Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sopirku Mantan Kekasihku

Sopirku Mantan Kekasihku

Mursal Fahrezi

5.0
Komentar
88
Penayangan
10
Bab

Andini Larasati sebenarnya sudah cukup nyaman dengan kehidupannya sekarang. Ia mempunyai kekasih seorang dokter bedah yang begitu sangat menyayanginya. Dan ia pun berhasil bangkit dari keterpurukan yang pernah ia alami. Di suatu waktu dulu, tepatnya 5 tahun sebelumnya, Andini mempunyai kekasih yang tega mencampakkannya. Kekasihnya-Revan Airlangga-memutuskan cinta mereka karena memilih mengikuti kehendak orang tuanya. Andini memang terlahir miskin, sehingga kedua orang tua Revan memutuskan untuk tidak pernah menyetujui hubungan Andini dan Revan. Revan pun mengikuti kedua orang tuanya untuk menikahi perempuan pilihan orang tuanya. Hidup Andini pun hancur lebur. Sampai ia menemukan dokter Danar Hadiputra yang membuatnya bertekad untuk merubah taraf hidup dan bangkit dari keterpurukan. Tapi siapa sangka ketika Andini telah menuai kesuksesan, ia justru bertemu Revan lagi dan ironisnya mantan kekasihnya menjadi jatuh miskin. Andini pun akhirnya memperkerjakan Revan sebagai sopirnya tanpa diketahui Danar bahwa Revan adalah kekasih Andini di masa lalu. Apa yang terjadi ketika cinta datang lagi di hati Andini untuk Revan dan membuatnya menuai masalah? Bisakah Andini memaafkan segala kesalahan Revan mengingat laki-laki itulah yang dulu pernah membuatnya terpuruk di masa lalu? Lalu, apa yang terjadi dengan Danar ketika mengetahui siapa sopir pribadi Andini sesungguhnya?

Bab 1 Menunggu...Dia...

Menunggu adalah hal yang paling membosankan.

Menunggu adalah daftar dalam kamus hidupku yang selalu kuhindari.

Menunggu adalah sesuatu yang sebisa mungkin tidak akan kulakukan mengingat banyak pekerjaan lain yang bermanfaat yang bisa kulakukan.

Namun, untuk hal ini aku harus "menunggu" dia.

Dia yang sebenarnya tidak harus ada dalam pikiranku lagi.

Dia...yang seharusnya tidak pernah ada dalam kamus hidup bernama Andini Larasati.

Dia...yang seharusnya kuhindari. Karena aku tahu permasalahan nanti akan muncul jika semua ini menjadi tidak terkendali.

Aku memang sedang menunggu dia...

Aku sedang duduk termangu di toko kueku. Toko kue milikku yang kubangun lima tahun silam. Toko kue yang kubangun berkat kerja keras. Toko kue yang kubangun setelah keterpurukanku.

Aku akan menceritakan semua ini setelah kalian tahu seorang tokoh yang akan kuceritakan ini nanti.

Untuk dialah aku "menunggu".

Aku menunggu sopirku.

Di luar, dari balik kaca toko kue-aku melihat hujan masih mengguyur deras. Mungkin karena hujan itulah sampai detik ini Revan masih belum menjemputku di toko kue ini. Aku maklum. Mungkin di luar sana ia sedang berteduh entah dimana. Mungkin sedang kebasahan. Atau mungkin juga Revan sedang menuju kemari. Yang pasti ini jam dimana aku sudah biasa menunggunya.

Jam 5 sore, aku yang merupakan owner merangkap pembuat kue di toko kueku sendiri harus segera meninggalkan pekerjaanku, karena aku harus kembali ke rumah.

Biasanya aku akan tiba di rumah nanti pukul 6 sore.

Seperti biasanya, tak ada yang bisa kulakukan di rumah selain memasak, melakukan aktivitas yang menyenangkan, menonton TV, ataupun melakukan segenap pekerjaan lain. Namun sepertinya melihat hujan yang deras di luar sana, aku pasti akan terlambat sampai di rumah. Lihat saja-Revan Airlangga-sopirku bahkan belum juga sampai ke toko kue.

Menghabiskan waktu sejenak, tanganku mulai gatal untuk tidak melakukan aktivitas. Ya, seperti apa kata kekasihku-Danar-tanganku memang tidak bisa diam.

Dokter Danar Hadiputra nama jelasnya. Tampan. Rupawan. Seorang dokter bedah di rumah sakit ternama. Seorang teman, sekaligus kekasih yang menemani hari-hariku selama 5 tahun ini.

Waktu yang cukup lama.

Ya, dialah orang yang menurutku berjasa atas hidupku. Dan ini menurutku tidak main-main.

Tanganku berhenti merapikan bungkusan roti-roti tawar, lalu teringat akan handphone-ku. Aku akan mencoba menghubungi Revan.

Tuuutttt!

Tuuuuttttt!!

"Dimana, Van?" tanyaku setelah tersambung.

"Lagi mau jemput Ibu. Kejebak macet. Maaf, tadi, aku pergi ke mall dulu beli sesuatu. Dan sekarang lagi mau jemput Ibu Andini."

"Van, sudah beberapa kali kan aku bilang jangan panggil aku dengan sebutan Ibu," protesku.

"Kamu kan bossku, Din. Aku tidak mau menyebutmu dengan nama lain."

"Panggil saja Andin," cetusku.

"Kalau aku panggil Andin. Aku pasti akan teringat akan kisah 'kita' berdua."

Aku terdiam. Memang...terlalu banyak kisah antara aku dan Revan. Maaf, pemirsa. Mungkin, akan ada banyak pertanyaan di benak kalian tentang siapa Revan sesungguhnya. Namun, biarlah saja ya Revan akan kalian ketahui belakangan. Yang pasti dia adalah sopirku. Dan dia akan menjemputku ke toko kue ini dan itu memang sudah menjadi kewajibannya.

"Sekarang sudah dimana?" tanyaku lagi. Semata-mata agar Revan tak perlu banyak berbicara tentangku lagi. Aku tidak ingin Revan bercerocos tentang masa indah kami dulu.

"Sekarang sudah di jalan menuju toko kue milik Ibu."

"REVANNN??" Aku berkata keras. Mengingatkannya kembali.

"Baiklah, aku sudah dekat kesana, Din. Sabar ya? sebentar lagi juga akan sampai."

Aku menghela napas. Cepat kututup telpon. Lalu kuputuskan untuk menunggu laki-laki itu dengan sabar.

Tak lama, kulihat mobil sedan milikku sudah terparkir rapi di depan toko kue. Revan masuk dengan pakaiannya yang basah.

Basahnya pakaian Revan sepertinya bukan lantaran ia yang keluar dari mobilku dan menuju toko kue. Namun ia sepertinya sudah sangat kebasahan sejak lama.

"Ya ampun, Van," Tak sadar aku berkata. "Kamu basah kuyub begitu."

"Nggak papa, Din."

"Aku ambil pakaian ganti ya. Aku tidak ingin kamu jadinya nanti masuk angin."

"Andin, aku tidak apa-apa."

"Jangan bilang kamu baik-baik saja. Kamu basah kuyup begitu," protesku. "Sudah, kamu diam disitu. Biar aku ambil pakaianku. Dan kamu harus ganti kausmu. Basah begitu." omelku lagi.

Akupun masuk ke dalam toko kue. Cepat masuk ke ruanganku. Tak peduli dengan pandangan beberapa karyawanku-yang aku tahu pasti sudah sangat tertuju padaku dan Revan.

Ya, betapa aku sangat memerhatikan sopirku ini. Semata-mata karena aku memang masih...

Ah sudahlah...ini soal perasaanku.

Sampai akhirnya, ponselkupun bergetar. Aku tak akan mengangkatnya jika saja bukan Mas Danar yang menelpon.

"Ya, mas." Aku menyapa ramah, seraya memberikan kausku ke arah Revan. Revan mengamatiku yang tengah berbincang-bincang di telpon dengan Danar.

"Din..."

"Ya, mas," sahutku lagi.

"Hujan deras, Din. Kamu dimana? Masih di toko kue?"

"Iya, mas. Revan barusan mau jemput aku. Aku segera mau pulang."

"Oh...jadi sekarang?"

"Sudah akan mau pulang," jelasku.

"Ya sudah, hati-hati ya sayang."

"Ya, mas."

Aku menutup telpon.

Revan sudah selesai mengenakan kaus milikku. Tadi dia memang melipir sejenak ke toilet untuk mengenakan pakaian yang aku sodorkan tadi, dan kini sudah kembali ke depanku dengan wajahnya yang fresh.

Revan pun tanpa banyak bicara langsung menuju pintu keluar. Aku hanya mengikutinya. Dan tanpa banyak bertanya, aku masuk ke dalam mobilku lalu duduk sambil menghela napas.

***

Beberapa menit kemudian, mobil sudah sampai di pelataran rumahku. Rumah besar yang kutempati sendirian. Di rumah ini aku hanya ditemani Bi Surti-pembantu rumah tanggaku-juga Revan.

Bi Surti melihat kedatanganku, dan langsung menggamit tas dan bawaanku. Ia langsung berlalu dari hadapanku.

Sepeninggal Bi Surti tak kusadari kalau Revan sudah meraih tanganku.

"Revan...." Aku nyaris terpekik. Nyaris histeris dengan apa yang dilakukannya.

"Oh, maaf Din, jika buat kamu kaget. Aku...aku hanya ingin memberikan ini..."

"Apa?" selorohku. Aku lantas melihat kotak kecil yang ia sodorkan.

"Buka saja."

Perlahan kubuka kotak kecil yang disodorkannya tadi dan hatiku menghangat saat pandanganku bertumpu pada sebuah cincin berbentuk bunga.

"Kau membelinya?"

"Iya, Din. Itu dari gaji yang kau berikan. Apa kau masih ingat dulu kau menginginkan cincin yang seperti itu."

Mataku melihat kedalaman mata Revan lalu beralih melihat Bi Surti yang ada di dalam rumah. Aku takut di teras rumahku ini, apa yang dilakukan Revan padaku dilihat oleh Bi Surti.

Tak ada sesiapapun tahu mengenai Revan sebenarnya dan tiada sesiapapun tahu mengenai hubungan kami di masa lalu.

"Revan, kau tahu hubungan kita..."

"Andin...aku memang tak pernah lagi bisa berharap dengan hubungan kita berdua, namun..."

"Kau membelinya. Dan itu tidak murah," ujarku cepat.

"Andin...terimalah. Itu dari hasil kerja kerasku bekerja sebagai sopirmu. Lagipula..."

"Van, sebaiknya kau tak perlu memerhatikanku lagi!" tukasku.

Aku menyesal telah mengatakan hal ini kepadanya.

Aku terdiam. Mataku memanas.

Hubunganku dan Revan sudah lama bubar. Sudah lebih dari lima tahun yang lalu.

"Kumohon terimalah, Din. Aku tahan berhujan-hujanan demi untuk membelikanmu cincin itu."

"Baiklah," kataku. "Terima kasih."

"Pakai, Din."

Aku menatapnya lagi. Lalu, terlihat Revan yang mulai gemas dengan kelakuanku-yang hanya diam saja- sampai akhirnya ia mengambil cincin dari kotak tersebut dan Revan memakaikan cincin itu di jari manisku.

"Walaupun hubungan kita sudah lama berakhir. Semoga dengan hadirnya cincin ini di jarimu, kau masih mengingat akan aku," tandasnya.

"Van..." Aku bahkan rasanya ingin menangis. "Aku telah mempunyai kekasih. Aku bahkan telah bertunangan dengan dokter Danar." Aku mempertegas kata-kataku.

"Aku tahu, Din. Namun...apa salahnya..."

"Ya sudah," kataku. "Sebaiknya kau kembali ke kamarmu. Aku harus masuk ke rumah seperti biasa. Dan aku harus menyiapkan makan malam. Bi Surti pun pasti tengah menungguku di dapur."

Revan kemudian mengangguk.

Revan lalu tersenyum pelan. Dia pun berjalan menuju kamarnya lewat jalan samping rumah.

Revan memang tinggal di rumah ini. Ia kuijinkan tinggal disini dengan tinggal di kamar belakang, dan menjadi sopir pribadiku.

Sekarang, aku memang menjadi orang yang cukup sukses sehingga berhasil membangun toko kue. Memperkerjakan banyak karyawan. Termasuk menjadikan Revan sopir pribadiku.

Aku lalu masuk ke rumah besarku. Lantas begitu masuk dapur, kulihat Bu Surti tengah mencuci piring. Lalu beralih Bi Surti yang mencuci sayuran.

Pikiranku kembali nyalang.

Seraya memasak untuk makan malam, pikiranku masih dipenuhi dengan wajah Revan.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Mursal Fahrezi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku