icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jadi Kuyang

Jadi Kuyang

Yenie Iria

5.0
Komentar
1.7K
Penayangan
30
Bab

Menjadi cantik dan awet muda merupakan impian setiap wanita. Tapi, jika melewati jalan yang salah apa masih bisa di benarkan? Edi membuat istrinya terobsesi dengan kecantikan dan awet muda. Namun, Mayang sang istri tak tahu bahwa itu hanya taktik Edi agar ia Jadi Kuyang. ⚠️ Cerita ini Hanya Fisksi. Isi konten benar-benar hanya karangan penulis. Jangan lupa klik berlangganan sebelum membaca.

Bab 1 Prolog

Api di pucuk obor bergoyang-goyang ditingkahi oleh angin. Sementara itu, di depan gubuk kayu, dua lelaki saling tunjuk dan berseteru. Satu sama lain di antara mereka tak ada yang mau mengalah. Urat leher terlohat jelas membiru, berteriak, sama-sama menolak dan bertahan dengan keinginannya masing-masing. Keduanya sama-sama berkepala batu.

“Aku harus mengurus keluargaku! Sebagai adik, sudah sepantasnya kaulah yang mengurus Umak. Lagi pula, kau belum berkeluarga. Ini kesempatanmu untuk balas budi.” Terlontar kalimat tegas yang diucapkan salah satunya.

“Tapi Bang, kau juga tahu. Pekan depan keluarga Liyah memintaku datang melamar. Aku juga ingin memiliki masa depan. Punya anak istri seperti yang lain! Mana mungkin terus-terusan jadi budak Umak, yang sudah membusuk begitu. Aku pun jijik mengurusnya! Kenapa tak Abang pinta saja Bang Mardi atau Bang Oman, yang mengurusnya!” Midan menyahuti dengan teriakan. Jelas ia tampak geram.

Terang saja gigi lelaki yang wajahnya lebih sangar di hadapan Midan itu bergemeretak. Mana bisa ia meminta dua saudaranya yang lebih tua mengurus Umak. Sementara keduanya itulah yang selama ini mengirimi beras berkarung-karung untuk Ibu mereka itu, agar bisa terus makan.

Sabarnya tentu sudah habis. Ia juga lelah membujuk Adik bungsunya dengan perkataan. Tanpa pikir panjang, kini tinjunya yang mengayun tepat mengenai tulang rahang Midan. Jemarinya berdenyut, ia yakin pukulannya cukup keras. Pasti Midan setelah ini akan menuruti perintahnya. Jika tidak, lelaki tersebut tak segan memberi bogemnya sekali lagi.

“Jangan jadi anak durhaka! Ingat, Umak seperti itu gara-gara kau yang tak lahir sebagai perempuan!” teriaknya penuh amarah.

Lalu, Lelaki yang katanya bergelar Abang itu mencabut obor yang terikat pada tiang pondok. Pergi. Melenggang angkuh tanpa niat kembali lagi. Bagaimanapun, yang dilakukannya sekarang adalah pilihan terbaik bagi keluarganya.

Benar, bukan ia masa bodoh dengan keadaan orang tuanya itu, hanya saja saat ini mendahulukan tanggung jawab pada anak istrinya jauh lebih penting.

Midan melenguh dalam gelap. Rahangnya sebelah kirinya terasa nyeri. Tapi, segumpal daging dalam dadanya lebih sakit lagi. Hanya karena ia miskin dan anak paling bungsu, bisa diperlakukan seenaknya begitu. Para Abangnya bahkan tak ada yang peduli dengan perasaannya. Dengan kebutuhannya.

Meski begitu, Midan masih bersyukur ia tak terlahir sebagai perempuan. Jika iya, dia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya menjadi pengganti ilmu yang dianut oleh sang Ibu.

“Jika bisa memilih pun, aku tak ingin lahir dari rahim wanita iblis itu! Cuih!” lirihnya sambil meludah cairan amis dan asin yang mengucur dari geraham akibat kena tinju tadi. Midan melakukannya lebih dari dua kali sampai rasa tersebut hilang.

“Midan! Uy, Midan! Umak sudah lapar! Mana nasinya?” Suara parau dari dalam sudah berteriak menagih jatah makannya.

Terang saja Midan tambah geram. Pintu pondok yang dibangun seadanya itu memang sedari tadi sedikit terbuka, jadi sekalian saja Midan meluapkan pelampiasan kemarahannya. Ia menendang keras hingga terbuka lebar dan membentur dinding kayu yang papannya masih berkontur kasar, tak diketam.

Suara nyaring yang ditimbulkan sama sekali tak membuat Ramiah terkejut. Mungkin, ia sudah biasa dengan hal itu atau memang ia tak ingin ambil pusing dengan polah sang anak. Ya, menurut Ramiah itu bisa saja balasan setimpal baginya selain jadi kumpulan daging busuk yang terpaksa dimasukkan dalam bak oleh anaknya, supaya tubuh yang sudah lebur tak berbentuk itu tidak berceceran.

Dulu, saat suaminya masih ada, kehidupannya bahkan bisa dikatakan jauh lebih buruk. Ia bukan hanya mendapat kekerasan fisik, tapi juga luka batin yang luar biasa.

Benar bukan? Di belahan dunia manapun, mana ada seorang istri yang mampu bertahan jika pasangannya sudah berpindah hati? Hingga di ujung keputusasaan Ramiah memilih satu jalan yang membuatnya menyesal hingga sekarang.

Midan datang dari dapur membawa periuk yang seluruh bagian luarnya menghitam. Ia mendekat ke arah Umak-nya dengan bergidik dan sambil menutup hidung menggunakan bagian leher kaus lusuhnya. Meskipun sudah begitu, aroma busuk masih juga ter-hidu. Membuat perut bergejolak mual.

Bahkan dulu, saat awal-awal mengurus Umak, berhadapan seperti ini, ia pasti sudah memuntahkan isi perutnya.

“Ayo Midan. Suapi aku. Jangan melamun! Aku sudah sangat lapar!” Ramiah membuka mulutnya lebar.

Ya, tubuh yang hampir lebur dengan hanya kepala yang tersisa utuh itu, masih bisa bersuara dengan jelas. Jiwa Umak Midan tak akan bisa meninggalkan jasad busuknya sebelum mendapat pewaris ilmu.

Nasi yang dikepal Midan saat ini masih hangat, sebab setelah matang tadi tetap dibiarkan di atas tungku yang masih menyisakan bara. Midan berulang kali mengepalkannya tanpa lauk. Lalu, ia suapkan berulang kali ke wanita yang wajahnya masih tampak muda itu. Midan harus lebih cepat mengepal, ia sudah tak heran jika Umak-nya itu makan seperti kesetanan. Masuk terus ke mulut, begitu lahap dengan kunyahan cepat. Lagi. Dan lagi. Hingga nasi yang seperiuk penuh habis dalam sekejap.

“Jangan lupa. Langsung masak lagi setelah ini!” perintah Ramiah sesaat sebelum Midan kembali ke dapur untuk membersihkan tangan.

Lelaki itu mendengus kesal. Belum juga nasi seperiuk tadi berubah jadi kotoran, sudah disuruh masak lagi. Ugh! Tolong jangan membayangkan bagaimana bentuknya kotoran yang keluar dari tubuh yang sudah busuk itu! Midan memegang perut menahan mual. Ia sendiri sampai tak berselera makan saat mengurus orang tuanya tersebut.

Sebelumnya, di mata Midan, Umak adalah ibu terbaik. Dengan wajah cantiknya yang awet muda, Ibu dari empat orang anak lelaki itu begitu mudah mendapatkan uang sebagai penyanyi panggung. Saweran yang ia dapat sehabis tampil, selalu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka setelah tulang punggung di keluarga tersebut memilih menikahi wanita lain dan mengabaikan tanggung jawabnya.

Namun, semua berubah semenjak orang kampung tahu, Ramiah penganut ilmu yang bisa membuatnya menjadi kuyang. Ilmu yang wajib dipenuhi dahaganya dengan darah-darah dari perempuan yang melahirkan serta bayi baru lahir.

Orang-orang yang sudah dikuasai emosi datang dengan geram, mengamuk membabi buta membakar rumah mereka, setelah itu mengusir satu keluarga dari kampung tersebut. Ramiah hanya bisa pasrah saat anak tertua mengusulkan untuk mengasingkannya ke hutan. Ia yakin, kabar yang dibawa angin lebih cepat menyebar dan seluruh perkampungan di sekitar kediamannya akan tahu tentang hal itu. Jika Ramiah bersikeras, akan sulit bagi wanita tersebut untuk memulai kehidupan baru di kampung lain.

Dan disini lah Ramiah sekarang. Dalam tempat yang dibangun empat putraya. Temoat ysng sebenarnya tak layak disebut rumah, di tengah hutan menanti ajal. Berharap putra bungsunya mau bermurah hati mencarikan perempuan untuk ia wariskan ilmu kuyang.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Yenie Iria

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku