Irfan pernah berkata Amira tak akan berarti tanpa dirinya. Kini, kenyataan justru berbalik-Amira bersinar di puncak kesuksesan, sementara Irfan hanya bisa menatap penuh penyesalan. Ironisnya, pria yang pernah meremehkannya itu kini datang membawa sejuta rayuan. Apakah Amira cukup bodoh untuk menyerahkan hatinya lagi? Atau dia akan membiarkan mantan suaminya terus tenggelam dalam penyesalan? Ikuti kisah penuh emosi dan kebangkitan Amira dalam Bersinar Setelah Menjanda.
Rutinitas di pagi hari adalah sarapan agar kuat menghadapi kenyataan bukan banyak harapan seperti yang dilakukan Irfan.
Lelaki dewasa yang sudah rapi dengan kemeja dipadu dengan celana kain panjang dan sepatu pantofel itu menatap sinis ke arah sang istri yang sedang menghadap kompor.
"Dek... bisa enggak sih kamu perawatan, aku eneg lihat wajah kamu yang kusam dan dekil apalagi lihat badanmu yang makin hari makin melebar seperti gajah bengkak. Baru aja punya anak satu sudah kek gitu gimana kalau udah punya anak lima. Aku malulah, Dek, punya istri sepertimu, di kantor setiap hari selalu di suguhi wanita cantik, sexy dan wangi. Tapi di rumah selalu di sambut istri yang kucel dan bau bawang!!" omel Irfan. Ia menuju meja makan lantas menarik kursi untuk duduk, tangannya dengan cekatan mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi beserta lauk yang di sajikan sang istri. Irfan sarapan dengan raut muka masam memandang sang istri yang memakai daster lecek serta rambut acak-acakan.
Wanita berwajah cantik alami namun tak terawat itu hanya bisa menghela nafas, keluhan seperti itu selalu keluar dari mulut suaminya setiap hari. Amira mematikan kompor setelah air di dalam panci mendidih lalu menuang airnya ke dalam gelas yang sudah berisi kopi.
"Kalau Abang mau aku cantik ya di modalin dong, Bang. Cantik itu butuh modal enggak sulapan," bantah Mira. Ia memendam emosi sembari meletakkan secangkir kopi susu di hadapan sang suami, meski setiap hari cacian dan makian ia dapatkan namun tetap melayani kebutuhan Irfan dengan baik.
Irfan makan dengan lahap bahkan ia menghabiskan lauknya tanpa memikirkan sang istri dan putrinya akan sarapan dengan apa. Setelah menyelesaikan sarapannya, ia kembali menimpali pembelaan Mira.
"Selama ini aku sudah memberimu uang seratus ribu untuk satu minggu kamu kemanain saja, harusnya kamu bisa menyisihkan sedikit untuk sekedar membeli skincare, Dek. Banyak tuh di toko biru, ataupun toko orange skincare yang enggak nyampe ratusan ribu sudah bisa bikin putih dan glowing," ujar Irfan dengan santai. Ia segera mengambil hp-nya dan mengetikan sesuatu.
Irfan menscrol beranda aplikasi hijau dan memperlihatkan kepada sang istri. Ia berpikir uang yang diberinya bisa cukup untuk berbelanja dan membeli skincare murahan tanpa mau tahu efek samping dari skincare itu.
"Nih lihat, banyak kan skincare dengan harga di bawah lima puluh ribu. Bahkan lima puluh ribu sudah dapat sepaket, kamunya aja yang enggak pandai mengatur uang dan malas merawat tubuh. Harusnya kamu tuh bisa menyenangkan suami biar suami betah di rumah, itu jerawat kamu makin hari makin penuh di wajah bikin aku makin jijik aja!" imbuh Irfan nyerocos tiada henti. Tanpa mau intropeksi diri ia selalu mencari-cari kekurangan sang istri.
"Boro-boro bisa pesan skincare dari aplikasi online, beli paketan data saja nggak mampu, Bang. Beli lauk untuk Abang saja rasanya ngos-ngosan. Abang pikir uang seratus ribu bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama satu minggu, apalagi Abang saat makan selalu minta lauk ikan. Coba deh Abang yang belanja, aku tinggal masak saja," balas Mira dengan kesal.
Istri mana yang tidak kesal bila suami terus menuntut dirinya untuk tetap cantik tetapi memberi uang saja sangat pelit, Irfan hanya memberi nafkah seratus ribu untuk satu minggu. Dengan entengnya ia meminta sang istri untuk perawatan.
"Kamu pikir beli skincare itu pakai daun apa, Bang. Perawatan kalau belinya cuma sekali juga percuma enggak akan ada hasilnya. Sama saja percobaan kalau mau perawatan kan harus rutin memakainya," imbuh Mira.
"Kamu bilang nggak cukup, Dek, dasar istri boros banget sih bisanya cuma ngabisin duit suami aja. Nggak tahu apa aku capek-capek kerja kamu enak-enak tinggal ngabisin duitku saja. Mulai hari ini aku jatah kamu lima belas ribu, Dek, cukup enggak cukup kamu harus cukup-cukupin. Ngeluh mulu kerjaan kamu," ucap Irfan. Ia mengeluarkan uang lima belas ribu dari dalam dompetnya. Bukannya menambah uang belanja justru ia menguranginya.
"Dah.. Abang mau berangkat dulu. Oh ya kalau nggak mau beli data mending nebeng wifi deh punya tetangga depan rumah, makanya punya otak tuh di manfaatin jangan cuma dianggurin," imbuh Irfan. Ia segera beranjak dari duduknya dan segera melangkah keluar rumah.
"Abang, enggak sarapan dulu??" tanya Mira. Bahkan ia mengabaikan segala ocehan suaminya.
"Enggak, Abang sarapan di kantor saja. Bosen sarapan di rumah menunya tempe, telur mulu. Jangan lupa nanti sore masak rendang buat Abang!" jawab Irfan dengan ketus.
Amira tak membalas lagi ucapan Irfan, dan segera mencium punggung tangan sang suami dengan takzim. Selalu seperti itu saat Irfan bosan makan di rumah ia akan memilih jajan di luar tanpa mengingat anak dan istrinya. Mira bahkan tak tahu berapa gaji Irfan sebenarnya, menyebalkan bukan??.
Setelah kepergian Irfan, Mira segera mengambil nasi untuk sarapan Azzura Celina Nora, putri tercintanya yang berusia dua setengah tahun.
Celin, panggilan yang mereka sematkan untuk putri kecilnya, Celin sedang asyik bermain dengan mainannya di lantai.
"Mira....!! Kerjaan kamu ngapain saja hah, ini rumah kenapa seperti kapal pecah dibiarkan saja!" Terdengar teriakan dari arah ruang tamu, siapa lagi yang datang kalau bukan Bu Fatma, Ibu mertua Mira.
Namun Mira tetap membiarkan Bu Fatma terus mengomel, karena ocehan wanita paruh baya itu sudah menjadi makanan sehari- hari baginya.
Mira tetap tenang, tak tergoyahkan oleh kata-kata kasar itu ia hanya menghela nafas panjang, dan segera menghampiri dimana Celin berada.
"Nanti aku bersihin 'Bu, tadi habis ngurus bang Irfan dulu. Sekarang mau nyuapin Celin sarapan," balas Mira. Ia menatap Ibu mertua dengan tatapan tulus dan sabar.
"Alah... dasarnya saja kamu yang lelet dan pemalas. Dulu Ibu juga pernah ada di posisi kamu, setiap subuh ibu sudah bangun dan mengerjakan pekerjaan rumah jam tujuh semua sudah selesai, Ibu sudah mandi dan dandan yang wangi. Jadi suami tuh betah di rumah. Makanya mumpung anaknya masih tidur itu kita segera melakukan tugas istri dan ibu rumah tangga, bukanya malah ikut ngebo mulu," sungut Bu Fatma dengan menggebu.
Mira sama sekali tak mau meladeninya lagi, ia memilih fokus bermain bersama sang putri. Setelah selesai menyuapi Celin, ia segera memandikannya.
"Heh, kamu dengar enggak sih Ibu ngomong apa? Orang tua kalau ngomong itu dengerin dan dikerjakan bukan malah diam aja! Dasar wanita pemalas!" protes Bu Fatma karena Amira hanya diam saja dan memilih masuk ke dalam kamar mandi.
"Mira! Kamu budeg ya enggak punya telinga, kenapa diam aja? Apa kamu tiba-tiba bisu?" panggil Bu Fatma dengan suara meninggi.
Celin memeluk sang Ibu dengan erat karena takut dengan suara tinggi Neneknya. Mira memilih meng'iya'kan saja agar Bu Fatma cepat diam.
"Iya, Bu, aku udah denger kok," balas Mira.
"Kalau ngejawab itu jangan iya, iya, terus. Harus dilakukan, udah pemalas jorok lagi!" ucap Bu Fatma dengan ketus. Ia akhirnya keluar dari rumah ini membuat hati Mira merasa lega dan bisa mengurus putrinya dengan tenang.
Saat Mira selesai membereskan rumah dan memastikan Celin tertidur, ia merasakan kelelahan yang mendalam. Pandangannya menerawang keluar jendela, memikirkan Irfan yang akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah.
Sebuah suara samar mengganggu lamunannya, ponselnya berbunyi. Mira melirik layar dan mendapati sebuah pesan SMS dari nomor tak dikenal. Meski ragu, ia membuka pesan tersebut, dan kata-katanya membuat bulu kuduknya berdiri.
Apakah kamu tahu ke mana Irfan pergi setiap malam?
Mira membaca pesan itu berulang kali, berusaha mencerna maksudnya. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa maksudnya?
Pikirannya berkecamuk, namun ia mencoba menepis rasa cemas yang tiba-tiba datang. Mungkin hanya orang iseng. Tetapi, saat ia hendak meletakkan ponsel, pesan lain masuk.
Jangan terlalu percaya. Semakin kamu diam, semakin dia akan terus berbohong.
Mira merasakan detak jantungnya semakin kencang, seolah pesan-pesan ini mengisyaratkan sesuatu yang selama ini tak ia sadari. Ia menggenggam ponsel itu erat, mencoba menenangkan diri, namun perasaan aneh dan mencurigakan mulai menyelimuti pikirannya.
Ia memandang wajah Celine yang tertidur lelap di sampingnya, dan firasat buruk perlahan muncul di hatinya.
Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku? batin Mira
Buku lain oleh Sri_Wahyuni
Selebihnya