Karena Aku Ingin Mati, Aku Jadi Belok

Karena Aku Ingin Mati, Aku Jadi Belok

Jongos Pendusta

5.0
Komentar
Penayangan
11
Bab

[Frustasi×Munafik+Saling mengancam+Kata batin]Gala yang takut disakiti bertemu Lingga si pembenci pujian yang suka popularitas. keduanya saling menganiaya untuk bahagia, memeras untuk bercinta. Fasik&Munafik berkolaborasi

Bab 1 Keinginan Untuk Mati

Tut tut tut... juuu jesssss... juuuuu jessss...

Pung pung pung... Dedeg Dedeg Dedeg... pung...

Suara klakson kereta api berbunyi, mengingatkan orang yang sedang berbaring di tengah-tengah rel kereta api.

"Datang!!!"

Seorang pria muda berbaring terlentang di tengah rel kereta api yang sangat sepi dari manusia.

Sebenarnya, aku berniat bunuh diri. Hidup selalu menguras tenaga dan otak.

Pemuda itu mendengarnya. Suara kereta api semakin mendekat.

Dedeg... Dedeg... pung pung pung...

Klakson kereta api itu begitu nyaring, membuat pemuda itu sedikit bergetar.

"Tenang, Gala. Nggak perlu takut. Rasa sakitnya cuma sebentar, jangan panik. Ayolah, Gala... nggak perlu takut untuk bunuh diri. Penderitaanmu cuma sebentar."

Pemuda itu sudah memposisikan dirinya agar, jika kereta lewat, kepala dan tubuhnya berpisah.Dia melakukan ini agar tidak perlu merenggang nyawa terlalu lama.Tapi tetap saja menakutkan... terlindas kereta api.

Pung pung... Dedeg Dedeg pung...

"Sampai jumpa, dunia!!"

Ia memejamkan mata, sambil berbaring, memangku kedua tangan di atas dadanya. Kepalanya tepat di atas rel kereta api. Ia menunggu keajaiban, meski ia sendiri tidak mengerti, keajaiban apa yang ia maksud.

Sebelum sempat terlindas, aku merasakan ada seseorang...

Mungkin...

Aku juga tidak tahu siapa yang menarik kakiku.

"Ughhh..."

Dedeg Dedeg Dedeg Dedeg... pungggggg... pung...

Angin kencang berhembus sangat keras.

Kereta api itu melewati pemuda yang jatuh di pinggiran rel kereta api yang tidak sempat terlindas.

Bukannya berterima kasih karena sudah diselamatkan, pemuda itu malah mengumpat dengan keras dan tidak senang.

"Jalang! Oh... sakit. Siapa yang menarik kakiku?!"

Kepalaku sakit. Apa aku terbentur besi tadi?

"Ikut aku."

Ucapan itu keluar dari seseorang yang menyelamatkan pemuda itu.

Lalu, ia menampar dengan keras pemuda yang akan bunuh diri tadi.

Aku yang merasa tertampar pun hanya diam saja, mencoba mencerna ucapan dan maksud pria keajaiban itu.

Kalau dilihat-lihat, wajahnya tampan walaupun sedikit tertutup debu.

Ya, sebagai sesama pria aku akui, pria itu cukup tampan... tidak, aku lebih tampan darinya.

Kuikuti dia sampai ke sebuah perkampungan. Aku juga tidak yakin apakah ini bisa disebut perkampungan.

Malam harinya, di rumah penyelamatku, aku disuruh menginap di rumah penyelamatku itu.

Dia bilang begini padaku:

"Hari ini kamu menginap di sini!" Penyelamatku itu menunjuk ruang tidur. Tidak disebut kamar tidur pun rasanya masih agak canggung, karena tempat tidur itu hanya terlihat sangat kecil dan kusut dibanding kemewahan rumahku.

"Besok kamu boleh pergi! Oh ya, juga jangan bunuh diri di hadapanku!"

"Begitu, ya? Apa kau tak tertarik kenapa aku bunuh diri?!" Kudekati pria itu sambil mencondongkan badanku ke arahnya.

"Tidak sama sekali, tidak!"

Pria itu mendorongku ke kamar dengan paksa, lalu menguncinya dari luar.

Aku mencoba segala cara agar pintu itu bisa terbuka. Tapi sayangnya, hasilnya nihil tidak bisa dibuka sama sekali. Aku hanya bisa menyerah, lalu berteriak dengan keras:

"Woi... setidaknya kasih tahu namamu? Aku Tegek Gala!"

Setelah hening beberapa menit, dari balik pintu aku mendengar penyelamatku menyebutkan namanya:

"Sono Kelingga, itu namaku."

Setelah itu, aku mencoba segala cara agar bisa bercakap-cakap dengannya, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Hanya keheningan sepi. Walaupun aku memancing percakapan dengan segala cara, dia tetap bungkam.

..........

Kukuruyuk... Kukuruyuk...

Kukuruyuk...

Lingga langsung bangun ketika mendengar suara ayam berkokok. Lalu, dirinya bersiap untuk salat sunnah dua rakaat di malam hari.

Lingga berjalan ke arah kamar mandi tepat pukul 01.05 dini hari untuk mandi, agar pikirannya jernih, dan mengambil air wudhu. Selanjutnya, ia langsung salat Tahajud dan Witir sambil menahan pegal di tubuhnya. Pegal ini disebabkan karena tidur hanya memakai alas karpet. Mau bagaimana lagi? Kamar tidurnya sedang dihuni oleh tamu yang berniat bunuh diri itu.

Lingga mengangkat tangannya berdoa setelah menyebut Asmaul Husna, istighfar, lalu bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian, ia memanjatkan doanya:

"Ya Allah, berikanlah hidayah dan petunjuk pada saudaraku yang berniat bunuh diri. Ya Allah, semoga Engkau menunjukkan jalan yang benar. Allahumma sholli 'ala Muhammad."

Setelah itu, Lingga kembali rebahan di karpet sambil beristighfar 100 kali dan menyebut tasbih, sampai tidak terasa dirinya tertidur lelap.

Gala, yang memperhatikannya, pun terheran-heran.

Apa sebegitu seriusnya sampai dia tidak menyadari kalau aku sejak tadi memperhatikannya, ya?

Benar. Dari tadi, sejak suara berisik di kamar mandi, aku sudah bangun. Hanya saja, aku tetap diam di depan pintu, melihat bagaimana orang yang menggagalkan niat bunuh diriku itu sedang beribadah.

Ya, aku hanya diam di depan pintu. Mengawasi apa yang dilakukan pria ini, sehingga tubuhku sakit karena duduk bersandar di sana cukup lama. Aku cukup kagum padanya, yang bisa beribadah dengan keadaan seperti itu.

Apa ini rupa "penggagal bunuh diriku."

Atau hanya pikiranku saja? Kenapa wajahnya terlihat berkilau, seakan mempunyai cahayanya sendiri?

Aku mendekati pria yang tertidur saat bertasbih dan beristighfar. Aku tahu dia masih mempunyai sedikit kesadaran, jadi aku meninggalkan pesan padanya:

"Aku pergi. Terima kasih atas tumpanganmu malam ini."

Aku tahu pasti, dia yang tertidur itu pasti mendengarnya. Bukannya sombong, tapi terlihat dari kesehariannya, dia tipe pria yang tidak bisa tidur nyenyak.

Berhenti sejenak di depan pintu keluar, aku berucap lagi pada pria yang tertidur itu:

"Aku tidak akan berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku. Bagiku, itu adalah sebuah kejahatan yang sangat besar... karena menggagalkan bunuh diriku."

Sekarang, tekad untuk bunuh diriku sudah melemah.

Membuka pintu pelan-pelan, lalu aku pergi dari rumah itu. Bagiku, pertemuan dengan Lingga adalah sebuah episode yang tidak terlalu penting dalam keseharian hidupnya.

Aku pergi dari rumah itu dengan keadaan bingung, tepat mendekati azan Subuh. Aku mendengarnya di masjid sudah ada tadarusan. Aku tidak tahu arah di daerah desa ini.

"Di desa mana aku sekarang? Oh, aku harus bagaimana sekarang?! Ini di mana?! Apa yang harus kulakukan?"

Dalam kebingungan yang tak kunjung selesai itu, aku memutuskan untuk mendekati suara tadarusan di masjid itu.

Semakin dekat dengan suara azan, aku merasakan langkah kakiku semakin berat.

"Itu bukan tempat untukku..."

Hal itu yang terlintas dalam benakku.

Akhirnya, aku paksa diriku untuk membuka pintu masjid itu. Pelan-pelan, tapi kubuka dengan penuh keyakinan.

Saat kubuka masjid itu, seseorang tersenyum kepadaku, seolah dia tahu apa yang akan kulakukan.

"Nak, kamu mau salat Tahajud?"

"Siapa, Paman? Aku baru pertama kali di sini!"

"Oh, pelancong tersesat, ya?"

Tersesat.

Bahaya dong kalau benar-benar tersesat...

"Nih, apa kamu mau Paman pinjamkan ponsel?" Ucap paman itu sambil mengangkat ponselnya.

"Tidak perlu."

Dengan terburu-buru aku menghentikan uluran tangan yang memegang ponsel itu. Aku harus cepat-cepat pergi...

"Pemuda sekarang aneh-aneh," Paman itu menggelengkan kepala.

Bernapas dengan berat lalu mengeluarkannya perlahan. Setelah berhasil lolos dari bapak itu, aku duduk bersandar ke tembok, di saf barisan pertama dalam masjid. Saat pertama menghadapi paman itu, batinku berkecamuk.

Aku berpikir dengan gelisah, gila-gilaan memeras otak.

Tatapan ramah paman itu... menakutkan.

Gala mengelus dadanya, tersengal-sengal.

Detak jantungnya berpacu sangat cepat... sampai berkeringat dingin.

Dia terus berkeringat dingin didalam hati.

Dari luar tidak terlihat sama sekali keadaan janggal-nya. Siapapun yang melihatnya hanya akan mengira dia pria cuek yang memegangi dadanya sambil berdiam diri.

Aku memegang dadaku sampai merasa rileks, mencoba menenangkan pikiran gila-gilaan itu.

"Ya Allah, sebenarnya aku sangat takut dengan manusia. Kenapa mereka selalu memandangku saat berbicara? Ya Allah, Engkau tahu segala yang ada di dada manusia. Aku takut tatapan mereka yang selalu menghakimiku..."

Gala terisak dalam diam, air matanya terus mengucur tanpa bisa dibendung.

"Ya Allah Yang Maha Berbalas Kasih, maafkanlah hamba-Mu yang fasik ini dan kufur nikmat, ya Allah."

"Engkau sangat baik, ya Allah. Sedangkan diriku yang hina ini sangat takut untuk melanjutkan hidup. Aku pikir, hidup selama 19 tahun ini hanya membebani orang lain."

Sejujurnya...kemarin saat akan bunuh diri aku hanya berpikir, menjelang detik-detik terakhir sebelum terlindas kereta api aku akan bersyahadat. Dalam hadis, begitu yang aku baca syahadat pasti membuka pintu surga. Aku dengar, orang yang menjelang matinya mengucapkan syahadat, pasti masuk surga.

Tapi entah kenapa, hati kecilku berbicara lain... Seakan ini salah dan pernyataan ini tidak memiliki argumen kuat, ini membuatku tidak pernah berhenti untuk berpikiran buruk.

Apa aku akan disucikan dulu dari dosaku di neraka?

Berapa tahun kan itu?!

Setiap yang bertobat pasti diampuni, aku pikir juga begitu. Aku memang mempercayainya. Aku mempercayai itu dan yakin tentangnya. Hanya saja aku malu dengan noda dosa itu. Yah, walaupun diampuni... tapi masih berbekas.

Menakutkan membayangkannya.

Itu saja sudah menakutkan.

Membayangkannya saja menakutkan.

Membuatku khawatir... jika dosa-dosa kecil dan besar menumpuk. Tapi yang lebih menakutkan adalah...

Aku khawatir, jika dosa-dosa itu, tanpa aku sadari... menjerumuskanku.

Hal-hal menakutkan itu juga salah satu penyebab keinginan untuk bunuh diri.

"Ya Allah, semoga Engkau menutup aibku di dunia dan akhirat. Ya Allah, Engkau mengetahui apa yang otak dangkal ini telah rusak dan perbuat."

Pikiran-pikiran itu ada dan terlintas dalam hati kecilku. Dalam kenyataan hidupku di dunia, aku tetap menjadi orang fasik, yang bodoh, yang suka berpura-pura.

"Semoga aku menjadi apa yang baik di sisi-Mu, ya Allah."

Aamiin.

Berbekal naluri manusia yang tidak ingin hidup susah dan sengsara, aku berhasil dengan selamat pulang ke rumah yang paling aku takuti, yang paling enggan untuk kudatangi, dan juga tempat... yang paling kurindukan.

Tok tok tok.

"Assalamu'alaikum."

Ketukan pintu itu berlangsung lama, tapi tidak ada yang menjawab. Baru setelah yang ketiga kali, ada yang menjawabnya.

Bukannya disambut dengan ekspresi bahagia dari kedua orang tuaku... aku malah disuguhi penampakan muram dari ibuku.

"Habis dari mana?! Begadang di rumah siapa?! Kamu kenapa pulang setiap hari hanya saat mau berangkat sekolah?!"

Adikku yang ikut berdiri di samping ibuku ikut berbicara dengan nada sarkasme:

"Biasa, Bu. Anak cowok, main mulu..."

Ucap adik perempuanku, sinis. Aku tak membalas ucapan mereka. Aku langsung ke kamar, mengunci pintu, rebahan... tak bernyawa.

"Mereka tidak mengerti... tapi aku juga tidak memberitahu keluhanku."

Gala begitu tersayat hatinya, putus asa untuk hidup.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Jongos Pendusta

Selebihnya

Buku serupa

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku