Sasmitha selalu merasa iri kepada kembarannya, Saskia. Mitha, selalu merasa bahwa Kia merebut semua yang dia miliki dan dia sayangi. Mitha membenci Kia hingga melakukan kecurangan. Bagaimana kisah kembar beda lima menit itu? Apa yang membuat Mitha merasa sangat menyesal?
Prang!
"Semua selalu saja Kia, Kia, dan Kia! Anak Mama dan Papa ada dua, ada aku dan bukan hanya, Kia!" teriak Sasmitha, saudari kembar Saskia.
"Apa-apaan kamu Mitha, jangan seperti anak kecil yang merengek seperti itu. Memang kenapa jika kamu yang mengerjakan semuanya? Kalau kamu tidak mau, silahkan kamu pergi saja dari rumah ini!" teriak Bandi dengan lantang. Bagai mimpi buruk, Mitha tak menyangka Sang Papa dengan mudah mengusirnya.
"Pa, jangan usir Mitha. Kia bisa kok membantu Mitha, kasihan Mitha jika Papa usir dia," bujuk Kia dengan wajah memelas.
"Halah, tidak usah kamu peduli sama aku. Lihat, Papa mengusir aku hanya demi kamu! Puas kamu, Kia. Aku benci sama kamu!" Mitha berlari menuju kamarnya dan mengunci pintunya. Mitha menangis sesenggukan, membanting semua barang yang ada di hadapannya.
"Gue benci lo, Kia! Elo udah rebut semuanya dari gue. Lihat saja, gue bakal bikin elo gak tenang!" ucap Mitha.
Mitha menatap pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum sinis. Entah apa yang ada dalam otak kecilnya itu, tiba-tiba dia tertawa dengan keras.
"Tunggu pembalasan dari gue, saudari kembarku." Mitha merebahkan diri dan memejamkan matanya.
*****
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu terdengar begitu kencang di kamar Mitha, membuatnya mau tak mau bangun dari tidurnya.
"Mitha, bangun kamu. Masak dan bersihkan rumah, cepat!" Ketukan pintu semakin terdengar kencang.
"Ck, masih setengah lima!" gumamnya. Namun, ketukan pintu terdengar semakin keras dan intens.
"Iya, sabar!" teriak Mitha.
"Kaya gak ada manusia lain aja di sini, selalu gue dan gue. Apa susahnya mereka bantu gue? Gue anak mereka atau babu di sini sebenarnya?" gerutunya.
Mitha pun dengan gegas membersihkan rumah dan memasak. Semua selesai tepat pada waktunya. Meski tak terlihat akur, tetapi keluarga Mitha selalu makan di meja yang sama.
"Mitha, kamu berangkat menggunakan angkutan umum saja. Papa dan Mama akan mengantar Kia lomba," ucap Bandi.
"Betul, lihat Kia, sudah pandai, selalu ikut lomba dan mendapat nilai tinggi. Mama dan Papa bangga dengan Kia, tidak seperti kamu yang entah lah," sindir Nawang, Mama Mitha.
Brak!
Mitha bangkit dari duduknya lalu berpamitan kepada kedua orang tuanya. Tanpa basa-basi, Mitha berlalu meninggalkan mereka semua.
"Puji, bandingkan terus gue sama dia. Kalian pikir gue gak muak dengarnya? Males gue sekolah, harus ketemu dia lagi, ngeliat dia disanjung, dibicarakan semua orang padahal manusianya aja gak hadir di sekolah." Mitha menghentikan langkah kakinya, netranya terpaku pada selebaran kertas yang tertuju pada tiang listrik.
"Lowongan? Apa gue lamar aja di sini? Gue coba, ah!" Mitha mengambil selebaran berisi info lowongan kerja dan berjalan mencari tempat tersebut. Tak membutuhkan waktu lama, Mitha menemukan tempat itu dan masuk ke dalamnya.
"Permisi, apakah benar di sini mencari pekerja freelance?" tanya Mitha.
"Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?" ucap wanita cantik dengan lesung pipit menghiasi pipinya.
"Saya mau melamar pekerjaan di sini. Apa saja, saya mau," ucap Mitha dengan wajah penuh harap.
"Apa kamu masih sekolah?" tanya wanita itu. Mitha terdiam. Dia ingin menjawab 'iya' tetapi takut tidak diterima, jika dia jawab 'tidak' dia pun tak sanggup.
"Gak usah takut, jika kamu masih sekolah, tak apa. Tetapi, saya butuh izin dari orang tua kamu, bisa?" tanya wanita itu. Mitha pun menyanggupinya.
"Baiklah, pertama-tama, kenalkan saya Nadia," ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
"Sasmitha, panggil saja Mitha," jawab Mitha membalas uluran tangan Nadia.
"Baiklah, besok kamu bisa mulai bekerja setelah pulang sekolah. Dan saya meminta nomor telepon kamu agar saya mudah menghubungi kamu." Mitha dan Nadia pun bertukar nomor telepon.
Mitha pun diantar sekolah oleh Nadia. Mitha tersenyum senang karena dia mendapatkan pekerjaan sampingan.
Tetapi Mitha pun harus memikirkan alasan yang dia berikan kepada kedua orang tuanya jika ia sering pulang terlambat.
Selama pelajaran berlangsung, Mitha memikirkan alasan apa yang akan dia berikan kepada kedua orang tuanya agar tidak dimarahi jika pulang terlambat.
"Mitha! Mitha!" Pekikan terdengar lantang dari Raga, guru fisika.
"Ya, Pak?" tanya Mitha dengan wajah bingungnya setelah lengannya disenggol teman sebangkunya.
"Apa kamu tidak mendengarkan penjelasan saya?" tanya Raga.
"De-dengar, Pak," jawabnya gugup.
"Kalau begitu, kerjakan soal ini di depan!" titah Raga.
Dengan lesu, Mitha mengerjakan soal yang Pak Raga berikan di papan tulis.
Mitha menggaruk tengkuknya. Sejujurnya, dia lemah terhadap hitung-hitungan dan semacamnya.
Kesabaran Raga habis. Nahasnya, bel istirahat berbunyi dan pelajaran terpaksa dihentikan.
"Saya tunggu kamu di ruangan saya!" Raga berlalu meninggalkan Mitha dengan perasaan jengkel. Bagaimana tidak, hal ini bukan sekali saja terjadi. Hampir setiap Raga masuk, Mitha tak pernah memperhatikan pelajaran.
Dengan gontai, Mitha pun berjalan menuju ruangan Raga. Dia pun mengetuk pintu dan meminta izin masuk, "Pak Raga, ini Mitha, apa saya boleh masuk?" tanyanya.
"Ya!" Mitha pun mendorong pintu ruangan dan menutupnya kembali. Setelah diperbolehkan duduk, Mitha duduk dihadapan Raga.
"Saya ingin bertanya, apa yang kamu pikirkan selama saya mengajar?" tanya Raga tanpa basa-basi.
"Tidak ada, Pak," jawab Mitha menunduk.
"Jika tidak, mengapa kamu sering sekali mengabaikan pelajaran saya? Jika memang kamu tidak suka, kamu bisa keluar saat pelajaran saya!" ucap Raga lantang.
"Lihatlah kembaran kamu, Kia. Kamu seharusnya bisa mencontoh dia. Dia pandai, berprestasi, selalu membawa nama baik sekolah kita dengan menang berbagai lomba sains dan fisika! Mengapa kamu tidak-"
Brak!
Mitha bangkit dan menggebrak meja Raga.
"Cukup! Jangan bandingkan saya dengan dia, Pak. Mengapa semua orang selalu membandingkan saya dengan Kia? Saya ya saya, Kia ya Kia. Kami mempunyai kapasitas dan kelebihan dibidang lain. Bukan berarti karena kami kembar otak dan kelebihan kami di hal yang sama!" pekik Mitha.
Tanpa basa-basi, Mitha pergi meninggalkan ruangan Raga dan berlari menuju toilet.
Mitha menangis di sana. Dia tidak khawatir akan orang yang datang, karena dia berada di toilet lama yang sudah tidak digunakan.
Tangisannya terdengar begitu kencang. Namun, dia terkejut saat langkah kaki terdengar ke arah toilet itu.
"Siapa?" teriaknya.
Langkah kaki itu pun bergegas lari sebelum Mitha membuka pintu toilet.
Mitha terkejut melihat setumpuk tissue di atas wastafel dan sebuah coklat dan tulisan kecil di dalamnya.
"Jangan nangis terus, cantikmu nanti hilang. Dimakan ya coklatnya!" Isi surat itu.
Mitha menoleh mencari siapa pengirimnya, namun tak terlihat. Sebuah senyum kecil mengembang di kedua pipi Mitha.
"Siapapun elo, gue berterima kasih," ucapnya. Tanpa Mitha sadari, pemilik tissue dan coklat itu masih berada di sekitarnya.
"Sama-sama, semoga kamu bisa terus tersenyum seperti itu. Semoga aku bisa terus melihat senyuman manis kamu itu, Mitha," ucap lelaki dengan senyumnya yang khas.
Bab 1 1. Mitha diusir
28/01/2024