Aku Istrimu, Mas, Bukan Budakmu
rumah warung sembako kecilku seharian sangat ramai pe
keesokan paginya. Aku pun tak ingin menyapanya terlebih d
mbuka tudung saja, terlihat ia me
dari pasar, kenapa enggak beli daging?" t
apnya dengan malas. Memberi aku ua
aku uang. Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa mencukupi kebu
serta lauk seperti daging, tahu, dan tempe. Namun,
gambil satu butir telur. Ia menggoreng telur lalu ia makan dengan mena
l aku udah masak tumis kangkung s
k, enggak level makanan s
era keluar karena ada pembeli yang datang, capek meladeni dia. Jika menuruti kemauannya untuk makanan enak, la
telpon dan aku sudah pasang telinga lebar-lebar, a
jagungnya udah habis di kasihkan ke tetangga semua. Kalau masih ada tak am
ga udah habis. Di kebun Mbahnya juga udah h
justru aku yang terbakar emosi mendengar p
un kita gimana?" tan
h, Mas, bentar lagi panen mungkin
kan mertua kamu panen banyak tuh, jangan lupa minta juga yang banyak dan kabarin aku nanti bia
ng itu," ja
n Bapakku. Lebih besar juga kebun milik keluarga Mas Tedy, da
di kasih kenapa justru enggak merasakan aneh banget. Kamu sadar enggak sih, Mas, kamu tuh udah terlalu memanjakan
nya menasehati suamiku yang lebih memprioritaskan kedua kak
rus, itu lahan kebun jatahnya Mbak Tasih, suruh n
gian mereka mau modal dari mana? Bu
astafel Mas Tedy kembali kelua
asti dapat hasil. Emang kamu sendiri juga punya modal, modal kamu kan juga ambil hutang dan bayarnya setelah panen. Di dunia ini tuh engga
melakukan ini karena membalas jasa Mbak Tasih, dulu wak
perlu meneruskan percakapan iji. Dulu mas Tedy setelah lulus sek
uatan rak, dialah yang memasukkan Mas
t. Setelah Mas Tedy menikah denganku, ia memilih keluar dari p
saha untuk bekerja. Uang pesangon yang katanya tiga puluh juta pun
ya. Namun, punya Mbak Tasih, Mas Tedylah yang digarap dengan bagian sepert
kol, tiba-tiba datang kedua Ka
n Masmu enggak punya uang. Mamak juga enggak punya. Kamu bisa kan pinja
edy sambil menahan napas. Di hatiku, s
ri, kan? Panenan masih tiga minggu lagi. Nanti kala
Dia ingin merebut punya temannya terus. Kasihanlah Arslen
mereka datang dengan permintaan yang sama, seo
a duit," ucap Mas Tedy sambil mengangkat ba
h menatapku, memicingkan mata, dan berkata, "Lia, kamu
iah dari pernikahan kami, katanya buat sunatan anaknya, Puji. Sampai sekarang kalung itu tidak pernah kembali. Dan di catatan nota harga kalung itu
ya, Mak," balas
mertuaku berubah, mendelik tajam seakan
an. Kamu enggak lihat apa Tarji harus jalan dengan satu kaki? Dia enggak bisa b
ti-matian bekerja untuk mencukupi ke
isa mencukupi kebutuhan kami karena aku berusaha keras
kamu enggak mau pinjami duit, ya sudah, Mamak pinjam kalungnya Ka
aat ia mulai melangkah menghampiri Kayla, hatiku serasa mencelos, amarah bercampur
-