Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Anon I love u

Anon I love u

Penulis P

4.9
Komentar
6.3K
Penayangan
62
Bab

Cerita ini 18++ Tidak untuk anak kecil. Mohon bijak dalam memilih bacaan. Sheril, Gadis cantik berusia 25 tahun. Berstatus jomblo sejak lahir. Kehidupan di dunia kerjanya yang mengharuskan ia pulang malam, pun menjadi bahan gosip ibu-ibu di komplek 14. Di luar dugaan, dia adalah wanita yang dikelilingi pria tampan. Rey teman kerjanya, Vero pekerja baru dan Tedi yang merupakan tetangganya. Namun, Sheril memilih Anon sebagai pacarnya. Padahal Anon hanya sebuah nama akun di aplikasi Minsta. Seseorang yang belum ditemuinya. Apa alasan Sheril memilih Anon? Siapakah seseorang pemilik akun Alnonim itu?

Bab 1 Siapa Alnonim

Bunyi ponsel dari notifikasi Minsta, membuat Sheril terjaga. Pikirnya siapa yang sudah mengganggu mimpi indah di pagi buta? Ia tak berharap notifikasi itu dari Narto, mantannya yang baru putus seminggu yang lalu.

Masih terbaring, tangan Sheril meraba lantai yang dingin untuk meraih ponselnya. Kasur yang ia tempati hanya beralaskan karpet kain. Tidak ada ranjang, atau nakas di kamar itu. Hanya ada kasur lantai lengkap dengan bantal dan sebuah lemari plastik.

Setelah berhasil menemukan ponselnya Sheril segera menyentuh layar untuk membuka kunci. Ternyata sebuah pesan dari aplikasi Minsta. Aplikasi populer tempat para Selebta, sebutan untuk influencer Minsta dengan followers minimal satu juta.

[.]

Begitulah isi dari pesan singkat di Minsta. Hanya satu tanda titik tapi membuat Sheril melongo.

[Apaan cuma titik doang]

Ia membalas pesan tersebut lalu bergegas turun dari kasur. Setelah membalas pesan tersebut, ia menyimpan ponselnya di atas kasur. Berjalan enggan keluar kamar sambil membawa handuk.

"Sher, kalau mau mandi sekalian cuci piring, ya!" teriak Fika, kakak ipar Sheril.

"Ya," jawabnya singkat. Sebenarnya, ia terlihat masih ngantuk. Namun, kerja pagi tidak bisa ditunda, jika tidak berangkat kerja dia tidak akan punya uang. Sementara kakak iparnya, meski bangun lebih pagi darinya, tapi sibuk main ponsel.

Entahlah, untuk dagang, kali. Begitulah Sheril berusaha berpikir positif.

Handuk ia sampirkan di pundak. Berdiri di depan wastafel yang penuh dengan piring kotor.

'Siapa saja sih yang makan? Perasaan kemarin nggak sebanyak ini.'

Sheril mulai memutar kran air, mengguyur spons untuk dicuci lebih dulu. Baru ia beri sabun dan sedikit air.

Bunyi piring yang beradu saat ditumpuk berdenting. Sheril berusaha pelan melakukannya meski licin. Setelah selesai mencuci piring, barulah ia melangkah ke kamar mandi.

Air yang dingin mengguyur tubuh. Rasa pegal yang mendera, beku seketika. Memberikan sensasi segar dan mengusir kantuk.

Setelah selesai mandi, ia berjalan menuju kamarnya. Handuk masih melilit tubuhnya, serta handuk kecil menutupi rambutnya yang basah. Sheril kembali meraih ponsel, ada notifikasi dari Minsta, sebuah pesan singkat dari akun yang sama.

[Kenapa? Nggak boleh?]

Sheril mengerutkan alis lalu mengetik sebuah balasan.

[Aneh aja.]

Sheril meletakan kembali ponselnya di atas kasur, lalu ia mengenakan baju dinasnya. Seragam biru bercorak warna merah melingkar di bagian dada.

[Biar beda, daripada cuma kata 'hi' tapi nggak di balas, kan?]

Notifikasi kembali berbunyi. Sheril yang sedang menyisir rambut segera meraih ponsel. Ia tertawa pelan.

[Oh.]

Jawab Sheril. Kata yang ia gunakan ketika malas atau ingin iseng menjahili teman onlinenya. Satu kata yang mampu membuat orang lain dongkol.

[Dih, cuma oh, doang. Aku sering lihat kamu tiap pagi, apa hari ini kerja juga?]

Sheril segera mengikat rambutnya. Ia mengingat-ingat setiap pagi saat ia berangkat kerja. Apa yang sedang chatting dengannya adalah orang yang pernah disapanya?

Tidak mungkin, sanggah Sheril. Karena yang sering menyapanya tiap pagi adalah bapak-bapak penjual bubur ayam atau pedagang sayur di komplek tempatnya tinggal.

[Kamu yang jualan bubur ayam?]

Sheril membalas pesan tersebut dengan sebuah pertanyaan.

Sementara di tempat lain, pria yang sedang berdiri di balkon lantai dua tertawa keras.

Sial, kenapa disangka tukang bubur?

Pria itu menghentikan tawanya, lalu mengetik sebuah pesan.

[Aku pastikan kamu lewat lagi dan tak menyapaku hari ini.]

Sheril yang sedang memakai sepatu, kembali mengambil ponselnya yang berbunyi. Ia mendengkus lalu mematikan data selulernya.

"Kak. Aku berangkat dulu, ya!"

"Kenapa nggak makan dulu, Sher?" tanya Fika. Ia sibuk dengan dua anaknya yang bersiap sekolah.

Sheril tak menanggapi kakak iparnya itu. Ia berangkat sambil celingukan. Mencari kemungkinan orang yang tak pernah disapanya apabila bertemu.

"Rajinnya Sheril, mau berangkat kerja?" tanya seorang ibu-ibu yang sedang memilih sayuran di tukang sayur.

"Iya, Bu Nis." Sheril tersenyum. "Permisi," ucapnya saat lewat.

"Anak zaman sekarang, ya, kelihatannya saja sopan, padahal murahan."

"Ssst. Nanti kedengeran. Biasalah, sopan santun demi tameng. Aslinya jual diri sama godain laki orang," jawab ibu-ibu di sebelahnya.

"Pantesan itu anak udah umur 25 belum nikah juga," ucap salah satu dari lima ibu ibu yang sedang belanja sayur.

Sheril sudah terbiasa dengan gosip seperti itu. Sudah seperti sarapan pagi. Apalagi pekerjaannya berangkat pagi pulang jam sepuluh malam. Membuat gosip para tetangganya seolah terasa nyata.

"Tumben Sheril nggak beli bubur?" tanya penjual bubur ayam saat Sheril melewatinya.

"Sudah sarapan, tadi, Pak." Sheril tersenyum. Ia berjalan sambil mencari seseorang yang mungkin bisa dicurigai sambil sesekali menyapa orang yang berpapasan dengannya.

Jalan gang yang sempit itu tak ada yang bisa Sheril curigai. Kemudian ia berjalan di jalan gang dengan tembok yang tinggi di salah satu sisinya. Perjalanannya menuju jalan raya masih jauh, karena itu ia bangun pagi hanya untuk jalan dari rumah kakaknya menuju jalan raya.

Sheril meraih ponselnya, mengaktifkan kembali data seluler. Tak lama kemudian, notifikasi dari Minsta muncul. Chat dari akun yang bernama "Alnonim"

[Kan, kamu nggak menyapa aku!]

Sheril menghentikan langkahnya. Lalu mengetik sebuah balasan.

[Tadi aku udah nyapa. Maaf ya, hari ini nggak beli bubur dulu, Pak!]

Sheril mendengkus. Lalu ia berjalan kembali.

Tak jauh dari Sheril berada. Seorang pria yang masih berdiri di balkon lantai dua rumahnya tertawa keras. Lalu ia menutup mulutnya dan menghentikan tawanya saat Sheril menoleh.

[Aku bukan tukang bubur!]

Balasan itu ia kirim kepada Sheril. Manik matanya tak henti menatap punggung Sheril yang menjauh. Lalu, Sheril berhenti di pinggir jalan raya sebelum menyebrang menuju halte bus.

[Kalau bukan, lalu kamu siapa?]

Sheril duduk di kursi sambil menunggu bus selanjutnya tiba. Jalanan masih lengang pagi ini. Kendaraan pribadi tidak banyak berlalu lalang.

[Kalau kuberitahu nanti kamu menyesal.]

Sheril mencebik saat membaca balasan dari teman online-nya itu.

[Oh]

Balasnya singkat.

[Coba kamu cari tau sendiri!]

[Nggak mau, capek!]

Sheril mematikan data selulernya lagi setelah membalas pesannya. Sebuah bus yang ditunggunya tiba. Sheril segera naik bus, jaraknya menuju tempat kerja tak jauh. Hanya perlu lima menit naik bus.

Setibanya di depan SevenMart, Sheril turun dan membayar bus dengan menempelkan card.

"Kak Sheril!" teriak pekerja part time saat Sheril masuk.

"Tumben, Wid, ada apa?"

"Hari ini aku terakhir kerja part time. Nanti ada pengganti aku. Tapi katanya mau satu shift sama Kak Sheril."

"Kamu mau pindah?" tanya Sheril.

"Bukan pindah, tapi keluar. Aku dapat kerjaan yang bagus!"

"Baguslah. Selamat, ya!"

"Eh, Kak. Kenapa kakak betah kerja di sini sih?"

"Ya daripada nggak ada kerjaan, kan? Aku hanya lulusan SMP, mana bisa pilih-pilih kerjaan." Sheril menjawab sambil diakhiri tawa.

"Aku pulang dulu, ya, Kak. Bye!"

"Eh, Wid. Rey nggak masuk?"

"Kak Rey ganti shift, jadi malam gantiin aku nemenin Kak Yuri."

Sheril mengangguk untuk mengiyakan. Lalu, siapa pekerja baru yang akan bersamanya?

Sheril menghela napas panjang. Ia berdiri di menatap mesin barcode. Setelah kepergian Widiya, Sheril belum mendapatkan pengunjung. Semua pekerjaan sudah dirapikan oleh Widiya. Sheril mengambil roti dan susu kotak yang letaknya tak jauh darinya, lalu menyantap sarapannya di pagi ini.

Denting suara pintu yang didorong membuat Sheril mendongak ke arah pintu. Dua pria berjalan ke arahnya sambil berbincang. Sheril segera menyimpan sarapannya yang belum habis itu, lalu menyapa pemilik SevenMart saat tiba di depannya.

"Selamat pagi, Pak Davin."

"Pagi, Sheril." Pria yang dipanggil Pak Davin itu, melempar senyum ke arah Sheril.

"Nah, Al, dia Sheril, teman kerjamu. Sheril, ini Alvero yang akan menggantikan Rey."

"Semoga betah, ya, Al." Davin menepuk pundak Vero lalu pamit kepada Sheril.

Vero menatap Sheril beberapa menit, lalu tertawa. Sheril yang masih sibuk melihat pemilik SevenMart pergi segera menoleh, ia mendengus kesal melihat kelakuan partner kerjanya yang tengil itu.

"Kenapa baru sarapan?"

Sheril yang hendak menggigit roti itu, menoleh ke arah Vero.

"Terserah aku, dong!" jawab Sheril tak peduli. Ia segera menghabiskan roti selai coklat itu lalu meneguk susu rasa pisang hingga habis.

Ponsel Sheril berbunyi, segera ia merogoh ponsel dari saku celananya. Ia mengumpat beberapa kali sambil berkutat dengan ponsel. Ada satu chat dari minsta yang masuk karena wifi SevenMart aktif. Ponsel yang diatur tersambung otomatis itu membuat Sheril menggerutu. Mau tidak mau ia membuka pesan tersebut.

[Kalau begitu, aku akan menemuimu!]

Sheril terpaku menatap layar ponsel. Sementara Vero, teman kerjanya berkeliling di ruangan SevenMart untuk mengenal lingkungan kerjanya.

[Temui saja kalau berani!]

Balas Sheril, lalu ia mematikan ponselnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Penulis P

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku