Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mendadak menjadi Istri

Mendadak menjadi Istri

Yenie Iria

5.0
Komentar
909
Penayangan
21
Bab

Bagaimana jika kamu berada di posisi Wulan? Seorang lelaki tak dikenal datang dan mengaku sebagai suami. Padahal Wulan yakin bahwa dirinya masih lajang. Lalu, bagaimana dengan Rayyan? Pemuda yang akan menikahinya tahun depan. Bunda, orang tua Wulan satu-satunya yang tersisa pun, bahkan membenarkan tentang Wisnu, suaminya. Kebenaran apa yang tidak diketahui Wulan? Apa Wulan harus menerima semua ini begitu saja? Tentu tidak. Wulan harus mencari tahu segalanya.

Bab 1 Part 1

Terminal bising, penuh dengan teriakan para kenek, yang memberi tahu tujuan bus mereka. Beberapa pedagang asongan gak mau kalah juga, suaranya bersahut-sahut riuh rendah.

Aku menuruni bus sambil menggendong tas ransel. Rencana selanjutnya mencari pangkalan ojek di sekitar sini. Jarak rumah dari terminal sebenarnya gak terlalu jauh. Tapi, jika pulang berjalan kaki di siang bolong begini, sungguh bukanlah ide yang bagus.

"Cangcimen ..., cangcimen." salah satu pedagang asongan mendekat dan menawarkan dagangannya padaku.

Kebetulan kerongkonganku sedang kering kerontang. Kuambil sebotol air mineral dari keranjangnya. Kemudian menyerahkan uang pas dengan nominal yang ia sebutkan.

Sebelum menemukan tukang ojek yang mengantarkanku pulang. Tiba-tiba seseorang menarik salah satu tali tas dari belakang pundak. Saking terkejutnya, aku hampir terjengkang. Tapi untungnya, sebuah lengan kokoh dengan sigap menangkap pinggangku.

Air mineral dalam botol yang hampir menyentuh bibir malah tumpah. Wajah kami basah. Aku dan orang asing yang kini seakan beradegan drama romantis. Saling tatap dalam gerakan yang lambat. Ah, memalukan.

Tunggu, benar. Memang sudah bukan rahasia lagi, terminal merupakan tempat rawan penjambretan dan copet. Tapi, apa adegan begini tidak berlebihan ia lakukan? Tapi, bisa jadi ini trik baru agar korban terpesona? Masa bodoh. Harusnya aku segera melepaskan diri.

Kuentakkan kaki sekuat tenaga tepat mengenai kakinya. Ia mengaduh. Aku bersiap berteriak.

"Tol ...." belum lengkap kata yang ingin kuucapkan, Pria tersebut langsung membekap mulutku.

Anehnya orang yang ramai berlalu lalang sama sekali tak memedulikan hal ini.

Seseorang tolong....

"Kamu ngapain mau teriak sih Lan? Abang cuma mau bawakan tas kamu." Dengan santainya lelaki itu berucap setelah menyeka wajahnya yang basah menggunakan sapu tangan.

Aku tercengang. Hah! Abang? Ia bahkan juga tahu namaku?

Kuputar leher agar tangannya terlepas dari mulutku.

"Abang? maksud Anda? Saya anak tunggal," terangku.

"Ya ampun Wulan." Ia menepuk jidat. "Sama suami sendiri ini, lupa?" Keningnya bertaut.

Aku mundur beberapa langkah mendengar pernyataannya. Jangan-jangan dia penipu, yang ujung-ujungnya pasti duit. Atau bahkan penculik. Mendadak aku teringat tentang berita sepekan ini, ramai selebaran beredar tentang wanita yang hilang. Aku bergidik. Bagaimana ini?

Bagaimana jika orang di hadapanku ini komplotan dari penculik? Dan aku adalah calon korbannya. Matilah aku.

"Udah Lan, jangan banyak tingkah dong. Abang udah kepanasan ini nunggu dari tadi. Yuk pulang." Ia mengamit lenganku.

Tentu saja dengan cekatan aku menepisnya. Ia malah memandangku heran.

Pulang? Iya, memang aku mau pulang. Tapi bukan denganmu! Eh, tapi, dilihat dari ujung kaki sampai rambutnya. Si Abang lumayan ganteng juga. Suami? Tapi aku kan masih perawan? Kapan nikah? Gak salah lagi ini. Dia pasti memang penipu. Maaf ya Ferguso, tidak semudah itu!

"Ayo Lan, jangan bengong aja." Lagi-lagi dia menarik lenganku.

Aku mengentakkannya dengan keras. "Stop! Anda jangan coba-coba menipu saya." Aki mencoba menggertak. Ini satu-satunya caraku bertahan.

"Astaga Wulan... Nipu gimana?" ia juga bersikeras.

"Mana buktinya kalau memang Anda suami saya? KTP. Buku Nikah. Mana?" Aku menjulurkan tangan sambil melotot.

Pria dengan kemeja putih bergaris itu mengeluarkan dompet dari saku, sekilas kulirik berjejer tebal uang merah di sana. Masa iya yang berduit begini penipu? Atau jangan-jangan aku memang benar istrinya. Ah, ngaco!

Lalu, ia menyodorkan KTP. Hal pertama yang kulihat adalah status pernikahannya. KAWIN. Eh, benar ia sudah menikah ternyata. Eits! tunggu, aku gak boleh semudah ini percaya.

"Buku nikahnya mana?" todongku lagi.

"Kesambet apa sih Lan? Buku nikah ya di rumah. Mana mungkin abang bawa-bawa." Telapak tangannya menyentuh dahiku sekarang.

Sontak aku mundur beberapa langkah dengan cepat. Benarkan? Ini pasti cuma alasannya.

"Apa jangan-jangan kepalamu habis terbentur kah? Hilang ingatan ceritanya ini?"

Eh. Si Abang malah ngelantur. Waras gak sih ini orang? Aku membatin.

"Cukup ya, kalau Anda mau menipu, saya bukan target yang layak! Saya bukan orang beruang. Jadi tolong hentikan!" Aku mengultimatum tegas.

"Astaga Wulaaan. Kamu habis kebentur beneran ini?" kini ia yang tampak mulai kesal. Atau bisa juga pura-pura bingung. Siapa tahu?

Aku mengerutkan kening. Mulai terpengaruh dengan kalimatnya. Apa benar aku amnesia? Kuketuki dahi dengan telunjuk. Oh! Gak! Kayaknya pria ini juga memiliki ilmu hipnotis.

"Jangan terpengaruh Wulan. Jangan terpengaruh," bisikku berulang kali.

"Ya udah. Gini deh, kalo emang kamu gak percaya, gak papa. Capek juga Abang jelasin dari tadi, kamunya malah berbelit-belit. Kamu bingung, Abang semakin bingung. Kita pulang masing-masing. Abang tunggu di rumah." Dia menyerah juga.

Benar kan? Tipe yang begini pasti penipu. Untungnya aku gak semudah itu percaya dengan wajah tampannya. Kalau gadis lain nih, pasti bakalan iya iya saja di tipu sama model yang begini. Mana bisa nolak jadi istrinya. Dompet tebal, wajah rupawan. Eh. Ampun Wulan. Cukup. Kali ini aku berusaha menentang otakku sendiri.

Perasaanku mulai lega, tapi, loh itu, si Abang tadi malah balik lagi. Kenapa lagi tuh? Mau coba lagi dia? Belum nyerah?

Aku menyingsingkan lengan baju. Sepertinya kali ini aku harus mengerahkan ototku untuk mempertegas segalanya.

Namun, Ia malah menyerahkan sebuah kartu padaku.

"Kunci Apartemen. Abang mau ke kantor dulu." Tuturnya.

Dengan wajah bego, aku menerimanya begitu saja.

***

Gak ada yang aneh saat aku tiba di rumah. Normal. Jadi benar, kejadian di terminal tadi sepertinya modus penipuan baru. Aku bergidik sendiri saat mengingatnya kembali.

"Gimana seminarnya? Lancar?" sapa Bunda masih dengan celemeknya. Beliau mungkin belum selesai memasak.

"Lancar dong." Aku mengacungkan jempol.

Sejak dua tahun lalu, aku memutuskan berhenti menjadi karyawan dan mulai mengejar mimpiku menjadi penulis. Selain belajar dari buku dan media online, sesekali aku mengikuti seminar kepenulisan untuk menambah ilmu. Bunda juga memberiku kebebasan tentang ini. Meski acara seminar kadang diadakan di kota lain, beliau memberiku kepercayaan lebih. Beruntungnya memiliki orang tua pengertian seperti dirinya.

"Mana Inu? Dia gak jemput kamu di terminal?" pertanyaan Bunda membuatku terlonjak.

"Inu? Inu yang mana Nda?" Kusenderkan punggung di kursi.

"Loh kamu ini gimana sih Lan, suami sendiri lupa." Bunda juga ikut duduk di sofa bersamaku.

Dengan kesadaran penuh aku memegangi dahi. Memeriksa normal atau tidaknya suhu tubuh saat ini. Mungkin saja aku sudah tak waras? Seorang lelaki mendatangiku dan menyatakan bahwa ia adalah suamiku. Di rumah, Bunda juga menyebutkan nama orang yang gak kukenal serta mengatakan dia suamiku. Ya Tuhan .... Aku benar-benar frustrasi. Situasi macam apa ini.

"Gak. Gak. Aku masih lajang!" teriakku menggema sejagat raya.

"Udah, jangan kebanyakan drama. Kamu pulang sekarang gih. Kasihan Inu, nungguin." Bunda berujar sambil berdiri dan melepas celemeknya.

Aku mengerutkan kening. Mengobok-ngobok isi kepalaku mencari tahu kebenarannya. Ah, yang benar saja. Ini bukan sebuah prank kan?

"Jangan becanda deh Nda. Nikah juga belum, malah Bunda suruh pulang ke tempat suami," balasku sambil tergelak. Tawaku sengaja kukeraskan untuk Menetralkan degup gak keruan di dada.

Bukannya mendengarkanku, Bunda malah membuka laci di samping TV. Mengambil selembar kertas, kembali duduk dan menulis sesuatu dengan serius.

"Alamat apartemenmu. Kamu sering kali nyasar di daerah sana. Pulang sekarang," paksanya sambil meyodorkan kertas tadi.

"Nda ...." Mataku berkedip berkali-kalo memohon padanya. Aku sudah seperti anak kucing yang meminta potongan daging sekarang.

Bunda malah menarikku dari tempat duduk dan mendorong tubuh mungilku ke arah pintu. Tega.

Ah, mau gak mau, aku pergi juga, meninggalkan rumah dengan mengela napas keras. Jujur, aku merasa terusir dari kehidupan normalku sekarang.

Sudahlah. Aku juga gak bisa terus-terusan masa bodoh dengan permasalahan saat ini bukan? Andai saja, Bunda gak ikut-ikutan membuatku jadi setengah gila begini, aku akan lebih memilih membiarkan kekonyolan ini saja dan berusaha melupakannya seperti mimpi buruk saat tidur sore hari.

Sejak beliau mengatakan suamiku bernama Inu dan ngotot menyuruh pulang, akhirnya aku mencari tahu. Ini kenyataan atau hanya manipulasi. Dan bahkan bisa jadi aku sedang mengalami halusinasi setelah mabuk perjalanan. Apa pun itu, harus kubuktikan dulu sebelum percaya semuanya begitu saja.

Kutatap gedung tinggi di hadapanku, menyibak rambut panjangku sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah gontai ke dalam. Malas sebenarnya, tapi mau apa lagi? Aku gak punya opsi lain.

Sekarang, aku berada di lobi apartemen. Menatap sekitar seperti anak ayam yang tersesat. Gak tahu jalan pulang. Ah, cukup. Meja resepsionis harusnya menjadi tujuan utama kini.

"Ada yang bisa saya bantu Bu?" Wanita dengan rambut bergelung di hadapanku menyapa ramah dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Jangan panggil Bu. Saya belum setua itu!" ketusku. Enak saja. Kerutan wajahku belum cukup banyak untuk mendapat gelar itu.

Wanita tersebut tersenyum, ia salah tingkah. "Baik. Maaf. Ada yang Bisa saya Bantu Kak?" ulangnya.

"Unit atas nama Inu ada di lantai berapa?" tanyaku sambil mengetuk-ngetuk meja dengan kartu apartemen.

"Maaf Kak, jika ingin berkunjung silakan langsung menghubungi yang bersangkutan. Sebab kami tidak diperbolehkan memberi informasi ke sembarang orang," jelasnya.

Kuangkat kartu di tangan ke hadapannya. "Saya Istrinya." Aku terpaksa berbohong.

Jujur saja, ini kebohongan yang memalukan. Seandainya saja aku bisa menyembunyikan wajah ke dalam saku, pasti sudah kulakukan. Dan sekarang, bisa jadi si resepsionis ini mencibirku dalam hati. Mana ada istri yang gak tahu unit milik suami sendiri. Ah, terserahlah. Yang penting aku berhasil membuktikan kegilaan ini nanti.

"Oh. Maaf. Unit Atas nama Pak Inu tidak ada Kak," tuturnya setelah beberapa menit mengecek data di komputer.

Perkiraanku benar! Sekarang semakin benar-benar memalukan. kan? Kan? Kan? Argh! Tanpa berkata apa pun aku meninggalkan Meja resepsionis. Malu. Sungguh malu.

Namun, dalam sekian detik berikutnya saat aku berbalik, tampak sebingkai wajah yang dari awal membuatku kesal. Kesal yang bertumpuk, hingga aku bisa merutuk seharian. Dan muka menyebalkan itu, kini malah tersenyum ke arahku.

"Loh Lan? Pulang kok gak ngabari Abang? Kan bisa di jemput dari rumah Bunda."

Benar, dia Lelaki tadi. Yang di terminal. Aku menahan napas, mengumpulkan rasa dongkolku. Lalu, melepaskannya menjadi kalimat.

"Jangan sok kenal ya! Nih makan sendiri kebohonganmu." Aku melempar kartu yang diberikannya tadi siang.

Dia kelabakan dan dengan sigap berusaha menangkap kartu yang tadi kulempar.

Dibuat bingung. Dibohongi. Lalu dipermalukan adalah tiga hal yang sangat aku benci. Dan hal tersebut dilakukan oleh orang asing yang menyebalkan. Telingaku sudah cukup panas dan saat ini pasti mulai memerah menahan amarah. Aku gak mau emosi malah membuatku semakin malu lagi. Kutinggalkan saja dia yang masih berdiri seperti orang tak bersalah itu.

"Selamat sore. Maaf, benar dengan Pak Wisnu. Ini ada paket atas nama Wulan, apa benar ini nama istri Bapak? Pihak ekspedisi yang menitipkannya tadi siang." Sepertinya resepsionis tadi menghampiri lelaki penipu itu.

Entah apa penyebabnya, Kakiku seketika terasa kaku. Niat ingin segera pergi dari sini kuurungkan dan malah membatu di tempat, mungkin karena mendengar pernyataan dari resepsionis bodoh tadi. Tanpa aba-aba pula, tubuhku langsung berpaling. Menatap bingung pada dua orang yang kini berhadapan.

"Benar. Itu istri saya." orang yang dipanggil Wisnu tadi menunjukku.

"Oh, maaf Kak. Saya tidak mengenali Kakak tadi." Ia membungkukkan tubuh. "saya resepsionis baru soalnya." Ia beralasan, "lagi pula, Kakak tadi menyebutkan nama Inu bukan Wisnu."

Resepsionis itu mendekatiku, menyerahkan paket lalu kembali ke balik mejanya. Namun, sesekali tampak matanya mengerling pada lelaki yang tersenyum kepadaku. Dia genit. Entah mengapa aku gak menyukai hal itu.

Kini, Wisnu semakin mendekat padaku. Kepalanya menunduk kemudian, di selipkannya rambutku ke belakang telinga. Bibirnya mendekat, hingga napas hangatnya begitu terasa.

"Inu itu panggilan sayang kamu untukku Lan. Kamu sudah ingat sekarang?" bisiknya.

Bulu kudukku mendadak meremang mendengarnya. Ada desir dingin yang juga tiba-tiba merayap di tengkuk. Paket yang tadi di tangan kini kudekap erat-erat untuk membunuh rasa gugupku.

Sial! Situasi macam apa ini? Umpatku dalam hati.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Yenie Iria

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku