Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dikejar Mantan Suami

Dikejar Mantan Suami

Mursal Fahrezi

5.0
Komentar
1.2K
Penayangan
10
Bab

Pasca bercerai dengan suaminya, Haris Prayoga. Ningsih Widyastuti tidak mau lagi menikah ataupun menjalin hubungan dengan siapapun. Sama halnya dengan Faiz Wibisono, pemilik warung makan tempat Ningsih bekerja sebagai pelayan warung makan. Membantu usaha laki-laki itu dalam meraup rejeki. Cinta memang datang tanpa diduga. Perasaan Faiz pada Ningsih pun hadir begitu saja. Namun, kisah asmara mereka harus terhalang, karena Ningsih masih dikejar mantan suaminya, Haris, yang menyesal karena telah menceraikannya. Apa jadinya dengan hidup Ningsih selanjutnya. Kekacauan apa lagi yang dibuat Haris demi mendapatkan cinta Ningsih kembali....

Bab 1 Diam-diam

"Makan dua orang ya, Ning. Bapak-bapak yang ada di pojokan sana!" Faiz berkata pada Ningsih. Perempuan yang dia pekerjakan di warung makan miliknya.

Ningsih sudah bekerja hampir 3 bulanan ini. Apa yang dikatakan Faiz tadi lebih berupa perintah. Ningsih langsung bergerak cepat mengambil dua mangkuk kecil berisi air untuk mencuci tangan juga memberikan dua gelas air putih kepada bapak-bapak itu. Begitu selesai, perempuan itu langsung bergerak ke arah depan. Dia lantas mendekati etalase kaca yang terhidang banyak lauk-pauk dan sayur-mayur.

"Lauknya apa, Mas Faiz?" tanyanya pada Faiz. Laki-laki berusia 35 tahun itu terlihat sedang repot membungkus nasi pesanan pengunjung warung makan.

Faiz menoleh sejenak pada Ningsih. "Satu ayam goreng dan satu ayam bakar."

Ningsih kemudian cepat mengambil nasi dan meletakkannya di piring. Dia menyendok sambal lado, menaruh lalapan ketimun dan daun ubi di piring makan itu. Ningsih lantas menyiapkan gulai nangka di dua piring kecil, kemudian mengambil ayam goreng untuk piring nasi yang satu dan meletakkan ayam bakar di piring nasi satunya. Setelahnya dia bergerak membawa dua piring itu ke arah bapak-bapak yang tadi duduk di bangku pojok, sebagaimana instruksi dari Faiz.

Ningsih hampir tidak peduli ketika dua orang bapak itu melihatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sudah terlampau biasa melihat hal ini. Ningsih juga sadar, bahwa mungkin dia masih begitu menarik.

Tak salah, bukan, jika memuji diri sendiri? Ya, Ningsih merasa, walaupun usianya kini sudah menginjak angka 29, dirinya masih begitu menarik.

Untuk ukuran perempuan seperti dirinya, Ningsih merasa masih muda. Hanya cap janda tanpa anak yang membuatnya merasa sudah begitu tua. Bagaimanapun, Ningsih pernah gagal dalam berumah tangga.

Tiba-tiba Ningsih mengingat wajah mantan suami-nya. Wajah laki-laki yang dulu pernah ada bersamanya. Seharusnya Ningsih sudah tak perlu mengingat-ingatnya kembali. Terlebih, status janda sudah melekat padanya selama 3 tahun ini, sementara Haris Prayoga-mantan suaminya-sudah menikah lagi dengan perempuan bernama Kamila Dewi.

"Ning, buat es teh dua ya, untuk ibu dan bapak itu!" Faiz menunjuk seraya berkata agak keras supaya Ningsih dapat mendengarnya.

"Yaaa!" Ningsih menjawab tak kalah keras agar suaranya juga didengar oleh Faiz. Suara mereka yang sama-sama meninggi, itu sudah biasa untuk keduanya. Kalau tidak dengan cara itu, kadang suara mereka tertelan oleh pengunjung yang datang ke warung makan ini.

Lamunan Ningsih buyar ketika Faiz berkata seperti tadi padanya. Ningsih langsung bergerak ke ruangan kecil. Tempat membuat es dan berbagai minuman. Dengan cekatan perempuan itu membuat es teh dan menyuguhkannya ke pengunjung yang disebutkan Faiz tadi.

Warung makan milik Faiz memang sedang ramai-ramainya di jam segini. Sekarang sudah pukul 12.00. Waktunya jam makan siang. Mereka hanya bekerja berdua saja. Faiz Wibisono sebagai pemilik dan Ningsih Widyastuti sebagai karyawan. Sebetulnya Bu Narti-ibu Faiz-kadang ikut membantu keduanya. Namun, anak Faiz yang kecil bernama Ara sedang rewel. Jadi Bu Narti sedang mengurusi cucunya di kamar lantai atas.

Warung makan ini memang berada di ruko dua lantai. Ruko yang cukup murah, yang terletak di dekat pasar. Satu tahun yang lalu, setelah sebelumnya hanya dapat menyewa lapak kecil, Faiz kini berhasil menyewa ruko berharga lumayan murah itu.

Selagi sibuk melayani pengunjung yang datang, Faiz melihat ke arah Ningsih. Perempuan itu dilihatnya tengah bekerja dengan cekatan. Ningsih memang lincah. Faiz masih ingat betapa dulu saat Ningsih baru-baru bekerja di warung makan miliknya, perempuan itu belum tahu apa-apa. Dia bekerja apa adanya. Dalam artian, Ningsih bekerja sesuai apa yang diperintahkan oleh Faiz. Tapi, sekarang Faiz sudah lepas tangan dengan Ningsih. Karena Faiz tahu, Ningsih sudah fasih mengerjakan pekerjaannya dan rasanya tidak perlu lagi untuk diperintah-perintah.

Waktu bergerak ke arah pukul 14.00. Bahkan di jam segini masih ada beberapa pengunjung yang datang. Ningsih tanpa lelah melayani mereka. Dia memang sangat profesional. Salah satu sifat itulah yang Faiz sukai dari Ningsih.

Ketika pengunjung sudah mulai sepi, Ningsih bersiap untuk mencuci piring-piring kotor. Namun ....

"Ning, biar saya yang cuci piring. Kamu makan siang dulu saja gih. Nanti kamu sakit, sayanya jadi susah."

"Biarkan Ningsih cuci piringnya dulu ya, Mas, biar nanti baru makan sesudahnya."

"Sudah hampir jam dua lewat, Ning."

"Ningsih juga belum lapar, Mas. Tadi pagi juga, kan, sudah sarapan nasi uduk yang Mas Faiz belikan. Jadi cukup buat mengganjal perut."

"Baiklah." Faiz akhirnya menyerah. Perempuan ini memang keras kepala. Kalau katanya A, ya tetap A, susah untuk mengubahnya menjadi B. Itu per-umpamaan yang kadang dipikirkan Faiz pada Ningsih.

"Baiklah, tapi janji, kalau sudah mencuci piring, kamu makan siang dulu, ya?"

"Iya, Mas."

Ningsih lalu bergerak mencuci piring yang seabrek banyaknya. Tanpa mengeluh, perempuan itu melaku-kan semuanya dengan lincah.

Faiz lalu bergerak ke depan. Pengunjung sudah mulai sepi. Laki-laki itu lantas mengangkat piring dan gelas kotor, membawanya ke belakang, tempat Ningsih sedang mencuci piring.

"Maaf ya, Ning, cucian piringmu hari ini banyak sekali."

"Taruh saja, Mas. Ini juga sudah jadi pekerjaan Ningsih."

"Tapi maaf, saya nggak bisa bantuin."

"Mas, ini semua sudah kewajiban Ningsih. Mas Faiz sebaiknya beres-beres di bagian depan saja."

"Ya, Ning."

Faiz kembali lagi ke depan. Dia lantas membersihkan etalase. Dia juga membersihkan meja panjang tempat meletakkan baskom-baskom besar yang tadi isinya cabai hijau, gulai nangka, juga sederet hidangan lain, serta dengan telaten membersihkan cipratan bekas bumbu rendang dan cabai yang mengotori meja. Terakhir, Faiz membersihkan meja-meja bekas makan pengunjung. Masih ada satu-dua gelas yang kotor, dan Faiz membawanya ke belakang.

Terlihat piring-piring sudah dicuci oleh Ningsih. Perempuan itu tengah meniriskannya, meletakkan piring dan gelas ke rak besar.

"Saya makan dulu ya, Mas."

"Iya, makanlah dulu. Jika ada pengunjung yang datang lagi, biar saya yang layanin."

Ningsih mengangguk, menatap majikannya sejenak sebelum ke depan. Dengan sigap dia mengambil piring dan menyendok nasi putih beserta lauk. Siang ini Ningsih ingin makan ikan bakar kembung, dan lauk itulah yang dia pilih untuk makan siangnya. Kemudian dia duduk dan makan dengan lahap.

Melihat hal itu, Faiz sigap ke ruang kecil untuk membuat es teh. Begitu es teh selesai, dia langsung memberikannya untuk Ningsih. "Nah, minum yang manis dan segar, biar tenaganya pulih kembali."

"Nggak usah repot-repot, Mas, Ningsih bisa membuatnya sendiri kok."

"Sekali-kali saya buatin, kan, nggak papa," ucap Faiz sambil tersenyum.

Sebenarnya sudah sering kali Faiz melakukan itu. Semuanya tulus dia lakukan karena kasihan juga melihat Ningsih giat bekerja tanpa mau minum apa pun. Lagi pula siang ini sudah tidak begitu repot lagi. Jadi, apa salahnya jika Faiz membuatkannya es teh manis?

Ningsih lalu meneguk es teh manis itu, dan sekonyong-konyong melihat Bu Narti yang turun dari tangga.

"Faiz, kayaknya si Ara mau demam. Nanti malam dibawa ke dokter saja," kata Bu Narti, seraya melihat Ningsih yang sedang makan.

"Makan, Bu Narti," kata Ningsih.

"Ya." Bu Narti tersenyum.

"Badannya panas ya, Bu?" tanya Faiz sedikit cemas.

"Nggak begitu sih, tapi Ara rewel sekali hari ini."

Faiz mendekati ibunya. "Ya sudah, biar Faiz bawa dia ke dokter nanti malam."

Bu Narti mengangguk-angguk, lalu perempuan paruh baya itu naik lagi ke lantai atas. Sementara Faiz kembali menghampiri Ningsih yang kini sudah selesai makan dan hendak membawa piring bekas makannya ke belakang.

"Ning, nanti malam bisa minta bantuan kamu nggak?"

"Bantuan apa, Mas? Kalo mau pinjam uang sama Ningsih, Ningsih tentu saja nggak punya." Ningsih berkata polos, dan Faiz langsung tersenyum.

"Ya, bukan bantuan seperti itu, Ning," jawab Faiz dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. "Nanti sore, kan, kamu pulang. Pas nanti malam, kamu tolong kembali ke sini lagi, ya. Terus Mas minta tolong kamu belanja ke supermarket tempat Mas biasa belanja untuk warung makan."

"Supermarket yang di mal dekat sini itu, kan, Mas?"

"Iya, karena di sana lengkap. Harus beli beras dan keperluan sembako lain. Nanti soal sayur-mayur atau lauknya, biar saya seperti biasa belanja di pasar. Nanti malam saya nggak bisa, karena harus bawa Ara ke dokter."

"Oke, Mas, saya maklum. Jam berapa nanti, Mas?"

"Habis magrib kamu nanti ke sini," ucap Faiz seraya menatap sepasang mata perempuan itu dalam-dalam. "Ning, kamu nggak papa, kan? Maksud saya, nggak keberatan, kan?"

"Ningsih nggak keberatan kok, Mas. Anggap saja Ningsih kerja lembur. Hehehe." Ningsih terkekeh, hingga akhirnya menciptakan senyum lagi di bibir Faiz.

"Ya sudah, sebaiknya setelah ini kamu istirahat dulu bentar, biar Mas yang layani pengunjung."

Usai berkata seperti itu, Faiz kembali ke depan. Ada beberapa pengunjung yang datang. Faiz melayani mereka dengan baik, tanpa mau menyuruh Ningsih seperti tadi. Karena Faiz tahu Ningsih terlihat sudah begitu lelah. Ningsih juga terlihat sedang mencuci piring bekas makannya tadi dan beberapa peralatan kotor.

Usai melayani pengunjung yang tadi datang, Faiz kini duduk seraya menatap ruangan warung makan miliknya. Namun, perhatiannya kini teralihkan ketika Ningsih membawa piring-piring bersih hasil cuciannya. Diam-diam Faiz merasa kagum pada perempuan ini. Perempuan yang dikenalnya ini begitu rajin, tidak banyak tingkah, juga selalu baik dalam bekerja. Ningsih juga bisa "nrimo". Kadang, Faiz tak habis pikir, mengapa suami Ningsih dulu sampai bisa menceraikannya? Apa sebetulnya kesalahan Ningsih?

Tak jauh-jauh dari kehidupannya, Faiz juga kadang berpikir, apa kesalahan dirinya pada istrinya sampai istrinya itu berpaling, dan kemudian mereka bercerai?

Sejak bercerai, Faiz membawa anak mereka, dan meminta hak asuh anak jatuh padanya. Ratna-mantan istrinya-tak dapat berbuat apa-apa. Terlebih dalam asuhan Faiz, kedua anaknya tumbuh dengan baik.

Si sulung Fathan kini kelas 4 SD, dan jika belum pulang jam segini, itu artinya Fathan sedang mengikuti les tambahan di sekolahnya.Sementara si kecil Ara Puspita, bocah perempuan berumur satu tahun lebih itu baru bisa belajar ngomong. Gadis kecil itu memiliki sifat pendiam. Tak beda dengan ayahnya yang tidak terlalu banyak bicara. Dan benar-benar perjuangan bagi Faiz saat merawat Ara. Tubuh gadis kecil itu rentan terkena penyakit,meski selalu berada dalam keadaan baik-baik saja. Tak terkecuali hari ini, kata Bu Narti, Ara demam, itu sebabnya nanti malam Faiz akan membawanya ke klinik dokter terdekat.

Lagi-lagi pandangan Faiz menatap ke arah Ningsih, dan tanpa sadar Ningsih menatap ke arah Faiz.

Kikuk karena ketahuan menatap Ningsih, Faiz jadi tersenyum malu-malu dan Ningsih juga melakukan hal serupa. Untuk mengalihkan semuanya, pandangan Faiz jatuh pada TV yang kini sedang menayangkan sebuah acara, yang memang diletakkan di meja sudut. Sementara Ningsih masih tetap memperhatikan duda dua anak itu.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Mursal Fahrezi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku