Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Sang Majikan
Awas! Jebakan konten-konten dewasa.
Keringat dingin seketika membanjiri tubuh Alexa saat membaca hasil tes laboratorium yang kini nyaris terlepas dari genggamannya. Di antara semua kebetulan dalam hidupnya, bagaimana bisa seorang pria dari masa lalunya dengan mudahnya datang lalu mencoba kembali masuk untuk menjadi bagian hidup sekaligus masa depannya? Padahal selama ini ia sudah mati-matian menghindar dari pria ini sekuat tenaga, mencoba menata kembali kehidupannya setelah air matanya kering tak bersisa. Jika sudah begini maka tak ada lagi jalan lain untuk mengelak, apalagi menolak keberadaan pria di depannya. Tatapan netra hitam selegam jelaga itu masih tetap sama, terus saja tertuju hanya padanya. Lexa bahkan nyaris tak bisa bebas bergerak sebab ditatap dengan cara yang tak pernah ia dapatkan dari pria mana pun selain darinya, dia yang dulu sempat menjadi mimpi indah serta harapan dari seorang gadis polos bernama Alexandria Serenata Atmadya.
“Udah jelas ini bukan cuma kebetulan dan dugaanku aja, ‘kan? Kalau gitu, sekarang kita jalan,” ajak pria itu sambil menggenggam tangan Lexa dengan sedikit remasan lalu masuk ke mobil coupe warna abu-abu metalik keluaran terbaru dari brand elite ternama.
“Eh, eh. Mau ke mana? Nyulik orang sembarangan!” Alexa panik. Logikanya yang sempat tumpul, kini harus mau diajak bekerja cepat. Bagaimana mungkin pria di sampingnya bisa memikirkan cara selicik ini sampai ia tak dapat menghindar lagi?
“Tadi emang rencananya aku mau ngelamar kamu. Maksudku kita bisa tunangan dulu sambil aku cari cara buat dapetin hati dan kepercayaanmu lagi, tapi mendingan aku nikahin kamu sekarang juga biar gak pakai lama,”—ia tertawa lebar saat melihat ekspresi terkejut Lexa—“kagetnya biasa aja dong, Sayang. Berhubung semua bukti udah cukup meyakinkan kalau kalian adalah milikku, berarti gak ada salahnya kalau aku bikin dunia tahu siapa sebenarnya wanitaku satu-satunya.”
“Tunggu, tunggu. Gak gini juga konsepnya! Lagian mana bisa seenak jidat aja ngajak nikah anak orang tanpa persiapan? Apa lagi maunya sekarang juga?! Kamu makin gak waras kayaknya!”
“Kamu lupa siapa aku? Bentar lagi aku ingetin semua hal yang sepertinya udah sengaja kamu buang dari ingatanmu setelah kita sah jadi suami istri. Aku jadi penasaran, apa ingatanmu soal senja waktu itu juga ikutan ngilang? Kalau iya, aku gak sabar buat ngulang sekali lagi atau sekalian aja kita ulangin berkali-kali setiap hari, gimana?”
Saat ini rasanya Alexa sangat ingin berteriak dan berkata tidak. Namun, tunggu dulu! Jika ia menyia-nyiakan kesempatan ini, lalu bagaimana nasib bocah cantik yang sedang menunggunya untuk daftar sekolah bulan depan? Astagaaaa! Takdir macam apa lagi ini, Tuhan?
✧✧✧
Suara pintu kamar mandi yang baru terbuka membuat Lexa refleks memalingkan wajah ketika sedang asyik menyisir rambutnya, tapi pemandangan di depan matanya malah membuat Lexa menjadi gerah dan mulai salah tingkah. Ia harus segera pergi sebelum berakhir menjadi bergairah.
Dia mendadak bangkit dari duduknya. Baru satu langkah, tapi sebuah suara bariton masuk dengan sopan ke indra pendengarannya, “Mau ke mana, Sayang?” cegah seorang pria sambil berjalan keluar dari kamar mandi. Dia hanya menggunakan selembar handuk yang melilit pinggangnya, tangan kanannya tampak sibuk mengeringkan rambut hitam ikalnya menggunakan handuk kecil.
‘Haduh, kalau tebar pesona biasa aja dong, Bang. Aku ‘kan bisa mimisan kalau disuguhi pemandangan surgawi macam ini. Mana udah lama gak lihat yang seger-seger bikin halu secara live. Harusnya tadi langsung tidur aja, gak usah pakai acara segala skincare-an ditambah sisiran,’ teriak batin Lexa. Jiwanya sudah kebat-kebit sampai rasanya serba salah mau mengarahkan pandangan ke arah mana. Apalagi sekarang pemilik wajah teradonis menurut Lexa itu malah sengaja berdiri di belakangnya. Kan semuanya jadi kelihatan makin jelas dari pantulan kaca di depan Lexa.
“Kok gak jawab? Kamu gak enak badan, Sayang? Tenggorokanmu gak nyaman? Coba sini, aku cek.”
‘Apa katanya? Mau cek? Kalau cuma cek yang atas, nanti bagian lainnya bisa protes minta ikutan dicek dong. Waduh! Sungguh kalimat yang berbahaya.’