Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
426
Penayangan
23
Bab

"Dua hal kebahagiaan yang kupunya, telah kamu ambil. Apa itu belum cukup jika aku adalah selanjutnya?" tanya anak itu sambil duduk menengadah, seulas senyum terbit dengan tatapan mengejek. Ia sudah tak sanggup berdiri, tubuhnya penuh memar, kekuatan yang tersisa masih disimpannya untuk hari esok. Akankah ada hari esok? Entahlah .... Hari esok yang penuh misteri selalu diharapkan oleh mereka yang menginginkan masa depan. "Jika, ya? Apa yang akan kamu lakukan?" "Apa kamu akan kabur?" "Atau menangis seperti hari ini?" "Bocah tau apa? Harusnya kau bersyukur masih bisa hidup enak!"

Bab 1 Prolog

Penyesalan datang setelah semua kesempatan habis. Perasaan saat lenyapnya nyawa dalam raga ketika manusia tak sengaja berbuat ceroboh. Saat mata sang bidadari tertutup bersamaan dengan lisannya yang cerewet diam untuk selamanya.

Penyesalan itu semakin menumpuk. Menjadi gunung yang suatu saat akan meletus. Mengeluarkan semua yang terpendam. Di mana rasa kecewa, cinta, obsesi, keluar menjadi sebuah alasan pembelaan diri.

Pemuda berkulit eksotis itu bukan seorang atlet, ia adalah perampok sekaligus pembunuh berantai. Tubuhnya diikat di kursi besi dengan kabel terbuka yang terhubung pada kursi besi itu. Jika saja ia menjawab salah, atau berkilah, aliran listrik akan menyengat tubuhnya. Ia duduk di bawah sinar lampu putih, sorot matanya menatap penuh kebencian pada seorang detektif di depannya.

Rusli, pria tambun itu menghela napas panjang. Ruang sempit yang sering dikunjungi bersama para narapidana itu seakan menyerap oksigen yang dibutuhkannya. "Kamu orang aneh," ucapnya sambil terkekeh, terdengar seperti ejekan. "Bagaimana cara berpikirmu, anak muda? Bagaimana ibumu bisa bahagia jika anak satu-satunya begini?"

"Diam kau, bangsat!"

Rusli terdiam sejenak, ia menatap datar ke arah pemuda itu beberapa detik, lalu tersenyum ramah.

"Rupanya aliran listrik yang menyengat tubuhmu seperti sebuah kemoceng yang menggelitik, ya?" Rusli menatap pemuda di depannya sambil tersenyum.

"Apa yang kau inginkan sebelum sidang terakhir dilaksanakan. Kamu tahu, tidak ada kesempatan saat itu! Dan hukuman mati adalah hal pasti." Rusli berkata dengan tegas. Ia mulai berdiri. Remot kontrol berukuran kecil yang sedari tadi ia pegang, segera dimasukan ke dalam saku.

Raut wajah yang sedang marah itu perlahan melunak, wajahnya ditekuk dengan mata yang mulai berembun. "Pulang," jawab pemuda itu dengan suara parau.

Rusli memalingkan wajah sambil menahan tawa. Lalu ia mencondongkan tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu pada meja kayu yang dingin, ia menatap ke arah pemuda di depannya. "Kalau begitu, banyak-banyaklah berdoa!" Rusli kembali berdiri tegak, lalu beranjak meninggalkan ruang interogasi.

Dalam kesendirian yang hanya beberapa menit saja, pemuda itu tersenyum tipis. "Bagaimana bisa Tuhan mengabulkan doaku, hidupku saja sangat jauh darinya."

Dua orang petugas masuk dan melepas rantai yang mengikat tubuh pemuda itu pada kursi besi, tapi tidak dengan borgolnya. Sipir penjara itu sikapnya sangat dingin, setiap ucapannya yang keluar bagaikan petir.

"Jalan!" titah salah satu sipir penjara. Pemuda itu berjalan dengan tenang menuju sel tempat ia ditahan. Melewati lorong gelap yang di kiri dan kanannya adalah para tahanan di balik jeruji besi, lalu melewati lorong temaram yang sepi dan dingin. Lorong bawah tanah, lembab dan sesak.

Pintu besi yang berlapis itu dibuka, pemuda itu masuk tanpa menunggu disuruh. Ruangan yang ia tempati sangat sempit, hanya cukup untuknya duduk dengan kaki menjulur. Sementara tinggi ruangan tersebut tiga kali lipat dari tinggi badannya yang hanya 187cm.

Pemuda itu menengadah ke arah langit-langit, matanya menatap ke sudut kanannya, di sana ada ventilasi, sempit dan tak mungkin diraih. Kedua tangannya mengepal, matanya sulit untuk dipejamkan kemudian memerah, bibirnya berkedut dan akhirnya melukiskan senyum serta air mata yang mengalir deras.

Pemuda itu bernama Fauzan, seorang narapidana atas kasus pembunuhan berantai serta perampokan. Sebenarnya, cukup sulit untuk polisi menangkapnya. Jejaknya selalu terhapus. Namun, saat terakhir ia melakukan perbuatannya, saat itulah nasib sialnya. Atau mungkin, dia berniat mengakhiri perbuatannya. Karena pada saat ia ditemukan, ia sedang duduk terkulai di hadapan seorang gadis.

Fauzan menghela napas berat. Ia mengubah duduknya menjadi duduk jongkok menghadap tembok, tangannya mendekat ke dinding yang cat putihnya sudah menguning. Tangannya bergerak, menempelkan besi borgol ke dinding, lalu membuat coretan-coretan abstrak. Jika dilihat lebih dekat, itu adalah gambar yang sudah ia buat selama satu tahun di penjara sempit ini. Fauzan melanjutkan karya seninya itu sambil tersenyum getir.

Setiap coretan abstrak itu memiliki arti dan ceritanya masing-masing. Fauzan selalu bergumam saat mencoret dinding yang dingin itu. Gumaman yang jika didengarkan dengan baik merupakan ceritanya sendiri. Cerita yang mungkin ingin ia bagi, meski hanya dirinya sendiri sebagai pendengar yang baik.

"Anak muda yang malang," ucap sebuah suara berat.

Fauzan yang sedang berkutat dengan coretannya dan menggumamkan cerita itu segera menoleh ke belakangnya. Lalu memindai sekeliling ruangan sempit itu. Tidak ada siapapun di sana. Ia tersenyum getir, lalu kembali menatap tembok yang sudah ia coret.

"Memaafkan masa lalu itu tidak mudah, tapi berusahalah." Suara itu kembali muncul.

Fauzan bergeming, ia menghentikan kembali aktivitasnya. Namun, kali ini ia tidak menoleh ke belakangnya. Ia pikir, mana mungkin ada orang lain di ruangan isolasi ini.

"Kamu siapa? Apa hanya halusinasiku saja?" tanya Fauzan menatap dinding yang hanya berjarak dua puluh senti itu.

"Aku? Bisa saja dirimu, atau apapun yang ingin kamu anggap."

Fauzan menyunggingkan senyum tipis. Kini ia berdiri lalu memutar badannya. Kembali ia memindai ruangan sempit tempatnya berdiri. Tidak ada siapapun selain dirinya di sini.

"Jangan bercanda!" teriak Fauzan frustrasi.

"Aku tidak bercanda. Oh, bukannya dunia hanyalah sebuah panggung sandiwara? Bagaimana kalau aku menawarkan sesuatu yang menarik untukmu?" Suara itu menggema di ruangan sempit. Fauzan menelisik ruangan yang dingin dan pengap itu. Ia mencari sosok yang terus mengajaknya bicara.

"Kau masih saja mencariku, apa kau ingin melihatku?" tanya suara itu.

Fauzan tak memedulikan pertanyaan dari suara itu. Ia mencoba mencari suara tanpa sosok yang berputar di kepalanya.

"Ah, baiklah. Aku di sini!" serunya.

Fauzan segera menoleh ke arah kanan dari tempatnya berdiri. Tempat asal suara itu berada.

Sosok bening perlahan muncul dari dinding yang bercat putih pudar. Sosok itu membentuk wajah dengan tubuh seperti manusia. Berdiri sejajar dengan Fauzan. Rambutnya hitam kemerahan, warna kulitnya putih kemerahan. Matanya hitam pekat menatap Fauzan. Ia tersenyum lebar, menimbulkan lesung pipit di sisi kanan pipinya.

Fauzan menatap sosok itu. Ia seolah sedang bercermin. Hanya saja sosok itu tak diborgol seperti dirinya.

"Aku sudah bilang, bahwa aku adalah dirimu!" ucapnya sambil menunjukan jari telunjuknya ke arah Fauzan.

Fauzan masih bergeming. Sedetik kemudian ia tersenyum mengejek. "Tak mungkin!" gumamnya sambil memalingkan wajah. "Apa yang kau tawarkan itu?" tanya Fauzan dengan nada pelan.

"Mencari anak kunci di tumpukan jerami."

"Hahaha! Konyol!" umpat Fauzan. Lalu ia tertawa tanpa henti.

"Ayolah. Bukannya kamu kangen pada sosok ibumu?"

Fauzan menoleh ke arah sosok itu. "Bercandamu tidak seru."

"Baiklah. Nikmati masa-masa terakhirmu sebelum hukuman mati di mulai." Sosok itu perlahan memudar. Luruh seperti kertas puzzle yang berhamburan. Senyumnya masih terlukis.

Fauzan menghela napas. "Baiklah, aku mau dengan tawaranmu itu," gumam Fauzan.

Sosok itu tersenyum lebar. Lalu lenyap menjadi tumpukan kertas puzzle dan berserakan di lantai yang dingin. Kertas itu memudar, menimbulkan semburat cahaya yang menyilaukan.

Fauzan berusaha menutupi pandangannya dari cahaya yang menyilaukan itu. Namun, tanpa ia sadari, tubuhnya limbung dan jatuh ke lantai. Matanya terpejam dengan tubuh tengkurap.

"Apa yang kau sesali? Sejauh mana penyesalan itu sehingga memaafkan begitu sulit? Ayo kita kembali, kembali mengingat di mana kejadian itu dimulai. Akar dari sebuah kekecewaan. Kau akan merasakan sakit yang bertubi-tubi, tapi nikmatilah! Hal ini tak akan terulang dua kali. Jika kamu sudah menemukan kunci itu, cari tahu namaku, dan kamu akan tersadar kembali. Dan bila kamu tidak berhasil mengetahui namaku, kamu akan mati. Satu hal yang perlu kamu ingat baik-baik. 'Jangan mengulangi kesalahan yang sama'. Mulai sekarang, ingatanmu kuhapus semua!" Suara itu menggema kembali, lalu bernyanyi. Membuat kesadaran Fauzan perlahan menghilang.

Nina bobo ooo nina bobo.

Bobolah yang nyenyak, sampai sakitmu hilang ….

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Penulis P

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku