Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Jangan Main-Main Dengan Dia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
Aku tak tahu harus mulai dari mana. Semua berjalan begitu cepat. Dalam waktu satu tahun, hidupku sudah berubah 180 derajat. Keluargaku hancur begitu saja. Segalanya berawal dari satu keputusan yang fatal, yang perlahan merenggut mereka satu per satu. Rasanya air mata ini sudah habis untuk menangisi kepergian mereka yang terlalu mendalam, sementara aku hanya bisa berdiri diam, menyaksikan semuanya terjadi tanpa bisa berbuat apa-apa.
Namaku Azarea Andini Sanjaya atau biasa dipanggil zara, anak pertama dari seorang pengusaha properti di timur pulau jawa milik Ardian Sanjaya nama dari papaku . Sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. Walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
Ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. Selang dua tahun kemudian, Papa menikah dengan seorang wanita bernama Erina Reswara . Wanita yang kini kusebut Mama., sangat baik padaku. Meski aku bukan anak kandungnya, Mama selalu merawatku dengan penuh cinta. Dari pernikahannya dengan Papa, aku mendapatkan dua adik laki-laki-Marcell dan Sandy. Kadang, aku merasa kasihan pada mereka. Kami, Mama dan aku, lebih sering menghabiskan waktu bersama, sementara mereka lebih sering ditinggal.
Aku tahu betul betapa keras Mama menentang saat aku menyatakan ingin kuliah di luar negeri. Dia sangat khawatir. Namun setelah melalui diskusi panjang, aku akhirnya bisa meyakinkan Mama. Aku pun berangkat kuliah ke luar negeri, tepatnya di SBW Berlin Scholarship, Jerman. Ini adalah pengalaman pertama bagiku tinggal sendirian di negeri orang. Mama begitu khawatir. Terlihat jelas dari cara dia terus menggenggam tanganku sepanjang perjalanan ke bandara.
Tahun pertama kuliah berjalan cukup lancar. Aku merasa bebas dan senang dengan lingkungan baru yang penuh tantangan. Namun, memasuki tahun kedua, semuanya mulai berubah. Kuliahku semakin padat, tugas-tugas mulai menumpuk, dan aku merasa waktu begitu terbatas. Semakin jarang aku menghubungi keluarga di rumah. Padahal, dulu aku selalu menghubungi Mama setiap dua hari sekali lewat video call. Sekarang, aku hanya bisa menggantinya dengan pesan teks singkat. Aku merasa seperti semakin menjauh dari mereka.
Saat-saat awal kuliah memang berat, tapi aku sudah terbiasa dengan itu. Apa yang membuatku terkejut adalah kenyataan bahwa hubungan dengan keluarga sepertinya juga mulai memudar. Mama tidak pernah mengeluh, tapi aku bisa merasakan keheningan yang ada dalam setiap percakapan kami. Aku merasa cemas, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Waktu berlalu dengan cepat. Aku semakin sibuk dengan rutinitasku di Jerman, dan jarang sekali mengingat untuk menghubungi mereka. Beruntungnya, Mama adalah orang yang sangat pengertian. Meski aku sibuk, Mama tidak pernah mengeluh. Kadang, kalau aku rindu rumah, aku hanya cek aktivitas keluarga lewat media sosial mereka. Semuanya terlihat baik-baik saja-setidaknya, sampai suatu malam...
Aku baru saja selesai makan malam di apartemenku yang kecil namun nyaman. Ponselku yang tergeletak di meja menyala, memberi tahu bahwa ada pesan masuk. Aku menghadap ke arah layar, melihat nama Mama yang tertera di sana. Sejenak, aku terdiam. Biasanya, Mama hanya mengirim pesan ringan, menanyakan kabarku atau meminta kabar dari marcell dan sandy. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Aku merasakan ketegangan yang tidak biasa dalam pesan itu.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan muncul di layar ponselku.
(Zara sayang, bisa video call? Penting) – Pesan dari Mama di aplikasi chat.
Aku hanya melirik sejenak, namun tidak langsung membalas. Waktuku sedang penuh dengan kuliah dan beberapa tugas yang harus segera diselesaikan. Kegiatan di kampus sangat menyita waktuku, dan aku terpaksa menunda untuk menjawab pesan itu. Lalu, rasa bersalah mulai merayap. Aku tahu Mama pasti khawatir, tapi seberapa sering aku bisa memberi perhatian kepada semua orang? Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, dan itu membuatku merasa buruk.
Baru setelah kembali ke apartemen sekitar pukul 8 malam, aku ingat untuk membalas.
(Besok pagi ya, Mama. Maaf tadi di kampus banyak kegiatan, sampai lupa bales chat.) Balasku sembari merebahkan tubuhku di tempat tidur, mencoba untuk meredakan kepenatan.
Tak lama, ponselku berbunyi lagi. Sebuah pesan masuk dari Mama, meski sekarang sudah tengah malam di Indonesia.
[Sekarang aja, sayang] – Pesan Mama yang singkat.
(Loh, masih bangun ternyata, hehehe) Aku membalas, lalu segera menekan ikon video call.
Tunggu... Ada yang aneh. Aku merasakan ada sesuatu yang salah dengan pesan-pesan Mama. Biasanya, Mama tidak secepat ini membalas dan memaksa video call. Aku memikirkan hal itu sejenak, tapi tidak terlalu lama. Mungkin dia hanya rindu. Tapi ketika layar ponselku menyala dan wajah Mama muncul, aku bisa melihatnya-sesuatu yang tak biasa. Ada kekhawatiran yang jelas di matanya.