Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
AKU MUNDUR, MAS!

AKU MUNDUR, MAS!

Muninggar88

5.0
Komentar
4K
Penayangan
69
Bab

Perjalanan rumah tangga pasangan suami istri Syafitri dan Guntur yang mengalami ujian sedari awal tahun pernikahan mereka. Ujian tersebut tidak lain datangnya dari keluarga Guntur sendiri yang selalu turut campur dan suka memprovokasi putra mereka. Semakin hari bukannya berubah ke arah yang baik justru sikap Guntur semakin menjadi karena ulah hasutan dari ibu dan juga saudaranya. Fitri yang selama ini mencoba untuk bersabar, akhirnya memilih menyerah dan memilih untuk mundur dari pernikahannya bersama dengan Guntur. Fitri dan Guntur memilih jalan masing-masing dan kebahagiaan mereka sendiri. Apakah nasib baik menyertai Fitri ataukah Guntur? Next baca cerita selengkapnya dengan judul buku AKU MUNDUR, MAS!

Bab 1 1. Notifikasi

Aku Mundur, Mas!

#1

...

Click

Bunyi pemberitahuan dari mobile banking yang ada dilayar gawaiku, yang mana tertulis sejumlah nominal yaitu 5.500.000, dari uang tabungan yang selama ini aku dan suamiku kumpulkan.

Tercengang.

Bagaimana mungkin, uang yang bertahun-tahun kami kumpulkan dan jika aku ingat-ingat jumlah terakhir ketika aku mencetaknya di buku ATM milikku adalah 60.500.000.

“Ada yang tidak beres sepertinya, pasti ada hubungannya dengan keluarga mas Guntur!” gumamku.

Tangan ini masih bergetar memegangi kartu ATM, degupan kencang sangat terasa hingga menimbulkan guncangan naik turun pundak ini, sampai-sampai putri kecil yang masih tertidur dalam gendonganku ini terbangun, karena kerasnya suara deruan napas yang memburu.

Segera aku lajukan motor yang kukendarai dengan kecepatan lebih dari biasanya, tujuanku tidak lain adalah agar bisa segera sampai di rumah.

Untung saja segera aku mengetahuinya sebelum terlambat.

Akhirnya aku sampai di halaman rumah kontrakan yang selama beberapa bulan ini kami tempati.

Aku masuk ke dalam rumah, selepas mengembalikan motor yang baru aku pinjam pada tetangga sebelah rumah.

Setelah selesai aku memandikan Zaskia, putri kecilku, aku pun gegas untuk bersih-bersih usai merapikan rumah ini.

Kini saatnya aku menunggu kepulangan dari mas Guntur, laki-laki yang meminangku lima tahun yang lalu, aku Syahfitri 26 tahun. Seorang ibu rumah tangga yang terkadang ikut andil membantu suami mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi merajut masa depan yang lebih baik lagi.

Sengaja aku mencari kesibukan dengan berbekal hobi memasakku yang diwariskan oleh ibuku sendiri.

Awalnya iseng dengan mengunggah hasil foto masakan yang baru selesai aku buat dan tetangga sekitar tempat tinggalku sebagai penguji rasa dari hasil olahan tanganku tersebut.

Akhirnya aku pun mulai memberanikan diri untuk menawarkan jasa melayani pesanan nasi kotak melalui akun biru dan hijau yang aku punya.

Dari mulut ke mulut juga dari sosial media yang aku punya. Akhirnya rasa dari masakanku itu cocok dengan lidah para konsumenku.

Karena sebagian besar dari konsumen yang memesan akan menanyakan DP untuk pesanan mereka. Karena dunia sudah canggih, mereka pun bisa lebih mudah melakukan pembebasan via transfer tanpa susah-susah keluar rumah. Oleh karena itulah aku berinisiatif untuk membuka rekening sendiri.

*

Sembari menunggu kedatangan ayah dari putriku tersebut, aku bersiap membuatkannya segelas kopi panas yang menjadi minuman favoritnya.

Tak berselang lama yang ditunggu pun sudah tiba, suara deru motor yang kukenali milik dari mas Guntur itu terdengar dari dalam rumah kami.

Seperti biasanya, aku akan menyambutnya dengan senyum manis, seperti tidak terjadi apa-apa, karena aku yakin, ia sengaja menyembunyikan hal tersebut dari istrinya.

“Assalamualaikum.” Terdengar suara suamiku mengucapkan salam dari balik pintu.

“Waalaikumsalam, sudah pulang mas?” Aku menjawab salamnya.

Kusambut uluran tangannya dan menciumnya dengan takzim.

“Mas, diminum kopinya mumpung masih panas.” Kuserahkan secangkir kopi yang telah kubuat beberapa saat sebelum kedatangannya.

“Kamu masak apa hari ini, Dek?”

“Aku gak masak, mas, itu di meja dapur masih ada sisa ayam bakar, sayur urap sama lalapan pesanan ibu-ibu PKK tadi pagi,” Aku menyiapkan makanan untuk suamiku itu,“ Ini makan dulu, baru aku angetin juga.”

Mendengar jawaban dariku, segera suamiku itu beranjak dari tempat duduknya. Segera ia berjalan ke arahku yang berada di dapur rumah ini.

“Ini nasinya, mas mau aku ambilin apa dulu?” Aku menyerahkan sepiring nasi dan menawarkan lauk yang ada di hadapannya.

“Campur in semuanya aja, dek. Tahu kamu masak enak hari ini, aku minta kamu buat nganter juga ke rumah ibu.”

Bruak!

Ku letakkan piring berisi nasi dan lauknya di hadapan suamiku dengan kasar dan sedikit membuatnya tersentak.

Kalau yang enak-enak saja Ibu dan juga saudaranya langsung diingat. Coba dengan keluargaku. Mimpi saja gak bakalan kesampaian bisa kalau semuanya masih dal kendali ibu mertua. Lebih tepatnya mas Guntur itu pilih kasih orangnya, antara keluarganya dan keluargaku beda cara dia memperlakukan kami.

Bukan aku tak mau menghormati Ibu juga saudara-saudaranya. Melainkan merekalah yang memang tidak menginginkan diri ini dan seolah aku akan menguasai putra mereka. Aku akan bersikap sewajarnya jika memang mereka pun berlaku wajar kepadaku.

“Ups...maaf mas, ini kesandung kaki kursi.” Ucapku ngeles, aku dapati tatapan melotot dari suamiku itu. “Mas bilang apa tadi?” aku ingin ia mengulangi ucapannya.

“Itu loh, kalo kamu masak enak, mbok ya ingat sama ibu, kamu sisihin kek, biar aku antar ke rumahnya.” Ucapnya dengan santai sambil menikmati hidangan dipiringnya.

“Itu kan pesanan orang, mas, jadi aku masaknya juga ya sesuai dengan jumlah yang dipesan, dan disesuaikan sama ada budgetnya, mana ada sih orang berbisnis itu punya cita-cita buat rugi.” Ucapku sewot menanggapi perkataan suamiku.

“Iha...kok kamu perhitungan, itu kan ibu aku, berarti ibu kamu juga, kasih ke orang tua itu sama dengan menabung pahala.” Dia berucap dengan mulut penuh makanan yang dikunyahnya.

“Iya, nanti, nunggu bulan depan, nunggu kamu gajian dulu, ntar aku masak in, kamu bawah tuh ke rumah ibumu, biar saudara-saudaramu juga gak perlu repot-repot masak dan ngeluarin uang belanja.” Ucapku sewot dan seolah-olah meninggikan keluarganya itu.

“Nah gitu dong, kan keluargaku berarti keluargamu.” Aku menanggapinya dengan menyebutkan bibirku ini.

Selesai makan, dan aku membersihkan bekas makan dari suamiku, kususul dia untuk masuk ke dalam kamar. Kulihat dia mencium pipi gembil putri kami yang terlelap setelah kumandikan dan kuberi makan tadi.

“Mas, kartu ATM kita, kamu simpan di dompetmu?” tanyaku ketika ia hendak meletakkan celana yang tadi dipakainya kerja.

“Iya, dek, aku yang bawah, memang ada apa?” tanyanya tanpa ada sedikit pun rasa bersalah.

Aku mencari cara untuk bisa mendapatkan kartu ATM-ku yang dibawa olehnya.

Bukan tanpa alasan aku menyarankan begitu saja benda yang berisi uang hasil kerja kerasku itu kepadanya. Aku berpikir karena kami adalah suami istri yang tak harus menutupi sesuatu dari pasangan kita. Termasuk juga ATM yang dipegang oleh mas Guntur.

Tidak hanya uang hasil penjualan makanan milikku. Di situ juga terdapat sebagian dari gaji suamiku yang tujuan kami akan pergunakan untuk keperluan masa depan kami, termasuk untuk biasa pembangunan rumah impian kami berdua.

“Mas di situ kan ada tabungan kita yang jumlahnya juga lumayan, kalo kamu simpan di dompetmu, terus dompetmu ada yang mengambilnya, gimana nasib kita, kan otomatis pencurinya bisa menguras habis isi dalam kartu ATM itu.” Mendengar ucapanku, seketika air muka suamiku berubah, dia nampak gugup dan menyembunyikan sesuatu dariku.

“Eh—anu, aku hati-hati kok menyimpannya.” Ucapnya sambil menggaruk kepalanya yang kurasa tidak gatal.

“Ya, sudah mas mandi dulu sana, bau asem.”

Sesaat sebelum suamiku beranjak menuju kamar mandi, aku sengaja mengawasinya saat dia menyimpan di mana dompetnya, sengaja aku berpura-pura sibuk dengan gawaiku. Selain berjualan makanan secara online aku juga berjualan online segala macam kebutuhan fashion para kaum hawa, seperti baju, kerudung, tas dan kosmetik yang memiliki standar BPOM.

Setelah kurasa, mas Guntur sedang sibuk dikamar mandi, cepat-cepat aku menuju tempat di mana suamiku itu meletakkan dompetnya, segera aku bukan dompetnya dan ku ambil apa yang ku cari, yaitu kartu ATM ku yang di jadikan santapan pesta oleh keluarga suamiku.

Sebelum ia selesai dari mandinya, segera aku rapikan dompet tersebut, dan meletakkannya seperti semula.

Untung saja aku masih bisa mengamankan sedikit dari sisa tabungan yang entah ke mana arahnya ia digunakan.

Aku sudah mempunyai rencana untuk itu, setelah sekian lama dan tekat yang sudah bulat, akan aku buat perhitungan untuk mereka semua.

Mungkin mas Guntur pun keluarganya tidak akan pernah mengira bahwa aku akan mengetahui permainan mereka di belakangku. Sebenarnya sudah ada kecurigaan sebelumnya namun tak bisa asal menuduh sebelum adanya bukti yang kutemukan. Tuhan maha adil akhirnya aku diberi-Nya petunjuk.

Aku memang baru saja memasang aplikasi mobile banking karena dirasa perlu. Dan salahku memang tidak sedari awal pembuatan buku tabungan. Dan memang ternyata benar. Aku bisa mengetahui kecurangan atas tabunganku melalui aplikasi yang telah terpasang di ponsel milikku ini.

Akun: Muninggar88

Judul : Aku Mundur, Mas!

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Muninggar88

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku