Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Modus Tuan Muda

Modus Tuan Muda

Penulis P

5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
20
Bab

warning! Zona 21+, anak kecil jangan mendekat! "Dia bukan Tuan Muda, melainkan Bayi Besar yang manja dan menyusahkan!" Mona Latea, harus menggantikan Kakaknya, karena ELisa tidak menyetujui untuk dijodohkan. Bekerja tanpa digaji? nasib sial itu harus ia terima.

Bab 1 Menggantikan Kakak

Pria berkumis jambang itu terlihat sangat was-was, ia berjalan mondar mandir di depan kursi di ruang tamu. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding yang menempel tak jauh di depannya.

"Ada apa sih, Pak?" tanya seorang wanita yang berdandan modis itu dan membawa majalah. Lalu ia duduk di salah satu sofa di ruang tamu.

"Pak Darwin, nagih lagi."

"Hutang kita pada dia berapa sih sebenarnya, Pak?" tanya wanita itu. Ia mengurungkan niatnya untuk membuka majalah di tangannya.

Pria itu menoleh ke arah istrinya. Lalu ia duduk di kursi yang bersebrangan. "Banyak, modal untuk membuka resort di distrik dua itu tidak cukup dengan serratus pound."

"Lalu bagaimana? Bukannya kita sudah menyicil?"

"Dia minta pelunasan saja, tapi ...."

"Bagus itu, Pak."

"Masalahnya, Pak Darwin ingin kita menjadi besan."

"Apa? Jadi?"

"Iya, Elisa harus menikah dengan Jian. Aku sedang menunggu anak itu pulang dari kampus."

Wanita itu menghela napas kasar. Ia tahu anak pertamanya sangat sulit untuk diajak bicara. "Kenapa Elisa?" tanya Rina pada suaminya.

Johan mengusap wajahnya dengan kasar. "Anaknya yang memilih."

"Tapi, Pak. Anak kita yang satu itu agak ... keras kepala."

"Itu dia masalahnya."

"Apa tidak bisa diganti dengan Mona?"

Johan menoleh ke arah istrinya. Rina menatap meminta kepastian. "Tidak bisa, Jian juga merupakan anak yang sama keras kepalanya."

Pintu rumah dibuka seorang, keduanya menoleh serentak ke arah pintu. Dari balik pintu, gadis cantik dengan rambut ikal panjang sepinggang itu muncul. Ia adalah Elisa, bidadari yang mereka miliki.

"Tumben Pak, ada di rumah?" Elisa menatap kedua orang tuanya yang menatapnya balik. Merasa canggung, Elisa berjalan menuju tangga.

"Elisa tunggu sebentar, bergabunglah ke sini. Bentar aja." Johan memohon pada anak pertamanya itu.

Elisa menoleh, ia pun berjalan menghampiri kembali kedua orang tuanya. Lalu duduk di samping ibunya.

"Begini ...." Johan menarik napas panjang. Elisa menatapnya penuh harap sekaligus cemas. Sementara Rina menunduk karena bingung.

"Kamu tahu kan, Papa masih punya hutang pada Pak Darwin."

"Ya?" Elisa menatap serius pada Ayahnya.

"Er .... Beliau meminta kamu untuk menjadi menantunya ...."

"Apa?" Elisa begitu terkejut. "Nggak, aku nggak mau. Bilang aja kalau pernikahan ini adalah modus bayar hutang, kan?" tanya Elisa. Lalu ia berdiri. "Aku nggak bisa, aku punya orang yang aku sukai. Papa, aku nggak mau diatur soal jodoh." Elisa beranjak pergi dari hadapan kedua orang tuanya.

Johan dan Rina menghela napas berat. "Kan, Pak. Gimana, dong?" tanya Rina pada suaminya.

"Akan kutanyakan dulu pada Pak Darwin." Johan meraih kembali ponsel yang sudah ia simpan di saku celana. Lalu mencari kontak nama teman lamanya itu. Setelah menemukannya di panggilan masuk, Johan menelpon balik temannya itu.

Sementara itu, di universitas Y. seorang gadis berambut bob berjalan keluar dari kelasnnya. Ia mengenakan pakaian formal karena hari ini merupakan ujian tes masuk. Lalu, seorang gadis sebayanya berlari menghampirinya.

"Bagaimana soal ujiannya?"

"Sedikit agak sulit."

"Mona, apa kamu akan langsung pulang?" tanya gadis itu pada temannya.

"Tentu saja, aku harus cepat pulang karena hari ini aku harus ke toko peminjaman buku. Katanya komik terbaru dari Author Summer Breez sudah rilis." Gadis itu terlihat semringah. Sesampainya di halte bus, keduanya berpisah karena arah rumah mereka berbeda.

Mona Latea, gadis manis pecinta komik romance, menyukai musik calm. Anak kedua dari keluarga Johan dan Rina. Bagaimana nasibnya saat ini yang menjadi harapan terakhir orang tuanya. Apakah ia bisa menolak atau tetap menjadi orang yang susah menolak permintaan orang tuanya?

Setelah bus yang akan membawanya pulang, Mona naik ke dalam bus, ia duduk di kursi kedua barisan kanan. Lalu, memasang earphone untuk mendengarkan music dan menatap fokus ponselnya sambil membaca komik online. Hatinya tidak tenang saat ini, menanti pengumuman kelulusannya yang akan keluar seminggu lagi.

"Semoga lolos," gumamnya sambil memejamkan mata.

Setengah jam perjalanan, bus yang membawa Mona telah tiba di halte dekat perumahannya. Lalu, ia turun dan segera membayar ongkos menggunakan Card bis. Mona berjalan cepat menyurusi gang besar menuju rumahnya. Dari jalan raya menuju rumahnya, hanya terhalang tiga rumah. Sesampainya di depan rumah, Mona segera membuka pintu pagar yang menjulang tinggi.

Mona berjalan cepat menuju pintu utama. Saat ia membuka pintu, Ia mendapati kedua orang tua dan kakaknya duduk di ruang tamu seolah sedang menanti kedatangannya.

Mona menatap keheranan ketiga orang yang kini menatap ke arahnya juga. "Aku ... pulang ...." Mona kebingungan, suasana begitu hening dan canggung. Mona pun memilih untuk segera menuju kamarnya yang ada di lantai dua.

Johan berdehem saat Mona pergi. "Mona, bisa kemari sebentar?" tanya Johan pada anak bungsunya.

Mona yang sudah berjalan menuju tangga itu seketika menoleh. Ia memutar langkah lalu duduk di dekat kakaknya. Ia menatap ibu dan kakaknya keheranan, lalu menatap ke arah ayahnya yang terlihat ragu untuk membuka pembicaraan.

"Mona, maafkan Papa dan Momii, ya!" ucap Johan. Lalu, pria itu menghela napas panjang. Ia tahu, anak bungsunya ini tidak akan menolak permintaannya. Bedanya, permintaannya kali ini bukan soal pernikahan.

"Kok minta maaf, ada apa sih, Pa, Mii?" Mona menoleh ke arah Ayah dan ibunya bergantian.

Elisa berdehem. "Gini Mona, Kakak belum siap menikah, jadi ... kamu yang menggantikan kakak." Elisa berkata ragu.

"Hah. Aku ... gantiin Kak Elis? Serius?" Mona menatap penuh pertanyaan ke arah ayah dan ibunya bergantian. "Kok Mona, sih. Aku kan masih kecil. Sama siapa pula? Jangan bilang sama om-om. Aku nggak mau!"

"Mona, tunggu dulu!" Rina kini angkat bicara. "Kamu gantiin kakak kamu bukan untuk menikah, tapi, jadi asisten rumah tangga tanpa di bayar."

Johan pun berdehem. "Kamu tahu, kan, Papa punya hutang sama Pak Darwin?" tanya Johan sambil menatap Mona yang masih terkejut. Anak itu mengangguk, sepertinya ia mulai faham arah pembicaraan orang tuanya. "Mereka meminta Kakak kamu untuk dijodohkan dengan anak pertamanya. Tapi, kakak kamu menolak. Jadi, Papa meminta syarat lain sebagai jaminannya."

"Bukannya Papa sudah menyicil hutangnya? Tapi kenapa?" Mona masih kebingungan dengan permintaan Ayahnya.

Johan memejamkan matanya, ia juga kebingungan untuk merangkai kata supaya anak bungsunya sedikit mengerti.

"Gini loh, Mona. Pak Darwin tetap meminta aku untuk menikah dengan anaknya. Tapi aku nggak mau, kamu ngerti, kan? Aku nggak mau dijodohkan. Tapi Pak Darwin memaksa. Terus, Papa mengajukan kamu sebagai jaminan."

"Jaminan?" tanya Mona mengeja kata tersebut. Mona menatap ibu dan kakaknya bergantian. Lalu menatap ke arah Johan. "Pah?" ia meminta penjelasan.

"Aku belum siap, Mon. Aku akan menikah, tapi nanti setelah lulus. Dan kamu jadi jaminannya. Kamu kerja di sana tanpa digaji, faham nggak sih?" Elisa menjelaskan dengan geram. "Aku sedang menunggu Zoey pulang dari Luar Negeri."

"Iya, begitulah." Johan mengusap keningnya karena pusing dengan permintaan Darwin.

"Jadi, aku gantiin kakak sebagai asisten rumah tangganya di rumah Pak Darwin?" tanya Mona pada kakaknya. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban pada adiknya. "Galak nggak sih, Pah?" tanya Mona pada ayahnya.

Johan mendongak, menatap tidak percaya atas pertanyaan anaknya. "Nggak, mereka keluarga baik. Kamu tenang saja."

"Ya sudah. Kapan aku mulai kerja?" tanya Mona dengan serius.

Rina, Elisa dan Johan menatap terkejut ke arahh Mona. Benar, Mona tidak pernah menolak permintaan mereka. Lalu ketiga orang itu menghela napas lega bersamaan. Meski Elisa menggerutu tentang kebodohan Mona, tetapi ia merasa sangat beruntung memiliki seorang adik seperti Mona.

"Besok, kalau kamu mau. Iya, kan, Pa?" tanya Elisa sambil menoleh ke arah ayahnya. Johan mengangguk dan tersenyum.

"Tunggu sebentar, rumah Pak Darwin itu di mana?" tanya Mona. Ia takut jika rumah tempat ia akan bekerja sangat jauh dari rentalan buku langganannya.

"Perumahan 32, nggak jauh dari sini?"

"Serius, Pah?" Mona bertanya dengan wajah antusias. Ketiga orang sama terkejutnya saat melihat reaksi Mona.

"Iya, kenapa Mona?" tanya Rina penasaran.

"Nggak ...." Mona berdiri. Lalu, beranjak pergi meninggalkan mereka yang masih penasaran kenapa Mona begitu antusias sekali.

Mona meniti tangga sambil bersenandung. Ia sangat senang kerena perumahan itu tak jauh dari tempat ia berlangganan meminjam buku.

Elisa pun berdiri, lalu pamit untuk bergegas ke kamarnya. Ia menatap adiknya yang berjalan tak jauh darinya. Sampai Mona memasuki kamar pun, Elisa menatap penuh tanya. "Dia itu kenapa sih? Argh. Punya adik, kok, absurd banget!" Elisa menggerutu lalu memasuki kamarnya juga.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Penulis P

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku