Aarav Ravindra, seorang pria yang awalnya tidak begitu mencintai istrinya karena suatu konflik yang terjadi di masa lalu namun secara perlahan rasa cinta itu mulai tumbuh. Tetapi ketika rasa cinta terhadap istrinya mulai tumbuh, istrinya justru malah pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya. Setelah sepeninggal istrinya, dirinya langsung dipenuhi rasa bersalah dan rada penyesalan. Dia menyesal kenapa tidak mencintai istrinya sejak dulu. Saking menyesalnya, dia berharap waktu bisa terulang kembali agar dia bisa mencintai istrinya lebih awal. Tentu harapan yang dia minta itu merupakan harapan yang mustahil. Meski begitu, dia terus berharap tentang hal itu. Sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang wanita misterius yang dapat membantunya untuk mewujudkan harapannya itu. Bisakah dia menghilangkan rasa bersalah dan rasa penyesalannya itu?
*Note : Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.*
-
Jika ada seseorang yang mengatakan kalau penyesalan selalu datang di akhir, itu benar adanya. Karena sekarang, aku sedang mengalami sebuah penyesalan terbesar yang ada di hidupku. Sebuah penyesalan yang terjadi akibat tindakan yang aku lakukan dulu.
-
26 April 2027, di dalam sebuah ambulance yang sedang melintas di salah satu jalan yang ada di daerah Jakarta.
Namaku adalah Aarav, Aarav Ravindra. Aku saat ini sedang berada di dalam sebuah ambulance. Alasan aku berada di dalam ambulance itu adalah untuk menemani istriku yang bernama Nadine Xylia Levronka. Aku dan Nadine baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas. Aku mengalami luka ringan, sedangkan Nadine mengalami luka yang lumayan parah jadi dia harus dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan ambulance.
Saat ini, aku sedang duduk di samping tandu ambulance tempat Nadine terbaring. Nadine saat ini sedang terbaring sambil dirawat oleh petugas medis yang ada di dalam ambulance itu.
Ketika aku sedang duduk di samping Nadine, Nadine tiba-tiba menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Aku pun menerima sodoran tangan kanannya itu dan kemudian aku menggenggam tangan kanannya itu dengan kedua tanganku.
"Bertahanlah, Nadine," ucapku.
Ketika aku sedang menggenggam kedua tangan Nadine, entah kenapa rasanya aku ingin menangis. Benar saja, tidak lama setelah itu, tiba-tiba air mata keluar dari kedua mataku. Meski air mata telah keluar dari kedua mataku, aku tidak berusaha untuk membasuh air mata itu dan memilih untuk tetap menggenggam tangan kanan Nadine. Nadine yang menyadari kalau aku sedang mengeluarkan air mata pun terlihat bingung.
"Kenapa.....kamu....menangis?," tanya Nadine dengan terbata-bata.
Karena luka yang dialaminya akibat kecelakaan, Nadine jadi kesulitan untuk berbicara dengan lancar.
Lalu, setelah Nadine menanyakan itu, aku pun langsung menjawabnya.
"Tidak apa-apa, mungkin aku menangis karena aku khawatir kepadamu," ucapku.
Setelah mendengar perkataanku itu, Nadine tiba-tiba tersenyum dan tertawa kecil.
"Hehehe," tawa Nadine.
Aku pun bingung kenapa Nadine tiba-tiba tertawa.
"Kenapa kamu malah tertawa?," tanyaku.
Nadine pun langsung menjawabnya.
"Padahal saat awal-awal......kita menikah, kamu tidak....pernah peduli kepadaku. Jika ada.....sesuatu yang terjadi.......kepadaku pun kamu.......tidak khawatir kepadaku. Tetapi kini akhirnya......kamu mulai peduli dan khawatir.....kepadaku. Aku.....senang karena kamu khawatir.....kepadaku," ucap Nadine.
Setelah mendengar perkataan Nadine, aku pun langsung menanggapinya.
"Aku minta maaf karena baru sekarang aku peduli dan khawatir kepadamu. Saat awal-awal kita menikah, aku masih belum menerima kalau aku bakal dinikahkan olehmu. Apalagi seharusnya kamu tahu sendiri, hubungan kita sebelumnya sempat merenggang dan kita pun belum sempat berbaikan. Tetapi tiba-tiba kedua orang tua kita malah menjodohkan kita hanya karena pada saat itu kita sama-sama belum mempunyai pasangan," ucapku.
Sesuai perkataanku barusan, aku dan Nadine bisa menikah karena orang tua kami menjodohkan dan menikahkan kami. Orang tuaku dan orang tua Nadine memiliki hubungan yang cukup dekat. Apalagi dulu, ketika aku masih kecil, orang tua Nadine sempat tinggal di sebelah rumah orang tuaku. Jadi bisa dibilang, orang tua Nadine dan orang tuaku dulunya adalah tetangga dan Nadine pun dulunya adalah teman masa kecilku. Selain teman masa kecilku, aku dan Nadine juga merupakan teman di Sekolah Dasar karena kami berdua bersekolah di Sekolah Dasar yang sama.
Awalnya hubungan pertemanan kami baik-baik saja, tetapi ketika menjelang hari kelulusan di sekolah dasar, terjadi sesuatu yang membuat kami bertengkar. Pertengkaran itu membuat hubunganku dan Nadine menjadi renggang. Setelah hubungan kami menjadi renggang, baik aku dan Nadine tidak saling berbicara lagi. Kami berdua juga tidak saling mencoba untuk meminta maaf. Bahkan hingga Nadine dan orang tuanya pindah ke rumah yang baru setelah hari kelulusan di Sekolah Dasar, hubungan kami masih tetap renggang, hubungan kami sama sekali belum membaik. Meski begitu, walaupun hubunganku dan Nadine sedang renggang, kedua orang tua kami masih tetap berhubungan baik. Bahkan meski orang tua Nadine sudah pindah ke rumah yang baru, orang tuaku masih berhubungan baik dengan mereka.
Lalu, setelah Nadine pindah ke rumahnya yang baru, aku tidak lagi bertemu dengan Nadine. Aku juga tidak bertemu dengannya di Sekolah Menengah Pertama karena Nadine tidak masuk Sekolah Menengah Pertama yang sama denganku. Aku baru bertemu dengannya lagi di Sekolah Menengah Atas karena Nadine berada di sekolah yang sama denganku. Tidak hanya 1 sekolah saja, kami bahkan 1 kelas selama 3 tahun bersekolah disana. Tetapi meskipun kami merupakan 1 kelas, kami tetap tidak saling berbicara satu sama lain karena masih renggangnya hubungan kami.
Setelah itu, kami pun lulus dari Sekolah Menengah Atas dan masuk ke Universitas. Kami berdua memasuki Universitas yang berbeda jadi kami berdua tidak bertemu lagi saat sudah di Universitas. Kami menjalani kehidupan mahasiswa kami masing-masing tanpa pernah bertemu satu sama lain hingga lulus. Begitu juga setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan, aku dan Nadine tetap tidak bertemu satu sama lain.
Sampai akhirnya tepat setelah 4 tahun lulus dari Universitas, kami berdua pun dipertemukan kembali oleh orang tua kami. Saat kami berdua dipertemukan kembali itu lah kami tiba-tiba langsung dijodohkan oleh orang tua kami masing-masing. Kini berkat perjodohan itu, kami berdua sudah menjalin hubungan sebagai suami istri selama hampir 1 tahun.
"Yah, kamu ada.....benarnya. Kita belum.....sempat berbaikan gara-gara.....kejadian itu dan tiba-tiba.....orang tua kita saling.....menjodohkan kita. Wajar kalau kamu......tidak peduli ataupun khawatir.....kepadaku saat awal kita.....menikah. Bahkan bisa......dibilang saat itu mungkin......kamu belum menganggapku......sebagai istrimu," ucap Nadine.
Perkataan Nadine itu membuatku sedikit terkejut. Tetapi yang dia katakan itu adalah benar.
"Itu benar, karena saat itu aku memang masih belum menerima kalau aku telah dinikahkan denganmu. Aku minta maaf soal itu," ucapku.
"Jika memang begitu......berarti saat itu kamu belum.....mencintaiku?," tanya Nadine.
Aku pun terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan Nadine. Tidak lama kemudian, aku mulai menjawab pertanyaannya itu.
"Iya, saat itu aku memang belum mencintaimu," ucapku.
"Kalau sekarang......bagaimana? Apa kamu sudah.....mulai mencintaiku?," tanya Nadine.
Aku tanpa ragu-ragu langsung menjawabnya.
"Iya. Saat ini, aku sudah mulai mencintaimu, Nadine," ucapku.
"Kalau begitu, apa sekarang.....kamu sudah menganggapku.....sebagai istrimu?," tanya Nadine.
Aku kembali menjawab pertanyaan Nadine tanpa ragu-ragu.
"Iya. Kamu sekarang adalah istriku, Nadine. Sampai kapanpun, kamu akan tetap menjadi istriku," ucapku.
Setelah mendengar jawabanku itu, Nadine pun langsung tersenyum. Tetapi tidak lama kemudian, wajahnya tiba-tiba menjadi cemberut.
"Aku.....senang karena sekarang.....kamu sudah mulai mencintaiku, tetapi aku......kecewa karena saat kita baru menikah.....kamu belum mencintaiku. Padahal aku......sendiri sudah.......mencintaimu saat kita baru.....menikah. Tidak hanya saat.....itu saja, aku bahkan......sudah mencintaimu sejak dulu," ucap Nadine.
Aku pun terkejut setelah mendengar perkataan Nadine.
"Kamu sudah mencintaiku sejak dulu?," tanyaku.
"Iya. Kamu ingat kan.....saat awal kita menikah? Saat itu, aku.....berusaha untuk meminta maaf......tentang 'kejadian itu'.....agar hubungan kita.....bisa membaik, apalagi.....kita sudah menjadi pasangan suami istri. Tetapi.....saat itu, tidak peduli seberapa keras aku....meminta maaf, kamu selalu......mengabaikanku. Rasanya sedikit sakit.....ketika mengingat hal itu," ucap Nadine.
"Aku benar-benar minta maaf. Saat itu, bisa dibilang aku masih membencimu karena 'kejadian itu'," ucapku.
"Kamu tidak perlu.....meminta maaf. Lagipula.....itu adalah kesalahanku.....sehingga membuatmu.....sempat membenciku. Saat 'kejadian itu',......kamu sudah memperingatiku lebih dulu......., tetapi aku malah.....mengabaikan peringatanmu itu. Aku bahkan.....malah memarahimu dan menamparmu.....karena aku tidak percaya dengan.....peringatanmu itu. Sudah jelas.....kamu akan membenciku....setelah apa yang aku lakukan.....kepadamu saat itu. Tetapi aku bersyukur......karena sekarang kamu sudah.....tidak membenciku lagi," ucap Nadine.
Setelah mendengar perkataan Nadine, aku kembali berbicara dengannya.
"Saat awal kita menikah, kamu tidak hanya mencoba meminta maaf atas 'kejadian itu' agar hubungan kita bisa membaik, tetapi kamu juga selalu perhatian dan peduli kepadaku meskipun saat itu aku selalu mengabaikanmu. Jadi saat itu kamu memang sudah mencintaiku ya," ucapku.
"Iya, saat itu.....aku sudah mencintaimu," ucap Nadine.
"Tetapi kamu bilang kamu sudah mencintaiku sejak dulu, namun kenapa sejak 'kejadian itu' kamu tidak pernah mencoba untuk meminta maaf atau berbicara kepadaku lagi? Kamu justru baru meminta maaf setelah kita telah menikah," ucapku.
Setelah mendengar perkataanku, Nadine pun langsung menanggapinya.
"Saat itu, aku......merasa sangat bersalah. Aku.....telah mengabaikan peringatanmu........, selain itu aku juga telah memarahimu......dan menamparmu.......karena aku tidak percaya......dengan peringatanmu itu dan ternyata.....peringatanmu itu benar. Aku.....benar-benar menyesal.....karena tidak percaya.....dengan peringatanmu itu. Aku juga merasa......bersalah karena selain tidak.....mempercayai peringatanmu, aku.....jyga telah memarahimu dan...... menamparmu. Karena rasa bersalah......itulah aku memilih untuk tidak.......berbicara kepadamu lagi meskipun......sebenarnya aku ingin," ucap Nadine.
"Begitu ya," ucapku.
Setelah itu, Nadine tiba-tiba mengalami batuk-batuk.
*Uhuk *Uhuk
Melihat Nadine yang batuk-batuk, aku pun semakin khawatir kepadanya."Untuk sekarang lebih baik kamu jangan berbicara dulu, Nadine," ucapku.
"Tidak, aku masih ingin......berbicara karena aku merasa kalau ini......adalah terakhir kalinya.....aku bisa berbicara denganmu," ucap Nadine.
Aku sedikit terkejut dan bingung dengan apa yang dikatakan Nadine.
"Apa maksudmu, Nadine?," tanyaku.
Setelah aku menanyakan hal itu, Nadine tidak langsung menjawab pertanyaanku dan memilih untuk mengatakan hal lain.
"Kamu tahu? Ketika orang tuaku.....dan juga orang tuamu memutuskan......untuk menjodohkan kita, .....saat itu aku sangat.....senang. Berkat perjodohan itu, aku.......akhirnya bisa memberanikan diri......untuk berbicara lagi denganmu.......meskipun saat itu kamu malah.......mengabaikanku. Meski awalnya kamu terus......mengabaikanku, tetapi berkat usahaku yang terus.....perhatian dan peduli kepadamu, kamu......secara perlahan mulai......membuka hatimu kepadaku. Kamu pun juga......sudah mulai mencintaiku,"
"Aku......benar-benar senang dengan.......perjodohan itu. Aku sangat senang.....karena aku bisa hidup bersama.....dengan orang yang aku cintai. Aku......benar-benar mencintaimu, Aarav. Tidak, aku.......benar-benar mencintaimu, sayang," ucap Nadine sambil tersenyum.
Setelah Nadine mengatakan itu, aku merasa air mata yang keluar dari kedua mataku mulai mengalir lebih deras dari yang sebelumnya. Aku benar-benar menangis setelah mendengar perkataan Nadine.
"Aku juga mencintaimu, Nadine," ucapku sambil menangis.
Nadine pun kembali tersenyum setelah mendengar perkataanku. Sambil tetap tersenyum, dia kemudian kembali mengatakan sesuatu.
"Padahal kamu.......sudah mulai mencintaiku. Kamu pun.......juga sudah mulai peduli dan perhatian.....kepadaku. Namun sangat disayangkan, sepertinya.......aku tidak bisa merasakan.......kasih sayang, perhatian, dan.......kepedulianmu lagi kepadaku," ucap Nadine.
Aku kembali terkejut dan bingung dengan perkataan Nadine. Nadine belum menjawab pertanyaanku tentang maksud perkataannya yang bilang kalau ini adalah terakhirnya kalinya dia bisa berbicara denganku tetapi sekarang dia kembali mengatakan sesuatu yang ambigu.
"Apa maksudmu, Nadine?," tanyaku.
Setelah aku menanyakan itu, Nadine pun mulai menjawab pertanyaanku. Dia menjawab pertanyaanku itu sambil tersenyum.
"Aku merasa.....kalau waktuku tinggal......sebentar lagi," ucap Nadine.
Aku pun sangat terkejut setelah mendengar perkataan Nadine.
"Apa maksudmu?! Tolong jangan bercanda ketika keadaanmu sedang seperti ini, Nadine," ucapku.
"Aku tidak bercanda. Aku......yang paling tahu bagaimana.....kondisi tubuhku sendiri. Tubuhku......sudah tidak bisa......bertahan lagi akibat kecelakaan itu. Sepertinya.....dampak kecelakaan itu......terhadap tubuhku sangat.....parah," ucap Nadine.
Aku kembali terkejut setelah mendengar perkataan Nadine.
"Ini tidak mungkin kan!? Meskipun lukamu lumayan parah tetapi tidak separah itu kan?!,"
"Aku benar kan, pak!? Nadine pasti bisa disembuhkan kan, pak?," tanyaku kepada petugas medis yang sedang merawat Nadine.
Petugas medis yang sedang merawat Nadine di ambulance itu ada 2 orang dan keduanya merupakan laki-laki. Jadi aku memanggil petugas medis itu dengan panggilan 'Bapak'.
"Tetap tenang, pak. Kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk merawat istri anda," ucap salah satu petugas medis itu.
Setelah mendengar perkataan petugas medis itu, aku lalu menoleh dan melihat kembali ke arah Nadine.
"Tuh kamu dengar sendiri kan perkataan petugas medis itu, Nadine? Petugas medis itu akan merawat kamu semaksimal mungkin. Jadi kamu tidak boleh bilang kalau tubuhmu sudah tidak bisa bertahan lagi," ucapku.
Setelah aku mengatakan itu, Nadine pun kembali tersenyum ke arahku. Nadine tersenyum sambil menggelengkan kepalanya sebagai tanda kalau yang dilakukan petugas medis itu adalah hal yang sia-sia.
"Tidak, Nadine. Kamu pasti akan sembuh, Nadine. Tolong yakinlah kalau kamu akan sembuh!," ucapku yang tidak terima dengan tanda yang ditunjukan Nadine barusan.
Setelah aku mengatakan itu, Nadine mulai berbicara kembali.
"Aku minta....maaf karena harus.....meninggalkanmu disaat kamu.....sudah mulai....mencintaiku. Aku benar-benar......minta maaf, sayang," ucap Nadine.
Disaat Nadine mengatakan itu, air mata terlihat mulai keluar dari kedua matanya.
"Tidak, tolong jangan katakan itu lagi, Nadine. Aku mohon jangan katakan hal itu lagi!," ucapku.
Air mata keluar semakin deras dari kedua mataku ketika aku mengatakan itu. Aku masih tidak terima dengan perkataan Nadine itu.
Lalu setelah itu, Nadine tiba-tiba menanyakan sesuatu kepadaku.
"Hei, sayang, apa......setelah ini kamu.....akan tetap mencintaiku?," tanya Nadine.
Aku tanpa ragu-ragu langsung menjawab pertanyaan itu.
"Iya, setelah ini dan sampai kapanpun aku akan selalu mencintaimu. Jadi tolong yakinlah kalau kamu akan sembuh, Nadine. Tolong yakinlah kalau kamu akan terus menemaniku, Nadine," ucapku.
Setelah aku mengatakan itu, Nadine pun kembali tersenyum.
"Aku senang.....kalau kamu bilang kamu akan selalu.....mencintaiku," ucap Nadine sambil tersenyum.
Air mata Nadine terus mengalir keluar dari kedua matanya saat dia mengatakan itu. Sama halnya dengan air mata Nadine, air mataku pun juga terus mengalir keluar dari kedua mataku.
Setelah Nadine mengatakan itu, Nadine yang sebelumnya sedang melihat ke arahku tiba-tiba mulai menoleh dan melihat ke atas.
"Sepertinya sudah waktunya......bagiku untuk pergi. Padahal aku ingin.....berbicara denganmu sedikit.....lebih lama, tetapi.....sepertinya tubuhku....sudah tidak bisa....bertahan lagi," ucap Nadine.
Aku kembali terkejut setelah mendengar perkataan Nadine.
"Tidak!! Tolong jangan katakan hal itu lagi, Nadine. Aku mohon kepadamu!," ucapku.
Air mataku keluar semakin deras ketika aku mengatakan itu. Setelah itu, dengan wajah yang masih menghadap ke atas, Nadine kemudian melirik ke arahku yang berada di sampingnya.
"Jaga dirimu.....ya, sayang. Aku......mencintaimu," ucap Nadine.
Nadine mengatakan itu sambil tersenyum. Setelah itu, kedua matanya yang sebelumnya terbuka kini mulai menutup secara perlahan.
"Tidak!!! Ini bercanda kan!? Kamu sedang bercanda kan, Nadine!? Tolong jangan bercanda di saat seperti ini!," ucapku.
Nadine tidak menanggapi perkataanku. Kedua matanya yang secara perlahan mulai menutup kini mulai tertutup sepenuhnya. Nadine menutup kedua matanya sambil tersenyum. Setelah itu, tubuh Nadine sudah tidak bergerak lagi.
Aku yang melihat tubuh Nadine sudah tidak bergerak lagi pun menjadi sangat cemas dan khawatir. Aku lalu meminta Nadine untuk bangun karena aku pikir Nadine sedang bercanda.
"Nadine, bangun, Nadine!. Kamu sedang bercanda kan? Candaanmu ini benar-benar tidak lucu, Nadine!," ucapku.
Meski aku sudah meminta Nadine untuk bangun, tetapi Nadine tidak kunjung bangun. Tubuhnya benar-benar sudah tidak bergerak lagi.
Setelah itu, mesin EKG yang ada di ambulance yang berfungsi untuk mengecek kondisi jantung Nadine mulai menampilkan garis datar terus menerus. Ketika melihat mesin EKG yang menampilkan garis datar itu, aku langsung mengatakan sesuatu kepada petugas medis yang sedang merawat Nadine.
"Pak, apa maksudnya ini?! Mesin ini sedang rusak kan?! Tidak mungkin kan kalau denyut jantung istri saya sudah berhenti?!," tanyaku.
Petugas medis itu kemudian langsung menjawab pertanyaanku.
"Bapak tetap tenang ya. Jantung istri anda memang sudah tidak berdenyut lagi, tetapi kami akan berusaha mengembalikannya dengan alat denyut jantung," ucap petugas medis itu.
Setelah itu, aku pun langsung terdiam setelah mendengar perkataan petugas medis itu. Aku tidak menyangka kalau denyut jantung Nadine ternyata benar-benar sudah berhenti.
Lalu, ketika aku masih terdiam, kedua petugas medis itu mulai mencoba untuk mengembalikan denyut jantung Nadine dengan menggunakan alat kejut.
1 kali percobaan berakhir gagal. 2 kali percobaan pun juga berakhir gagal. Bahkan sampai 5 kali petugas medis itu berusaha untuk mengembalikan denyut jantung Nadine, denyut jantung Nadine tetap tidak kembali.
Setelah 5 kali percobaan berakhir gagal, petugas medis itu lalu mengatakan sesuatu kepadaku.
"Kami mohon maaf, pak. Sepertinya istri anda sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Istri anda sudah meninggal dunia," ucap petugas medis itu.
Setelah mendengar perkataan petugas medis itu, aku yang sebelumnya hanya diam saja pun langsung terkejut dan tidak mempercayainya.
"Tidak, ini tidak mungkin. Ini pasti bohong kan? Istri saya tidak mungkin sudah meninggal dunia! Kalaupun benar jantung istri saya telah berhenti, kalian berdua pasti bisa mengembalikannya kan? Tolong dicoba lagi, pak!," ucapku.
"Kami minta maaf, pak. Kami sudah membantu untuk mengembalikannya dengan alat kejut sebanyak 5 kali. Tetapi denyut jantung istri anda masih belum kembali juga. Sebanyak apapun kami mencoba untuk mengembalikan denyut jantung istri anda, jantung istri anda tidak akan bisa berdenyut kembali. Istri anda sudah tidak bisa diselamatkan, pak,"
"Sekali lagi, kami minta maaf, pak. Istri anda telah meninggal dunia, anda harus tabah dan ikhlas dalam menerima ini," ucap petugas medis itu.
Setelah mendengar perkataan petugas medis itu, aku masih tidak mempercayainya. Dalam ketidakpercayaan itu, air mata terus mengalir keluar dari kedua mataku.
"Tidak, ini tidak mungkin!!!," ucapku.
Setelah mengatakan itu, aku langsung memeluk tubuh Nadine yang masih terbaring di tandu itu.
"Nadine, tolong bangun, Nadine!. Kamu saat ini sedang bercanda kan? Kamu sedang berpura-pura tidur kan?," tanyaku sambil menggerak-gerakkan tubuh Nadine yang sedang aku peluk.
Melihat aku yang sedang menggerak-gerakkan tubuh Nadine, kedua petugas medis itu pun langsung menghentikanku.
"Saya mohon untuk jangan melakukan ini, pak. Istri anda telah meninggal dunia, anda harus tabah dan ikhlas," ucap petugas medis itu.
Aku tidak menghiraukan perkataan petugas medis itu dan terus menggerak-gerakkan tubuh Nadine sambil berteriak memanggil namanya.
"Nadine, tolong bangun, Nadine!. Jangan tinggalkan aku, Nadine!,"
"NADINE!!!!!!," teriakku.
Di tengah teriakanku itu, suara sirine ambulance yang sedang membawa kami tiba-tiba berubah menjadi suara sirine yang panjang.
-Bersambung
Buku lain oleh Rizdhan
Selebihnya