Mariotha memiliki toko bunga kecil untuk dia urusi setiap harinya. Begitupun dengan bisnis kecil lainnya yang selalu terselip dibalik rutinitas membosankan. Dan kebosanannya berubah menjadi kegembiraan dalam sebuah permainan. Saat beberapa orang berpakaian rapi mengunjungi toko bunganya, membeli dengan harga termahal, dan memintanya untuk mengirimkan ke tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh para Elit. Sederhana bagi Mariotha. Namun, semuanya berubah dalam satu malam yang panjang. Permainannya tidak menjadi sederhana lagi, semua orang terlibat dan menjadi begitu rumit. Bahkan kematian seolah menjauhinya, meninggalkan siksaan yang tidak berkesudahan. Akankah mariotha terlepas dari permainan terkutuknya ataukah malah jatuh semakin menyakitkan.
Mariotha sedang mempersiapkan tokonya sebelum dibuka untuk umum. Wadah-wadah kayu yang berjejer di kanan dan kiri pintu masuk, ditata dengan berbagai jenis bunga dari berbagai macam warna. Bibir tipisnya bergumam, menyanyikan sebuah lagu yang biasa dia dengar di radio akhir-akhir ini.
Bunga terakhir di tangan Mariotha adalah bunga daisy putih. Gadis itu sedikit bimbang untuk meletakkan bunga tersebut di sisi yang mana. Matanya bergerak-gerak, mencari pasangan yang cocok untuk warna putih. Dan pandangannya berakhir pada bunga tulip merah di kotak kayu sebelah kanan. "Cantik," gumamnya.
Kedua tangan Mariotha bergerak ke permukaan apron hitam yang terikat di pinggang rampingnya, mengusapkan telapak tangannya di sana. Membersihkan sisa basah dari bunga yang dia genggam beberapa saat lalu. "Aku harus menyiapkan bunga untuk Tuan Rodreg." Lonceng yang menggantung di sudut pintu berbunyi, ketika tangan Mariotha mendorong pintu depan tokonya dan membukakan celah untuk bisa dilewati.
Mariotha merupakan satu dari sebagian orang yang mengisi keramaian-Montreal-salah satu kota di Kanada. Namun, tokonya tidak sebesar yang lain. Hanya bangunan kecil yang terimpit di antara dua restoran mahal. Setidaknya cukup menguntungkan, ketika pelanggan restoran akan sesekali melirik pajangan bunga di depan tokonya. Dan berakhir menjadi pengunjung untuk toko bunganya. Hanya sesekali dia mendapatkan keberuntungan tersebut.
Mariotha meraih tiga tangkai bunga krisan merah, lima tangkai bunga garbera, dan beberapa tangkai barbados yang dia rencanakan akan diletakkan di bagian pinggir. Mariotha juga mengambil beberapa tangkai daun fern. Semua itu dia tata untuk menjadi satu buket indah. Garbera berwarna-warni, Mariotha letakkan sedikit lebih tinggi dari krisan di tengah, kemudian menghiasi sekelilingnya dengan kecantikan barbados yang selayaknya bunga matahari berukuran kecil. Tidak lupa, Mariotha menyelipkan daun pilihannya, dan selanjutnya membungkus rangkaian tersebut dengan kertas berwarna cokelat tua.
Buket tersebut bukanlah digunakan Tuan Rodreg untuk melamar seseorang. Tuan Rodreg merupakan pria tua yang telah menikah, tapi kejadian tragis harus membuat Tuan Rodreg kehilangan istrinya dalam kedamaian. Sehingga membesarkan putri satu-satunya sendirian adalah pilihan yang tidak bisa lelaki tersebut hindari. Setidaknya, dia adalah Ayah yang bertanggung jawab.
Sekali lagi, Mariotha mengamati rangkaian bunga buatannya, gadis tersebut tidak ingin ada celah kekeliruan yang dapat merusak rangkaian bunga untuk pelanggan istimewanya kali ini. Tuan Rodreg tidak membeli bunga darinya untuk cuma-cuma, seperti orang-orang yang senang menghiasi vas yang biasa diletakkan di atas meja atau didekat jendela. Setelah dirasa semuanya sudah sesuai, Mariotha kemudian bergegas melepas apron hitam dan menggantinya dengan jaket jeans yang tergeletak di atas meja. Tidak lupa langkah kakinya bergerak kebalik meja, meraih tas kecil, dan menyilangkannya di pundak. Memastikan, jika bobot tasnya sudah terasa lebih berat dari sebelumnya.
Mariotha kembali bergerak, kali ini menuju sepeda putih yang dia letakkan di salah satu sisi dinding. Mariotha merasa jauh lebih aman meletakkan benda tersebut di dalam toko, menghindari dari para pencuri kecil yang senang bersembunyi di gang-gang sempit. Buket bunga tersebut diletakkan ke dalam keranjang yang menempel di tangkai depan, selanjutnya menuntun sepeda tersebut menuju pintu utama tokonya.
Mata cokelat Mariotha melirik jam di pergelangan tangannya, dia tidak terlambat untuk mengantar pesanan Tuan Rodreg. Namun, dia akan sedikit terlambat untuk membuka tokonya sesuai dengan jam buka yang biasa dia terapkan.
Lonceng di pintu kembali berbunyi, menghadirkan celah cukup lebar, dan meloloskan Mariotha juga sepeda di sisi kanannya ke luar dari dalam toko. Satu tangannya bergerak ke saku jaket, meraih kunci dan memasukkannya ke lubang di dekat gagang pintu. Mariotha melakukannya dengan cepat, menarik kunci tersebut dengan tergesa-gesa dan meletakkan ke dalam tas. Mengingat waktu selalu bergerak lebih cepat darinya.
Sepedanya telah menghadap ke depan dan tubuh Mariotha beralih ke sisi kiri sepeda, bersiap untuk menaikinya. Sebelum pergerakan gadis tersebut kembali terhenti ketika ponsel yang berada di dalam tas yang tersampir hingga ke depan perutnya bergetar. Satu tangan beralih dari pegangan sepeda untuk kembali membuka tas kecil tersebut dan mengambil ponsel yang terlihat sudah sedikit usang, karena perkembangan merek yang terlalu pesat. Dan keengganan dirinya untuk mengikuti jaman. Mariotha bukanlah gadis merepotkan seperti sebagian besar di luar sana. Dia tidak membutuhkan sesuatu yang mahal.
Mata cokelat Mariotha menatap layar, menangkap nama Tony yang merupakan pengantar bunganya, kini muncul di sana. "Aku akan terlambat tiga puluh menit." Mariotha segera mematikan sambungan tersebut tanpa membiarkan seseorang di sebrang sana menimpali panggilan mereka. Ponsel tersebut kembali dia masukkan dan sepedanya kini telah dia naiki, dan melaju cukup kencang.
Pedestrian masih tampak lenggang, memberikan kemudahan bagi Mariotha untuk mengendalikan laju sepedanya. Orang-orang tidak akan berjalan di pedestrian sepagi ini, tapi Mariotha adalah pekerja kecil yang merasa waktunya tidak akan pernah cukup jika tidak memulainya lebih awal. Begitupun dengan orang-orang yang bekerja bersama dengan dirinya. Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, bagi mereka yang bisa menggunakannya dengan bijak.
Roda pada sepeda berputar dengan kecepatan konstan dan Mariotha tidak lagi menggerakkan pedal sepedanya dengan kencang. Dia butuh lima belas menit untuk menemui Tuan Rodreg dan lima belas menit lagi untuk kembali ke toko. Jika, perjalanan kembali tidak diganggu oleh para pejalan kaki yang sebentar lagi akan memasuki jam kantor. Dan Mariotha begitu yakin semuanya akan berlangsung dengan baik hari ini, jika keberuntungan memihaknya sekali saja.
Persimpangan besar telah menanti Mariotha di depan sana. Terletak di ujung restoran Itali berlantai tiga. Sepedanya sudah semakin dekat dan Mariotha mulai mengayuh pedalnya lebih lambat dan bersiap-siap untuk belokan pertamanya. Pegangan sepeda tersebut dia putar hampir sembilan puluh derajat ke kanan, dengan sedikit tarikan rem di kedua tangannya, dan belokan tersebut dia lalui dengan mulus. Selanjutnya, gerakkan kaki di atas pedal tersebut kembali mengayuh dengan cepat.
"Hai, Mari. Pagimu terlihat sangat bersemangat." Teriakkan dari depan sana mengangkat pandangan Mariotha, menangkap sosok laki-laki jangkung dengan seragam abu-abu usang. Billy, merupakan pembersih jalan yang telah mengenal Mariotha sangat lama. Lelaki tersebut melambai ketika melihat sepeda Mariotha bergerak semakin dekat ke arahnya.
"Tentu." Balas Mariotha setengah berteriak, dan kemudian melewati pria dengan peralatan bersih-bersihnya yang rumit.
Suasana pagi selalu menjadi kegemaran Mariotha. Selayaknya saat ini, gadis tersebut membiarkan rambut cokelat tua panjangnya bergerak tertiup angin. Merasa sedikit bebas selama pekerjaan melelahkannya yang melekat selayaknya tali kekang menyesakkan.
Mariotha masih membawa sepedanya menyusuri pedestrian, berbelok ke kanan, dan hal yang dia temukan selanjutnya membuat pengangan Mariotha goyah. Beberapa orang tengah menyusuri pedestrian yang sama, beruntung mereka adalah orang-orang yang sigap dan dengan cepat memberikan jalan bagi dirinya. "Terima kasih." Teriak Mariotha.
Gadis tersebut kemudian melirik sekilas kearah jalan, memastikan bahwa tidak ada kendaraan apa pun yang tengah melintas. Dengan cepat Mariotha membelokkan sedikit sepedanya ke kiri, melewati jalan raya tanpa tanda penyebrangan. Terhitung entah berapa kali gadis tersebut telah melanggar lalu lintas dan sebuah keberuntung ketika tidak ada yang melihat, ataukah mereka tidak membiarkannya untuk tertangkap siapa pun, bahkan dari kamera pengawas.
Mariotha semakin mempercepat putaran pedalnya. Gang kecil di antara toko buku dengan papan nama Blis dan toko mainan anak-anak adalah tujuan berikutnya. Dengan luwes tangannya menggerakkan pegangan sepeda ke kiri dan gang tersebut menelan tubuh Mariotha. Pandangan Mariotha kini hanya terfokus pada gerbang kecil bercat biru di sebelah kiri. Dia mengingat, dibalik pagar rumah tersebut merupakan taman bermain sederhana, dan Mariotha kecil senang mengisi waktu liburan akhir pekannya dulu dengan berkunjung ke rumah Tuan Rodreg.
Namun, tempat itu sudah banyak berubah saat ini. Tidak ada lagi taman bermain dan tidak ada lagi keramaian di balik rumah tersebut. Mariotha berhenti tepat di samping pintu pagar dan menyenderkan sepedanya di sana. Tangannya kemudian meraih buket bunga, mengecek sekali lagi jika tatanannya masih sama seperti pertama kali dia rangkai. "Masih segar."
Kakinya melangkah mendekati gerbang kecil sebatas lehernya, mengulurkan tangan melewati pagar tersebut dengan susah payah. Hingga jemarinya meraih kuncian besi di dekat ujung atas pagar. Mengetukkan dua logam tersebut dengan keras, memanggil-manggil pemilik rumah dengan suara nyaring tumbukan besi tersebut. "Tuan Rodreg!" Mariotha berteriak bersamaan dengan ketukan besi di pagar.
Pintu depan rumah tersebut kemudian terbuka beberapa saat, menampilkan pria tua berjanggut dengan topi baret berwarna merah dan garis hitam yang membentuk pola kotak-kotak kecil di sekeliling topi. "Oh, Mari." Tuan Rodreg menyapa dengan aksen Meksikonya yang kental. Kakinya berlari kecil menuju gerbang depan, sambil menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana dan meraih ikatan kunci yang terdiri dari berbagai ukuran serta bentuk, menggantung dalam satu lingkaran besi berukuran sedang.
Dengan cekatan tangan Tuan Rodreg membuka jalinan kunci yang terhitung ada tiga jenis gembok berbeda ukuran di sana. "Itu berlebihan, Tuan." Mariotha melirik sebentar kearah rentetan gembok dari balik tempatnya berdiri. Sebelum kembali menatap kearah Tuan Rodreg dan kemudian mendengus. "Kau tahu, rumah biasa juga bisa dicuri." Tuan Rodreg mencubit gemas ujung hidung Mariotha, setelah pintu gerbang berhasil terbuka dan dirinya kini berdiri di depan gadis tersebut. Membuat Mariotha terkikik pelan, diikuti dengan tangan yang mengulurkan buket bunga.
"Ini pesananmu, kuharap Lisle menyukainya." Tuan Rodreg berbinar saat melihat rangkaian bunga tersebut. "Oh, kau tahu jika Lisle menyukai bunga matahari."
Mariotha memutar matanya sebelum berbicara kembali. "Aku tahu, tapi itu bukan bunga matahari." Mariotha menunjuk bunga barbados dengan dagunya, "Aku mencari yang sedikit sama karena bunga matahari baru bisa dibawakan Tony lusa."
"Tidak masalah, manis. Setidaknya ini sama-sama kuning." Tawa meloncat tanpa kendali dari bibir Mariotha. Tuan Rodreg adalah seseorang yang sangat lucu dan menyenangkan, tidak salah jika dia selalu bisa mencairkan suasana di antara pertemuan keluarga mereka.
"Aku belum membelikan hadiah untuk Lisle, bisakah aku mengajaknya makan besok?" Senyuman di wajah gempal Tuan Rodreg sedikit memudar. Pandangan Tuan Rodreg mengamati Mariotha dengan seksama. Dirinya sudah mengenal Mariotha sejak gadis tersebut baru dilahirkan dan Mariotha adalah sosok yang paling baik, juga paling manis yang pernah dia temui. Mengingat bagaimana keluarga mereka terbentuk.
"Tentu, aku percayakan dia padamu." Jawab Tuan Rodreg dengan sudut bibir yang tertarik hingga ke pipi mengembungnya dan mendesak mata kecil tersebut semakin meruncing lurus. Mariotha membalas senyumnya dan mengangguk. "Aku akan menjaganya."
Perhatian Mariotha teralih, ketika kembali merasakan getaran di ponselnya, siapa lagi kalau bukan dari Tony. Mariotha sangat yakin jika laki-laki itu pasti sudah sampai di depan toko miliknya dan saat ini tengah menunggu dirinya dengan wajah jengkel. Dengan cepat Mariotha membuka tas kecilnya, mengabaikan panggilan tersebut dan meraih kotak kecil berlapis kertas penuh corak bunga. Ukurannya sekitar sepuluh sentimeter dengan lebar lima sentimeter. "Ini, cokelat dari Ayah."
Tuan Rodreg mengambilnya dengan gembira. "Ayah bilang itu gratis untukmu." Senyum Tuan Rodreg semakin melebar. Tangannya kemudian terentang dan membawa Mariotha ke dalam pelukannya. Gadis tersebut terlihat amat kecil jika bersanding dengan tubuh tambun Tuan Rodreg.
"Aku harus segera pergi, Tony bisa marah-marah." Mariotha tertawa geli, mengurai pelukan mereka, dan setelahnya bergerak menuju tempat sepedanya disandarkan. Tangannya meraih pegangan sepeda dan kemudian memutarnya kearah dia datang beberapa saat lalu, sebelum menaikinya.
"Sampai bertemu lagi." Mariotha melambaikan tangan, sambil melajukan sepedanya meninggalkan kawasan rumah Tuan Rodreg. Gadis tersebut harus segera kembali ke toko, Tony amat senang mengadu kepada Ayahnya jika pekerjaan lelaki itu tersendat karena Mariotha yang bergerak terlalu lambat.
Sepedanya telah melaju ke luar dari gang kecil tersebut dan kembali berada di jalanan besar, melewati pertokoan yang sama, serta seperti yang gadis itu perkirakan. Pedestrian sudah cukup ramai dengan kendaraan yang juga sudah banyak berlalu lalang di jalanan. Dengan cepat Mariotha mengayuh pedalnya, membunyikan bel sepeda secara terus menerus untuk mendapatkan akses jalan dari para pejalan kaki. Lewat sudut matanya, Mariotha menangkap sosok Billy yang sudah bergerak ke arah sebrang jalan.
Mariotha kemudian berbelok ke kiri melewati Restoran Itali dan melajukan sepedanya menuju toko bunga miliknya di depan sana. Dari kejauhan, truk kecil dengan berbagai tanaman di bagian belakangnya sudah terparkir di depan toko miliknya. Serta sesosok laki-laki di dekat kotak kayu yang dia kenali sedang memperhatikan kedatangan Mariotha dengan wajah bosan.
"Tony!" Teriak Mariotha girang saat sepedanya sudah berhenti sejauh dua langkah dari lelaki tersebut. Mariotha sangat pintar berpura-pura, hanya untuk menghindari kemarahan Tony. "Oh, bungaku sudah diturunkan," pekiknya girang.
Tangan kecilnya kemudian meraih kunci dari dalam tas. "Pegang sepedaku!" perintahnya. Tony mendengus sebal, jika bukan karena ada kamera pengintai dan orang ramai dia pasti sudah menekan kepala gadis tersebut dengan kesal. Hanya berani dengan sentuhan sedikit keras.
Suara lonceng terdengar saat Mariotha mendorong pintu tokonya. Tony mengekor di belakang Mariotha dengan menenteng sepeda di tangan kanannya. Tony bergerak ke sisi yang lebih kosong, menyandarkan sepeda tersebut dan kemudian berjalan kearah Mariotha yang telah berdiri di belakang meja. Gadis tersebut sedang mengecek ponselnya, mencari-cari pesan yang Ayahnya kirimkan semalam.
Setelah menemukan dan membaca isi pesan tersebut, Mariotha kemudian menunduk dan mengambil tas kain di bawah meja. "Kenapa harus berwarna merah muda dan sangat feminim?"
Mariotha mengamati tas di depannya, dia bahkan bersusah payah memilih antara tas bercorak bunga ini atau yang bergambar kartun Disney kesukaannya. Namun, lelaki tersebut malah protes dengan hasil karyanya. "Pesanan ini untuk seorang wanita dan cokelat itu akan semakin manis dengan nuansa bunga." Mariotha melipat tangannya di depan.
Tony menghela dan meraih tas tersebut. "Dia bukan wanita sepertimu." Perkataan Tony bersamaan dengan terdengarnya suara bising sirine dari mobil polisi di luar sana. Mariotha melirik suasana di luar, mengamati keadaan di balik jendela besar di sisi kirinya. "Mereka bekerja sepagi ini," gumamnya.
Tony mendengus geli, meraih tas kain tersebut dan berlalu. "Mereka tidak selambat dirimu." Ucap lelaki tersebut saat berbalik dan berjalan menuju pintu depan. Lonceng terdengar dan Tony sudah berada di dekat truk miliknya.
Mariotha mengerucutkan bibir, kemudian mengumpat pelan. "Kuharap kau ditolak semua wanita."