Menikah dengan orang yang kita cintai tak menjamin rumah tangga tetap adem dan ayem apalagi bahagia. Bagaimana jadinya bila di paksa menikah dengan orang yang tak kita cintai dan tak mencintai kita. Orang tua memaksaku untuk menerima pinangan seorang duda keren setelah aku di talaq suami dzholim dan pelit. Lalu apakah aku mampu membangun rumah tangga tanpa adanya rasa cinta di hati kami? Apa aku akan terus terjebak dalam luka dan derita pernikahan? Atau justru aku akan menemukan kebahagian dalam rumah tangga yang di awali tanpa adanya cinta? Yuk simak perjalanan kisah hidupku, wanita yang dihina suami dan ibu mertua hanya karena aku lulus SD dan miskin. Tetapi setelah di cerai justru aku menikah dengan duda pengusaha kaya raya. Kami menikah tanpa adanya cinta diantara hati masing-masing.
"Jika kamu tak terima, silahkan cari lelaki lain sebagai suamimu!" teriak Mas Tedy.
Aku menatap tajam ke arah Mas Tedy, suamiku. Tak menyangka ia yang terkenal alim dan rajin meminta istrinya untuk mencari lelaki lain untuk bisa mencukupi kebutuhan. Suami macam apa dia?
"Sekali lagi kamu ngomong kayak gitu, aku akan benar-benar pergi dari sini, Mas. Tapi, jangan harap kubawa anak-anak. Biar kamu tahu rasanya mengurus dan mencukupi kebutuhan dua anak," ucapku dengan tegas. Aku berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Mas Tedy yang masih duduk di teras.
Aku sangat geram dibuatnya, ia selalu mengucapkan hal itu. Mencari pria lain? Memangnya aku ini istri siapa? Lidahnya seperti ada paku yang terlempar menusuk relung hatiku.
"Ya udah sana cari aja lelaki lain yang bisa ngasih tiga juta perbulan, yang bisa nyukupin kamu," balas Mas Tedy sangat santai dan seperti tak ada beban, membuatku semakin geram. Ia selalu mengucapkan kalimat itu, entah sudah berapa kali tak terhitung. Setiap aku mengeluh dengan yang yang diberikan dan meminta tambahan.
Keesokan pagi, Mas Tedy sudah bersiap untuk pergi ke kebun milik Bapakku. Ia akan memanen jagung manis. Aku akan menyusul setelah selesai mengurusi kedua putraku yang hendak sekolah.
Pertama mengantar Arshaka, putra sulungku yang sudah duduk di bangku kelas enam SD. Setelah itu, mengantar putri bungsuku, Kayla, yang masih sekolah di taman kanak-kanak. Selesai mengantar barulah menyusul Mas Tedy ke kebun.
Selain Mas Tedy, ada tiga orang lainnya yang membantu memanen jagung. Mereka akan di beri Ibu upah setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Anak-anak udah pada berangkat sekolah, Li?" tanya Mamakku.
"Sampun, Mak," jawabku.
"Sarapan dulu sini, nanti baru bantu-bantu," ajak Mamak.
"Enggeh, yang lain sampun sarapan, Mak??" tanyaku.
"Sudah semua tadi pagi," balas Mamak sembari memasukkan jagung-jagung yang sudah di pisahkan dari pohonnya.
Aku sarapan sendiri karena yang lain sudah sarapan sejak pagi. Setelah itu, aku membantu memasukkan jagung manis ke dalam karung besar yang nantinya akan di timbang oleh pembeli.
Mas Tedy dan para pekerja mengambil jagung. Mereka mengumpulkan setiap jagung yang dipetik kemudian Ibu, Bapak dan aku memasukkannya ke dalam karung.
"Nanti yang mangkiran kamu bawa pulang, Li, kasih juga untuk tetanggamu," ucap Bapak.
Bapak memang tau jika putri sulungnya hidup pas-pasan, bahkan tetanggaku yang sering memberikan sesuatu kepada keluargaku.
"Mereka pada mau kan, enggak nolak? Soalnya yang bagus di jual, di sana kan enggak ada yang nanam jagung," imbuh Bapak.
"Maulah, Pak, meski mangkiran, tapi juga masih bagus-bagus kok apalagi gratis," balasku.
Jagung sudah masuk karung semua, tinggal menunggu pembeli yang sebentar lagi datang. Matahari mulai condong, aku berpamitan untuk pulang lebih dulu karena waktunya menjemput Kayla
Selang beberapa saat setelah aku sampai rumah, Mas Tedy pulang dengan membawa empat karung jagung mangkiran. Jagung mangkiran biasa di sebut jagung BS-an.
"Banyak banget bawanya, Mas, memang bisa habis?" tanyaku.
"Buat makan ayam," jawabnya yang membuat hatiku dongkol. Enak saja jagung manis pemberian Bapak diberikan untuk Ayam.
Daripada pikiranku pusing lebih baik aku mandi dan setelah itu masak untuk makan siang.
"Hallo, lagi dimana? Kesini ada jagung manis satu karung."
"Iya, Mbahnya panen."
Aku mendengar dari kamar mandi percakapan Mas Tedy. Aku sudah bisa menebak kalau ia sedang berbicara dengan kakak iparku yang tinggal di kabupaten seberang.
Benar saja tak sampai satu jam seorang lelaki bertubuh tinggi, dan perut buncit datang mengendarai motornya dengan senyum sumringah
Tetanggaku yang sedang mengupas jagung itu segera pamit pulang, mungkin mereka merasa tak enak karena kedatangan Kakak iparku.
Jagung yang masih sisa tiga karung setengah, langsung diangkut Mas Nobi ke atas motornya, setelah itu lelaki buncit itu pulang.
"Mas! Kenapa jagungnya kamu berikan sama mas Nobi semua? Tetangga belum di kasih seperti Santi, Siti, dan tetangga dekat rumah lainnya. Emang Bapak berpesan untuk dikasihkan sama Mas Nobi, nggak kan. Lagian bisa-bisanya kamu nggak menyisakan buat anak-anak, padahal anak-anak paling suka sama jagung manis!" teriakku begitu amarah.
Pelit dengan anak dan istri tapi dengan Kakaknya sangat royal. Suami macam apa dia, seenak udelnya memperlakukan aku seperti itu.
"Terserah aku, yang bawa jagung itu siapa? Aku kan," ucapnya tambah ngeyel. Ingin diraup wajah pelitnya itu.
Aku yakin pasti kakak iparku akan pamer di sosmed. Mas Nobi pamer jagung manis jika habis panen jagung dan akan ia bagi-bagikan dengan tetangganya dengan dalih hasil panennya sendiri seperti kejadian yang sebelum-sebelumnya.
Semua pekerjaan rumah sudah beres, begitu juga melayani pembeli di warung kecilku yang cukup ramai hari ini. Warung ini adalah sumber utama pemasukan kami, dari sinilah aku memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mumpung sepi, aku menyempatkan diri merebahkan tubuh sambil mengecek HP. Ada notifikasi masuk, unggahan dari Mas Nobi yang muncul di beranda Facebook.
"JAGUNG MANIS HASIL PANEN DARI TANAH GUNUNG."
Aku mendengus pelan, tidak percaya. Berani sekali dia mengaku-ngaku jagung itu hasil panennya. Kebunnya sendiri saja tak pernah ia urus, tapi sekarang malah sok-sok rajin jadi petani sukses. Padahal semua itu sebenarnya hasil kerja keras Bapak dan Mamakku, mereka yang menanam, mereka juga yang merawat sampai panen.
Aku terus membaca komentar-komentar di bawah unggahannya.
"Panen banyak, Nob."
"Alhamdulillah banyak sekali, Bro," balasnya, menambahkan emoji senyum penuh kebanggaan palsu.
"Aku minta dong."
"Sini, Nduk, kubagi. Sebagian sudah kuberikan ke tetangga," balasnya lagi, seolah dia ini orang paling dermawan sejagat raya.
Emosiku makin naik membaca semua komentar itu. Jagung-jagung yang dia banggakan itu bukanlah hasil kerja kerasnya, melainkan milik Bapak dan Mamakku yang susah payah bekerja di ladang. Rasanya aku tidak bisa diam saja.
Dengan dada yang masih bergemuruh, aku mencari Mas Tedy yang sedang duduk santai di teras.
"Mas, kamu tahu nggak, Mas Nobi pamer di Facebook seolah-olah dia yang panen jagung itu? Nggak ada sekalipun dia memberi pengakuan kalau itu sebenarnya itu pemberian kita. Hasil keras Bapak dan Mamakku."
Mas Tedy hanya melirikku sekilas dengan wajah datar, seolah masalah ini sepele. "Ya biarin aja, Bu. Toh cuma jagung."
Aku tertegun, tak percaya dengan jawabannya. "Mas, kamu kok bisa-bisanya bilang begitu? Itu hasil keringat Bapak dan Mamakku, loh! Harusnya kamu juga menghargai usaha mereka. Kita yang kerja keras, orang lain yang dapat pujian!"
Ia mengangkat bahu, tampak acuh tak acuh. "Kalau kamu malu, ya biarin aja. Aku nggak peduli soal itu," katanya dengan nada dingin, lalu beranjak pergi begitu saja tanpa sepatah kata lagi.
Aku hanya bisa memandang punggungnya dengan perasaan kecewa dan terluka yang semakin mendalam. Rasanya seperti ada tembok yang makin tinggi di antara kami, semakin tebal setiap kali dia mengabaikan perasaanku.
---