Satu hal yang pasti, aku berhasil membuatnya terkendali.
“Apa kau tidak melihat kantung mata di sini, huh?” , tanyaku seraya menarik pipiku ke bawah sampai wajahku terlihat seperti topeng hantu putih yang sedang berteriak.
Bukannya menunjukkan empati, teman kamar sebelahku malah meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat sementara matanya menatap lurus padaku, memohon untuk dikasihani.
“Lidya, kamu tahu kan ini adalah kesempatan terakhirku untuk mendapatkannya? Aku harus bertemu dengannya selagi dia mengajakku untuk pergi makan siang bersama!”
Aku menarik kembali tanganku, bertekad untuk tidak luluh kali ini. Aku harus menjaga kewarasanku dengan tidur hari ini.
“Memangnya laki-laki hanya ada dia saja di dunia ini? Bukalah matamu lebar-lebar, kawan.” , kataku sambil menarik kelopak matanya ke atas.
Aku lihat dia melangkah mundur dan aku mengira penolakan halus dariku sudah cukup dapat dipahami olehnya.
“Aku akan memberikanmu setengah dari gajiku satu hari. Bagaimana?”
Sial. Dia tidak goyah.
“Vivian, dengar. Ini sudah kelima kau begini. Kelima kalinya kalian putus nyambung. Tidak ada jaminan dia akan–”
“Satu hari gajiku. Bagaimana?”
Aku menarik nafasku dan menghembuskannya dengan berat, “Dengar, percayalah padaku. Ini tidak akan berhasil–”
“Dua hari gajiku. Ini tawaran terakhirku. Bagaimana?”
Aku menggeram sambil menggenggam erat tanganku, “Argghh!! Baiklah! Tapi ini akan jadi yang terakhir kalinya, oke? Jika setelah ini kalian kembali bersama lalu berpisah lagi, aku pastikan akan membunuh kalian berdua dengan tanganku sendiri.”
Vivian tersenyum getir dan mengangguk, “Ini yang terakhir.”
Meskipun mulutku sendiri yang mengatakan padanya bahwa aku sanggup untuk menggantikannya bekerja siang ini, ada begitu banyak keengganan berkumpul di dalam diriku. Memikirkan harus kembali bergelut di jalanan dan semua pekerjaan yang menanti di cafe, sebagian besar energi tersisa yang aku miliki langsung anjlok. Jika aku adalah sebuah ponsel, maka dapat dipastikan aku sudah menampilkan peringatan bahwa ponsel akan segera dimatikan dalam sepuluh detik.
Setelah menikmati berbaring di tempat tidur selama tidak lebih dari dua puluh menit, aku sudah bersiap untuk bekerja. Kantung mata yang kendur dan terlihat lebih gelap aku samarkan dengan alas bedak dan untuk menjaga agar mataku tetap terjaga, aku meneteskan masing-masing satu tetes mata. Aku pergi ke kamar Vivian untuk meminta kartu untuk absensi miliknya dan baru saja sampai di depan pintu, aku sudah bisa mencium aroma parfum yang dikenakan Vivian. Begitu aku membuka pintu, Vivian dengan terusan sepaha dan leher yang rendah sibuk menyemprotkan parfum di sekitar leher, lengan bahkan sampai ke kakinya.
“Mengapa kau tidak sekalian meminumnya saja? Aku yakin itu akan lebih efektif.” , sindirku mengejutkannya.