Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Setelah Bercerai
5.0
Komentar
4.4K
Penayangan
11
Bab

Ketika sepasang suami istri yang sudah bercerai, harus kembali bertemu demi memberikan yang terbaik untuk buah hati mereka. Kalau seorang anak, hanya bisa diurus. oleh Ibunya. Patutkah suami menyerahkan kepengurusan anak kepada istrinya saja, dan suami lebih sibuk kepada keluarga barunya? Kalau seorang Ayah kangen pada anaknya. Bisakah ia melihat anaknya barang sebentar? Patutkah sang istri mencegah, dan menghindarkan suami dari sang anak. Apa yang terjadi, jika seorang istri yang single parent. Dan suami yang kurang perhatian pada anaknya, kini dipertemukan dalam kondisi anak mereka yang sedang bertarung nyawa...

Bab 1 Darah...

Tiba-tiba saja, sepasang mata Widya terjaga. Untuk beberapa saat dia hanya diam, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Ternyata sudah pagi.

Widya beranjak dari tempat tidurnya. Dengan cepat membuka tirai. Dalam seketika kamar menjadi terang benderang. Sepasang mata Widya silau melihat cahaya Matahari yang masuk dari celah-celah kaca jendela.

Widya langsung membereskan tempat tidur. Merapikan kamar. Untuk selanjutnya membangunkan Andi karena harus bersekolah. Juga akan membuat sarapan pagi.

Widya melangkah keluar kamar. Berjalan menuju kamar Andi. Seperti biasa pintu kamar anaknya yang kelas 1 SD itu tidak dikunci. Widya melipir ke sudut. Lalu, saat membuka tirai kamar....

"ANDI!!!" Widya bahkan tidak sadar kalau suara pekikan itu membangunkan Andi. Andi bahkan terkejut dan ia menangis. Terlebih anak tersebut melihat darah yang tumpah membasahi bantal warna putih itu.

"YA AMPUNNN!!!" Widya merasakan kecemasan yang teramat sangat. Dia mendekati anaknya. Andi bangun dari rebahnya. Dari hidung Andi keluar banyak darah. Widya melompat untuk mengambil apa saja dan dia mengelap darah itu. Widya bahkan sempat mengambil tisu untuk kembali mengelap hidung Andi.

"Kenapa jadi begini!"

"Mama..."

"Sakit nggak?"

Andi menggeleng. Namun pertanyaan Widya itu tidak bisa meredam tangis Andi. Widya cepat-cepat melangkah ke belakang. Ia lantas ke dapur. Tergopoh-gopoh Widya mengambil termos. Menumpahkan air hangat dari termos itu ke sebuah baskom. Mencampurinya dengan air dingin. Widya kembali lagi ke kamar Andi.

"Sudah, jangan nangis. Ya ampun....!!"

Widya baru saja selesai membersihkan hidung Andi yang belepotan darah. Dia lantas mengambil hp-nya. Widya menelpon sekolah Andi. Dia bicara pada seseorang di telpon dengan pikiran tak menentu.

Widya membuka lemari pakaian Andi. "Kita ke rumah sakit, Andi harus cepat ganti pakaian ya?"

Widya bergerak membuka pakaian Andi, namun terdengar bel pintu depan dan Widya terpaksa menghentikan kegiatannya sebentar. Beralih keluar kamar, dan membuka pintu depan.

Desi-pembantu rumah tangganya yang datang. Desi memang bekerja dari pukul setengah tujuh pagi hingga jam 6 sore di rumah ini.

"Des, untuk pagi ini tolong saya, ya. Jaga rumah."

Desi terheran-heran. "Ada apa memangnya Bu, ibu kelihatan buru-buru."

Belum sempat Widya menjawab, Desi sudah mengikuti langkah majikannya ke kamar Andi. Lalu, dia melihat semuanya.

"Ya ampun Bu, Andi sepertinya mimisan!"

"Tolong dulu Des, gantiin pakaiannya, ya?"

Desi menurut. Ia membuka pakaian Andi. Anak itu sudah berhenti dari tangisnya. Desi lalu mengelap tubuh Andi lalu membawa baskom kotor dan baju Andi ke belakang.

Widya lalu berganti pakaian di kamarnya, untuk kemudian masuk lagi ke kamar Andi.

"Ibu langsung mau ke rumah sakit?" tanya Desi.

"Iya, tolong jaga rumah ya, Des."

Widya tengah menelpon seseorang. Dia memesan kendaraan online. Tak lama kendaraan yang ditunggunya muncul di halaman rumah.

"Yuk, Andi. Kita ke rumah sakit, nak."

Andi mengikuti perkataan itu. Anak itu lantas mendekati ibunya.

Desi dengan cepat ke depan rumah. Dia tegak di ambang pintu.

"Saya pergi dulu ya, Des. Jangan pulang dulu jika malam saya belum kembali ke rumah."

"Ya Bu,"

Akhirnya, Desi melihat ibu dan anak itu masuk ke dalam mobil.

***

Widya mengira, pemeriksaan yang dilakukan pada anak lelakinya itu tidak memakan waktu lama. Widya kira semuanya akan membaik ketika dia sampai ke rumah sakit.

Namun semuanya berbalik. Selain harus antri. Ternyata, pemeriksaan dokter pada anaknya itu memakan waktu lama. Bahkan, sudah jam 2 siang, dan Widya belum makan.

Namun, Widya sama sekali tak mementingkan isi perutnya. Dia ingin tahu kabar dari dokter soal Andi.

Dokter keluar dari sebuah ruangan periksa.

"Bagaimana dokter?"

"Untuk sementara kondisi Andi baik-baik saja. Ibu tunggu sebentar ya, kami harus melakukan pemeriksaan intensif pada Andi. Kami janji akan melakukan penanganan yang terbaik."

Widya hanya diam. Anaknya hanya mimisan. Tapi, mengapa pemeriksaannya hingga selama ini?

Di bangku tunggu Widya resah. Dia bahkan tak tahu, apa yang dilakukan dokter dan perawat-perawat itu di dalam ruangan periksa.

Widya hanya bisa diam dan terus menunggu. Sampai ia memainkan-mainkan hp-nya.

Pria itu harus tahu. Mantan suaminya itu harus tahu tentang kondisi Andi. Salahkah jika memberi tahu Pram soal anak mereka?

Bagaimanapun Andi adalah anak Pram juga. Anak kandungnya, meski Widya dan Pram telah 4 tahun bercerai.

Widya lalu menekan nomor ponsel mantan suaminya.

Saat itu bahkan malam hari. Sudah pukul tujuh malam. Widya bosan menunggu dan tak sabar untuk memberitahukan kondisi Andi padanya.

Tiga kali terhubung, namun belum tersambung.

Widya kesal sendiri, hingga akhirnya ketika panggilan keempat kalinya, suara di seberang menyapanya....

***

Pukul 6 sore lebih sedikit. Petang sudah lewat.

Pramudya sedang berhias di depan kaca di kamar itu. Dia mengenakan kemeja lengan panjang, dan celana kain. Dan kini tengah merapikan pakaiannya dan menata rambutnya.

Istrinya-Intan sedang berada di kamar anaknya.

Mereka akan makan malam. Pram sudah berjanji pada keluarganya untuk cepat pulang kantor hari ini dan akan makan malam bersama.

Intan tiba-tiba masuk ke dalam kamar mereka. "Sudah siap, mas?"

Pram kembali menata rambutnya, "Ya," jawabnya singkat.

"Aku tunggu di ruang tamu ya. Kavita juga sudah aku pakaikan gaun untuk pergi malam ini."

"Ya,"

Intan melihat ke suaminya lagi. Melihat sekilas pria itu tengah di depan kaca dan tengah menyisir rambutnya dan merapikan lagi kemeja lengan panjang yang ia kenakan. Intan menutup pintu kamar dan menuju ruang tamu.

Intan menyambut anak perempuannya yang kini berumur tiga tahun, yang kini duduk manis di ruang tamu. Tadi Intan bersama Sari-pembantu rumahnya, memakaikan gaun yang terbaik untuk anak itu.

Kini terlihat gadis mungil itu senang dengan kedatangan ibunya.

Tak lama, Pram keluar dari kamar.

"Aku pergi dulu ya, Sar. Titip rumah,"

"Ya Bu,"

Intan mengikuti langkah suaminya. Dia berjalan ke halaman rumah, lalu masuk mobil yang akan dikemudikan suaminya.

Tak banyak pembicaraan saat mobil mulai berjalan. Pram mengemudikan mobil itu menuju restoran mewah.

***

Restoran ramai. Penuh dengan pengunjung. Intan menuntun Kavita menuju ke sebuah meja. Lalu, ketiganya duduk di bangku.

Pelayan datang membawakan buku menu.

"Mau pesan apa, Tan?"

"Mas saja yang pilihkan,"

"Kavita?"

"Cari makanan yang nggak pedas untuk dia,"

Pram melihat-lihat menu. Mereka sudah cukup sering ke restoran mewah ini. Jadi Pram sudah tahu sekali hidangan apa yang harus dipesannya.

Pelayan menulis menu pesanan yang dikatakan Pram. Lalu, terlihat pelayan itu menyingkir dari meja itu.

Pram memandang istrinya. "Tadi kenapa? Kavita rewel?"

"Biasa. Susunya habis. Aku belum sempat belikan."

"Kalau begitu kita nanti mampir ke supermarket buat beli susunya dulu."

"Pasti akan kemalaman, Mas. Aku rasa besok pagi saja,"

"Nanti pagi-pagi dia malah rewel lagi,"

"Nggak kok mas. Aku akan suruh Sari langsung ke minimarket pagi besok. Juga sekalian beli keperluan lain,"

"Ya terserah kamu. Jangan sampai kamu kerepotan karena Kavita rewel lagi."

Pram menatap anak perempuannya yang berumur hampir tiga tahun itu. "Tadi Kavita kenapa? Jangan rewel lagi ya?"

"Nggak, Papa...." Kavita berbicara lancar.

Pram lantas mencubit pipi anak itu gemas, hingga Intan senang melihatnya.

Ketiganya memang jarang berkumpul seperti ini. Pram biasa dilanda kesibukan kantor. Seminggu sekali Pram memang akan mengajak keluarga kecilnya untuk makan di luar.

Hidangan datang beberapa saat kemudian. Terlihat uap mengepul dari sup daging yang dipesan Pram.

Tepat setelah dua orang pelayan itu sudah menyajikan semuanya di meja dan bersiap pergi dari meja itu. Pram mulai mendengar suara handphone berdering di dekat tangannya.

Pram melihat display. Nomor tak dikenal. Pram ragu-ragu untuk mengangkatnya.

Ponsel masih berdering. Hingga Intan menatap ke arahnya.

"Siapa mas. Kenapa nggak diangkat?"

Pram kembali melihat ponselnya. Setengah meragu ia mengambil ponselnya dan mengusap layar.

"Ya," jawab Pram.

"Mas Pram?"

Pramudya mengenal suara itu. Suara Widya. Mantan istrinya. Penjelasan dari istrinya membuat Pram terpaku. Sambil menelpon dia melihat wajah Intan. Intan seperti tahu telah terjadi sesuatu. Sesuatu yang tak beres.

Tak lama, Pram menutup telponnya.

"Aku harus segera ke rumah sakit," kata Pram. "Mantan istriku mengabarkan anakku sakit."

Intan terdiam. Makan malam ini harus segera diakhiri.

Bahkan sebelum Pram mencicipi hidangan yang baru datang, dia sudah berdiri dari bangkunya. Meninggalkan istri dan anaknya...

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Mursal Fahrezi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku