Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kadang rasa keingintahuan yang besar bisa menyebabkan bencana.
Aku bersembunyi di balik pilar agar tubuh mungilku tidak terlihat. Aku melihat kalau kantin kampusku masih sepi, karena ini masih terlalu pagi. Aku mendengarkan semuanya sejak awal. Mereka berempat sedang asyik membahas diriku. Mungkin sudah lebih dari lima menit aku menguping pembicaraan mereka. Semakin aku dengarkan rasanya semakin menyayat batinku. Aku tidak dapat berkata-kata lantaran terlalu sedih dan terlalu terkejut. Mereka keterlaluan, dan Romeo sungguh bajingan. Mereka itu sekumpulan pecundang dengan wajah malaikat. Aku bersumpah kalau mereka tidak akan pernah mendapatkan dengan mudah wanita-wanita yang mereka sayangi. Aku berdoa semoga kesengsaraan menyelimuti hidup mereka. Aku cukup tahu, aku cukup sadar, kali ini aku salah. Romeo bukanlah lelaki yang layak untuk dicintai sepenuh hati.
“Kau sialan, Thom. Apa kataku, aku selalu terlahir menjadi pemenang. Taruhan ini membuatku melupakan cinta pertamaku.” Romeo menepuk pundak Thomas yang duduk di sebelahnya, tawanya begitu kontras dengan keadaan hatiku yang sakit luar biasa.
“Malangnya Kalla, gadis baik-baik yang harus segera kau campakkan. Kapan kau akan memutuskannya? Besok?” Vincent sok dramatis padahal sedari tadi ia yang paling keras tertawa. Aku bersumpah kau akan sulit mendapatkan pendamping hidup.
“Sudah-sudah, aku sedang berpikir. Sebenarnya aku tidak tega melihat dia menangis. Kalla sepertinya sangat mencintaiku.” Romeo berkata dengan penuh pertimbangan, meskipun aku sangat yakin kalua itu semua hanya pura-pura.
“Kenapa tidak kau pertahankan saja? Tidak ada ruginya juga. Dia cantik dan pintar. Kalla juga baik.” Gabriel mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja seperti berpikir. Dia memang selalu tampak tenang daripada ketiga temannya yang sedari tadi membahas perihal taruhannya.
“Tapi aku akan kalah dari kalian kalau aku tidak memutuskannya besok.” Romeo menyunggingkan senyum iblisnya kemudian meminum espresso yang terlihat masih mengepulkan uapnya ke udara.
Aku menekan dada dengan sebelah tanganku, rasanya ini sangat menyakitkan. Jadi selama ini aku hanya dijadikan barang taruhan oleh Romeo, Vincent, Gabriel, dan Thomas. Aku kenal mereka, sekelompok lelaki tak berotak yang kuliah di tempat yang sama denganku. Kupikir Romeo sungguh-sungguh dengan cintanya, ternyata dia tidak lebih dari sampah tak berguna. Selama tiga bulan lebih aku tertipu oleh cinta palsu Romeo. Besok adalah hari ke seratus, dan besok Romeo akan mencampakkanku. Apakah ini adil bagiku? Tidakkah dia tahu kalau diriku begitu mencintainya? Air mataku menetes.
Tragis sekali nasibku. Setelah bisa mendapatkanku pada akhirnya aku hanya dicampakkan seperti kotoran yang tidak ada harganya. Apa mereka tidak berpikir kalau aku sama seperti mereka yang masih punya perasaan.
Pantaskah aku berbangga diri, karena ternyata hargaku cukup mahal? Mereka mempertaruhkan mobil, villa, dan entah apalagi yang aku sendiri tidak ingat padahal jelas-jelas aku mendengarnya. Rasa benciku sudah menumpuk dan menjadi satu dengan penyesalan. Ada dendam yang diam-diam muncul dari dalam hatiku atas ketidakadilan ini.
Di sini aku yang bodoh karena begitu mempercayai Romeo. Aku memantapkan hatiku, kalau lelaki tidak hanya Romeo seorang. Walaupun aku mencintai manusia tidak tahu adat itu dengan sepenuh hatiku, aku yakin aka nada pria yang akan mencintaiku dengan tulus. Hatiku sudah tidak dapat aku prediksi lagi seperti apa bentuknya setelah kebohongan yang Romeo ciptakan. Aku hancur meskipun aku memiliki ego kalau aku bisa mengatasi masalah ini.
Aku mengatur napas, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan berharap semua yang kudengar itu salah, tapi kenyataan berkata kalau kupingku masih sangat normal untuk membedakan mana yang benar dan yang salah. Kadang cinta tidak harus terbalaskan, aku menyebutnya cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kenyataan ini membuat hatiku pedih. Ada gadis lain yang sangat dicintai oleh Romeo, dan itu bukan diriku. Aku lupa bagaimana mereka membahasnya, intinya aku tidak cukup untuk membuat hati Romeo menjadi satu-satunya milikku.