Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mantan Jadi Bos

Mantan Jadi Bos

Aufa21

5.0
Komentar
18.3K
Penayangan
84
Bab

Karena tidak mau menjadi istri keempat dari direktur tempatnya bekerja, Alula harus menerima bahwa dirinya dipecat dari perusahaan itu. Parahnya lagi, dia dipecat tanpa mendapatkan pesangon. Alula sangat kesal karena dipecat dengan cara tidak terhormat. Padahal Alula harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya setelah ayahnya meninggal. Meski ibunya membuka warung kecil di kampung, ia tetap merasa bertanggung jawab untuk membantu perekonomian keluarga, apalagi saudara kembarnya masih duduk di bangku SMA. Atas rekomendasi teman Alula, ia pun kembali mendapatkan pekerjaan. Sayangnya, CEO/bos di tempat Alula bekerja adalah mantan pacar Alula. Dulu Alula memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas. Menjadi CEO/bos dari Alula tentu saja merupakan kesempatan emas bagi mantan pacar Alula untuk membalas dendam atas lukanya. Alula yang awalnya sudah melupakan sang mantan, lambat laun mulai merasakan kembali benih-benih cinta yang dulu pernah ada, meskipun sang mantan sering membuatnya kesal, dan sakit hati. Akankah Alula siap menerima balas dendam dari mantannya?

Bab 1 Part 1

"Alula Maheswari. Dengan sangat berat hati, kamu saya pecat."

"Apa, Pak? Kenapa tiba-tiba saya dipecat, Pak? Memangnya saya salah apa?" tanyaku beruntun. Kaget sudah pasti. Bagaimana tidak kaget coba, tiba-tiba saja aku mendengar pernyataan yang sangat menakutkan bagi para karyawan rendahan sepertiku. Padahal seingatku, aku tidak melakukan sebuah kesalahan.

Jantungku sudah berdegup cukup kencang. Harapanku ini semua hanya prank.

Tapi, prank untuk apa? Ini bukan bulan April, jadi sudah jelas bukan April mop. Kalau diingat-ingat, ini juga bukan hari ulang tahunku.

Lalu ini semua maksudnya apa?

Laki-laki paruh baya yang tengah duduk di hadapanku itu menghela napasnya berat. Dia tak kunjung juga menjawab pertanyaan dariku. Hanya menatapku penuh iba.

Sebenarnya aku benci ditatap seperti ini, seolah-olah aku adalah orang yang perlu dikasihani, padahal kan aku hanya butuh jawaban.

"Pak, ini pasti cuma prank, kan?" Aku memastikan. "Aduuh ... ternyata Bapak bisa bercanda juga ya. Hahaha ...."

Aku masih bisa tertawa meski mungkin terlihat palsu, dan orang di depanku ini masih memasang wajah seperti tadi.

Lagi-lagi atasanku yang bernama pak Bambang itu menghela napasnya. Lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi goyang nan empuk yang tengah ia duduki, sembari menatapku yang masih sedikit tertawa.

"Alula, ini bukan sebuah lelucon, apalagi prank seperti yang kamu bilang tadi," ucap pak Bambang.

Perasaanku yang tadinya sudah mulai sedikit tenang, tiba-tiba kembali merasa terancam.

"Maksud Bapak, saya beneran dipecat, Pak?" tanyaku hati-hati.

Pak Bambang mengangguk, kemudian menyodorkan sebuah amplop berwarna kecoklatan. Kalau aku tebak sih, itu pasti uang pesangon.

Berapa ya, pesangonku?

Sepuluh juta?

Duapuluh juta?

Atau bahkan seratus juta?

Ih, apaan sih, posisi sedang terancam seperti ini malah sempat-sempatnya mikirin duit. Dasar Aku!

"Apa ini, Pak?" tanyaku setelah amplop berwarna kecoklatan itu kuterima. Meski berharap isinya uang, tapi tetap saja aku harus pura-pura tidak tahu.

"Itu surat pemecatan kamu, Alula. Maaf, saya tidak bisa memberi pesangon untuk kamu, sebab perusahaan melarangnya."

Apa?!

Jadi aku serius dipecat, dan tanpa pesangon?

Benar-benar tragis nasibku sekarang. Atasanku ini juga seperti tak berbelas kasihan.

Untuk memastikan perkataan pak Bambang, aku pun membuka amplop itu, lalu membacanya.

Dan benar saja, aku dipecat dari perusahaan ini. Padahal tiga tahun yang lalu aku harus bersusah payah berusaha agar bisa diterima bekerja di sini, dengan mengalahkan banyak pesaing yang juga ingin mendapatkan pekerjaan.

Lalu tiba-tiba saja dipecat?

"Tapi alasannya apa, Pak? Seingat saya, saya tidak pernah melakukan kesalahan fatal."

"Ya, benar, Alula. Kamu memang tidak pernah melakukan kesalahan apa pun pada perusahaan. Tapi kesalahanmu pada pak Susilo, selaku direktur di perusahaan ini," jelas pak Bambang.

Oke, kalau kesalahanku pada si tua bangka seperti yang dikatakan sama pak Bambang tadi memang benar adanya, tapi kenapa harus berimbas pada pekerjaanku sih?

"Tapi itu namanya tidak profesional, Pak. Urusan saya sama pak Susilo itu kan ranah pribadi, bukan masalah pekerjaan, kenapa imbasnya ke karir saya?" Aku mencoba membela diri, kali saja berguna.

"Saya tahu, Alula. Tapi, apa iya saya harus membantah perintah dari pak direktur? Tentu itu mengancam posisi saya Alula."

Huft!

Baiklah, kali ini aku harus mengalah, kembali mendebat juga percuma.

==============================

Keluar dari ruangan pak Bambang, aku berjalan lesu menuju ruangan divisi tempatku bekerja.

Setelah ini aku harus membereskan barang-barang, dan juga berpamitan pada teman-teman seperjuanganku.

"La, ada apa? Kok lemes gitu sih, keluar dari ruangannya pak Bambang. Habis diomelin ya?" tanya Arin, begitu melihatku masuk ke ruang divisi ini.

Suara Arin yang cukup keras tadi, tentu saja membuatku jadi pusat perhatian. Pasalnya, semua orang yang ada di ruangan ini otomatis melihat ke arahku. Pasti mereka kepo dengan jawaban yang akan aku utarakan.

"Gue dipecat," ucapku sambil berjalan menuju meja kerja tempat di mana biasanya aku mengerjakan tugas demi tugas yang diberikan oleh perusahaan. Ah, tepatnya kini menjadi mantan meja kerja.

Kalau namanya sudah berubah menjadi mantan, berarti wajib dilupakan. Seperti aku yang rajin banget melupakan barisan para mantan. Eh.

"Hah? Serius lo, La? Jangan bercanda deh," celetuk Tedi.

"Iya, La, nggak lucu tau bercanda kek gitu," timpal Gisel.

Dan banyak lagi celetukan-celetukan yang lainnya yang tak aku pedulikan.

Dibandingkan menjawab keingintahuan mereka, aku lebih memilih membereskan barang-barangku.

Melihatku yang tengah beres-beres, teman-teman satu ruangan ini beranjak menghampiri.

"Lo serius, La?" Arin memastikan, dan aku pun mengangguk.

"Aaarggh ... Alula ... gue sedih kalau lo pergi."

"Gue juga sedih, La."

"Apalagi gue, La. Kalau lo pergi, entar siapa dong yang bakalan jadi partner ghibah kita? Huhuhu ...."

Selanjutnya, suasana berubah menjadi sendu, dan penuh linangan air mata. Teman-teman bergantian memelukku sebagai tanda perpisahan.

Tadinya sih, aku tidak mau nangis, tapi karena terbawa suasana, jadinya ikutan nangis deh.

Tak dipungkiri ini cukup membuatku sedih. Selain kehilangan pekerjaan, aku juga harus berpisah dengan teman-teman yang selama ini melewati masa-masa susah senang bersama.

=============================

Keluar dari kantor dengan predikat dipecat secara tidak terhormat, membuat kepalaku sedikit mendidih. Untung saja tidak sampai meledak. Coba deh, kalau benar-benar meledak, pasti akan terlihat mengerikan.

Ah, aku harus mendinginkan pikiran. Sedih boleh, frustasi jangan. Apalagi sampai depresi. Ih, jangan sampai. Bukan Alula namanya jika terus-terusan meratapi nasib.

Mumpung masih jam dua siang, aku memutuskan untuk mampir ke kafe tempat biasa nongkrong bersama teman-teman.

Eits ... meskipun dipecat tanpa pesangon, tapi aku masih mampu kok untuk sekedar duduk santai di kafe sambil minum es kopi, tidak tahu kalau hari-hari berikutnya.

Masa bodohlah sama hari-hari yang akan datang, yang penting sekarang pikiranku harus adem dulu, plus mengembalikan mood yang tadi sempat hancur.

"Mbak, saya pesen es kopi kayak biasa ya," kataku pada salah satu pelayan di kafe ini. Kebetulan dia sudah paham sama aku, jadi nggak perlu lagi ngasih tahu apa yang mau dipesan.

"Baik, Mbak, ditunggu ya," jawab pelayan itu.

Sembari menunggu pesanan datang, aku mengeluarkan ponsel dari tas kecil, lalu mulai memainkannya.

"Alula?" Terdengar suara cewek memanggilku. Kok seperti familiar ya suaranya.

Karena penasaran, aku pun mendongak untuk melihat siapa yang tadi memanggilku.

"Loh, Alena? Lo ngapain jam segini di sini? Nggak kerja lo?" tanyaku begitu mengetahui bahwa yang tadi memanggilku adalah sahabatku semasa kuliah dulu.

Alena mendudukkan dirinya di kursi tepat di hadapanku. "Gue lagi libur, La. Tepatnya sih, gue cuti karena pulang kampung. Nih, gue baru aja balik dari kampung, terus mampir ke sini dulu karena haus. Lo sendiri kenapa jam segini keliaran?"

"Gue baru aja dipecat, Len," jawabku jujur. Ya iyalah, masa mau bohong. Kan dosa. Bukan Alula namanya kalau suka bohong.

"Apa?! Lo dipecat, La? Emang lo ada kesalahan gitu?"

"Kalau kesalahan ke perusahaan sih, gue nggak ada. Tapi, gue punya kesalahan sama direkturnya," jelasku. Mungkin ini saatnya aku jujur tentang kenapa aku sampai dipecat dari perusahaan.

Tadi waktu pamitan sama orang-orang kantor, aku nggak ngasih tahu sama mereka perihal sebab pemecatanku, meski banyak dari mereka yang bertanya. Yang tahu alasannya hanya aku, pak Bambang, dan pak Susilo si direktur tua bangka itu.

"Sama direktur? Salah apa emang, Lo?"

"Kemarin pak direktur ngelamar gue buat jadi istrinya, Len, dan gue tolak mentah-mentah," kataku dengan sedikit menurunkan suara, takut ada yang dengar selain aku, dan Alena.

"Yah, kenapa lo nggak terima aja, La? Enak lho jadi istrinya direktur. Duitnya banyak, La. Auto lo jadi sultan, La." Ish, nih orang yang dipikirin cuma duit doang.

Aku menghembuskan napas kasar sebelum menjelaskan lebih detail lagi.

"Coba kalau lo jadi gue, Len. Emangnya lo mau diperistri sama laki-laki yang seumuran sama kakek lo, dan dijadikan istri keempat? Lo mau, Len?"

"Idiih ... ya nggak mau lah, La." Wajah Alena yang tadinya berbinar, kini berubah menampilkan raut jijik.

"Nah, kayak gitu juga alasan gue, Len. Si direktur itu udah tua, dan gue mau dijadiin istri keempat, ya gue ogahlah! Sejomblo-jomblonya gue, dan semiskin-miskinnya gue, gue nggak akan menggadaikan masa depan hanya demi harta. Hidup cuma sekali kok dibikin nggak enak, kan gue yang rugi," jelasku dengan menggebu.

Untung saja kafe lagi sepi, jadi bisa dipastikan tadi tidak ada yang mendengar penjelasanku.

"Wah, gil* tuh." Alena menggeleng-gelengkan kepalanya. "Keputusan lo itu bener banget, La. Gue juga nggak rela kalau lo dijadiin istri keempat, apalagi sama aki-aki."

"Makanya gue lagi kesel banget nih, Len, dipecat cuma karena ketidak profesionalan si direktur. Mana gue nggak dikasih pesangon lagi," gerutuku.

"Tanpa pesangon? Wah, bener-bener son**ng tuh bos lo. Masa perusahaan besar mecat karyawan dengan seenaknya hanya karena urusan pribadi, dan nggak dikasih pesangon lagi. Kalau gue jadi lo, udah gue maki-maki tuh direktur." Alena terlihat ikut kesal dengan masalahku.

"Tuh tu* ba**ka emang nyebelin banget. Padahal perusahaan itu bukan miliknya, dia cuma jadi direktur doang."

"Kalau gitu, kenapa lo nggak aduin aja sama pemilik perusahaan?"

"Gue nggak tahu siapa pemilik perusahaannya, Len. Nggak pernah liat orangnya juga, padahal udah tiga tahun kerja di sana."

"Ya udah, La, lo sabar aja, siapa tau ini yang terbaik buat hidup lo. Gue pikir-pikir kalau lo tetep kerja di sana juga nggak enak, karena pasti tuh direktur bakalan ngelakuin sesuatu yang lain ke lo."

"Iya juga ya." Aku mengangguk sambil menerawang. Benar juga apa yang dikatakan Alena. Si direktur tua bangka itu nggak bakalan diam saja kalau aku tetap kerja di sana. Bisa jadi dia malah berbuat yang nggak baik ke aku. Kalau gitu, lebih mending dipecat kan?

"Eh, La, tapi lo jangan khawatir, di kantor gue lagi ada lowongan kok, tepatnya di divisi yang sama kayak gue. Ya, meskipun cuma di bagian marketing, nggak kayak jabatan lo di mantan kantor lo. Terus, lo juga tau sendirilah, kalau kantor gue bukan perusahaan besar seperti mantan kantor lo," terang Alena.

Mendengar Alena bilang di kantornya ada lowongan, seketika membuatku seperti mendapat angin segar. Senyum pun terbit dari bibirku.

"Wah, serius lo? Gue mau kok, Len. Nggak masalah kerja di bagian apa aja, yang penting halal plus gue nggak jadi pengangguran," ucapku antusias.

"Ya udah, kalau gitu besok lo dateng aja ke kantor gue bawa surat lamaran. Kalau gue tebak sih, lo bisa langsung diterima, secara pengalaman lo kerja di perusahaan besar itu tiga tahun."

=========================

Selesai nongki bareng Alena, aku pun pulang. Tentu saja sendirian karena Alena tadi dijemput pacarnya. Lagian juga nggak mungkin bareng, karena tempat kost-ku, dan Alena berbeda arah.

Untungnya, kost tempat tinggalku tidak terlalu jauh dari kafe tadi, dan tidak jauh juga dari mantan kantor. Sengaja aku menyewa kost yang dekat sama kantor, biar irit ongkos. Eh, sekarang malah dipecat. Gondok banget sumpah!

Berjalan dengan santai, dan perasaan yang sedikit sudah lebih baik, aku pulang menuju tempat kost.

Sebenarnya sih, pengin sambil nyanyi, tapi karena ini di pinggir jalan raya, maka aku mengurungkan keinginanku itu. Bisa-bisa nanti dianggap orang tidak waras.

Lagi asyik-asyiknya jalan, tiba-tiba saja bajuku basah karena terciprat oleh sebuah mobil yang lewat.

"Kurang aja* tuh mobil," rutukku. "Nih, rasain sepatu gue." Aku pun melepas sepatu, lalu langsung saja aku lemparkan ke arah mobil itu.

Dan ....

Kena kaca belakangnya?

Kok bisa?

Kirain tidak akan mengenai bagian kacanya. Meskipun tidak sampai membuat kaca mobil bagian belakang itu pecah, tapi seketika aku takut.

Lalu mobil itu seketika berhenti. Duh, sial! Pasti habis ini aku akan dimaki-maki sama si pemilik mobil itu.

Gawat!

Aku harus apa ini?

Badanku sudah gemetaran, jantung juga rasanya mau keluar dari tempatnya. Aku benar-benar ketakutan.

Takut diminta ganti rugi, takut dituntut, dan hal lainnya yang mungkin saja akan dilakukan oleh si pemilik mobil itu.

Karena saking takutnya, dan saking tidak bisa berpikir jernih, akhirnya aku memutuskan untuk berbaring di atas tanah. Tepatnya sih, pura-pura pingsan.

Semoga saja dengan kepura-puraan ini, si empunya mobil tidak akan memaki-makiku, dan tidak akan meminta ganti rugi.

To be continued

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Aufa21

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku