Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mendadak Presdir

Mendadak Presdir

Zidney Aghnia

5.0
Komentar
10.5K
Penayangan
35
Bab

Keluarga Melly Sabira terbilang mampu secara finansial. Namun, biaya hidupnya dijatah perhari oleh Alan karena tidak memercayai istrinya sebagai pemegang keuangan. Ditambah lagi ... semenjak Lian, kakak iparnya, menumpang hidup di rumahnya, Melly tak pernah merasa tenang karena selalu diperlakukan sewenang-wenang. Lian merasa menguasai rumah itu dan seisinya. Tak tahan dengan semua yang ia hadapi, Melly diam-diam memulai usaha produk kecantikan yang ia rintis sendiri sampai akhirnya memiliki produk sendiri yang dikenal sampai ke seluruh Indonesia. Belum selesai dengan tingkah laku Lian yang semakin menjadi-jadi, ia malah menjodohkan Alan dengan Siska, teman wanitanya yang tidak lain hanya seorang karyawan di bawah naungan Melly. Siska tak terima karena merasa dilecehkan dan direndahkan. Ia pun melakukan tindakan bengis terhadap keluarga Melly yang mengakibatkan kematian beberapa orang terdekatnya.

Bab 1 Part 1. Tak Ada yang Peduli

Melly baru saja merebahkan tubuhnya di kasur berukuran 180x200 sentimeter. Tulang-tulang punggungnya serasa mau patah setelah setengah hari tanpa henti melakukan pekerjaan rumah. Seisi kamarnya pun semua hanya terlihat seperti bayangan karena penglihatannya yang lelah dan mengabur.

"Melly! Kamu jangan tiduran aja, itu setrikaan masih numpuk!" teriak Lian, kakak iparnya.

"Iya, Mbak, aku lagi enggak enak badan," jawab Melly Lirih.

"Tadi pagi kamu baik-baik aja!"

"Tadi pagi udah meriang, cuma aku gak dirasa aja, Mbak. Tapi, sekarang aku udah ngerasa mau demam. Aku nyetrikanya besok aja, ya?"

"Kalau besok kamu masih alasan sakit gimana? Gak jadi lagi nyetrikanya? Terus Alan mau kerja pake baju apa?" hardiknya lagi sambil berlalu meninggalkan kamar.

Melly mengambil ponsel jadulnya yang masih dengan kamera beresolusi rendah, mencari sebuah kontak untuk dikirimi pesan singkat.

[Yank, aku gak enak badan. Aku boleh minta uang untuk bayar orang buat setrikain baju yang udah numpuk?]

[Emang kamu gak bisa ngerjain sendiri?]

[Kan, tadi aku bilang lagi gak enak badan, Yang]

[Ya, udah pake uang yang tadi pagi aku kasih aja.]

Melly lantas memutuskan telepon sepihak serta melempar ponsel ke ranjangnya karena percuma saja tak akan ada hasilnya berbicara dengan Alan, suaminya.

"Uang yang mana! Dia kasih aku cuma lima puluh ribu sehari, mana cukup!" ujarnya kesal. "Sekarang tinggal sepuluh ribu lagi, itu pun buat jajan Alea. Gimana mau bayar orang! Dasar Gak Peka!"

Melly memutuskan untuk istirahat beberapa waktu supaya meriangnya berkurang. Rencananya, ia akan menyetrika pakaian kerja Alan nanti malam.

Selama menikah, Melly bagai dikurung dalam sangkar, tetapi bukan sangkar emas. Ia tidak bisa bergaul sebagaimana mama muda di usianya yang hangout bersama teman-temannya.

Ia juga tidak memiliki uang lebih untuk membeli kebutuhan pribadinya. Jangankan untuk itu semua, untuk kebutuhan harian saja ia harus pandai-pandai mengatur menu makan setiap harinya.

Keseharian Melly hanya habis untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh putri kecilnya yang berusia tiga tahun. Keinginannya untuk bersenang-senang tak pernah terealisasi barang sekali pun: tidak dengan suaminya maupun teman-temannya.

Alan adalah suami yang sangat tidak peka. Melly hanya diberi uang belanja setiap harinya lima puluh ribu: untuk makan keluarganya dan juga keluarga kakak iparnya yang tinggal satu rumah. Kebutuhan pokok sudah tersedia karena semuanya Alan yang mengatur.

Lian dan keluarganya tinggal di rumah Melly karena belum mempunyai rumah tetap. Oleh karena itu, mertuanya Melly memberi saran untuk tinggal di rumah Melly saja untuk sementara waktu.

"Melly! Masih tiduran aja kamu! Itu liat Alea berantakin rumah!"

"Alea, kan, main sama Rachel, Mbak. Biar aja mereka yang beresin sama-sama.

"Enak aja, itu kan mainan Alea! Lagian juga Rachel mau aku mandikan!"

"Iya, Mbak. Sebentar aku bereskan." Melly mencoba mengalah dengan ucapan lirih.

"Cepat! Aku gak suka liat rumah berantakan!" bentaknya sembari menggendong Rachel ke kamar mandi.

'Aah, udah tinggal numpang, makan numpang, main mainan punya anakku, gak tau diri lagi! Dia pikir siapa tuan rumahnya? Seenak jidat nyuruh-nyuruh!' Melly membatin.

Ia bergegas ke ruangan di mana Alea mengeluarkan semua mainannya dengan langkah sempoyongan. Walaupun kepalanya merasa berkunang-kunang, mata perih, dan seakan mau pingsan, ia memaksakan untuk membereskan mainan yang berserakan di seluruh penjuru ruang tamu.

"Alea Sayang, bantu Bunda masukkin mainannya ke kotak, yuk?"

"Iya, Bunda. Alea, kan, anak baik," jawab putrinya yang menggemaskan itu.

Setelah itu Melly memasak untuk makan malam karena sebentar lagi Alan akan sampai di rumah.

Ia hanya sempat membuat nasi goreng dan telur dadar dikarenakan tidak banyak tenaga yang dimilikinya saat itu. Menu makan siangnya pun sudah tak bersisa. Padahal, ia ingat betul kalau belum makan sejak pagi karena tak ada selera sama sekali untuk makan. Seharusnya, lauk jatah Melly masih ada, tetapi kenyataanya hanya tinggal piring kosong yang tersisa di meja.

"Assalamu'alaikum." Alan dan Roby pulang bersamaan ketika Melly sedang mencuci piring ditemani Alea yang sedang bermain di sampingnya.

"Wa'alaikumussalam." Melly menjawab salam mereka.

"Pah, capek, ya? Makan dulu, yuk?" sahut Lian sambil membuka tudung saji. "Apa ini? Cuma nasi goreng sama telur?" Emang gak ada sayuran apa, Mel?"

"Besok Mbak kasih aku uang belanja buat beli sayuran, ya? Karena uang dari Mas Alan gak cukup buat makan dua keluarga. Itu pun aku sama sekali gak kebagian jatah makan hari ini loh!"

Sontak Lian bergeming karena tak bisa menjawab permintaan Melly. Ia tak mengacuhkan Melly dan mengambilkan makan untuk Roby dan Rachel dengan porsi yang sangat penuh, sedangkan Melly mengambilkan untuk Alan dan menyisihkan sedikit untuk Alea.

"Kamu gak makan?" tanya Alan.

"Emangnya ada yang bisa kumakan?" jawab Melly ketus diiringi Alan, Lian, dan Roby yang menatap mangkuk nasi goreng yang sudah bersih tak tersisa. Lian dan keluarganya makan dengan santai tanpa memedulikan Melly yang sudah memasak untuk mereka.

"Kamu masak nasi lagi aja, lauknya masih ada, kan?" ujar Alan kepada istrinya yang terlihat dongkol.

"Gak usah, aku gak lapar!" jawab Melly ketus. "Aku ke kamar dulu mau salat," lanjutnya sambil menuntun Alea.

"Jangan lupa nyetrika, Mel! Alan udah gak ada baju, kan, untuk besok!" hardik Lian seketika.

"Gak apa-apa, Kak. Alan bisa nyetrika sendiri," Alan pun menanggapi.

"Jangan dibiasain, Lan. Nanti dia manja!"

Alan tak menjawab. Sementara itu, Melly merasa sedikit lega karena mendengar Alan membelanya.

Selesai salat, Melly pergi ke ruang belakang menyempatkan untuk menyetrika baju kerja suaminya. Tiba-tiba dari depan pintu, Lian melontarkan beberapa helai baju di atas tumpukan setrikaan Melly dengan tak acuh. Sikapnya itu membuat Melly geram. Ia mendelik tajam pada ipar wanitanya itu, lalu kembali fokus menyetrika. Padahal, hatinya sedang berkecamuk.

"Sekalian baju Roby, ya?!" ujarnya tanpa dosa sambil meninggalkan Melly.

Melly menghela napas dalam-dalam, "Sabar Mel, ini cuma dua pasang baju. Kalau sepuluh kusetrika sampe gosong semua ini baju!" Melly berusaha menghibur diri.

Malam hari, demamnya semakin tinggi. Melly menggigil kedinginan dengan dahi dipenuhi keringat. Alan yang sudah tertidur lelap di sisinya tidak merasakan jika istrinya sedang menahan sakit hingga pagi harinya demam semakin tinggi.

Pagi itu Melly bangun terlambat dan tidak sempat menyiapkan sarapan. Untung saja dirinya sudah membelikan roti sore sebelumnya untuk sarapan Alan karena khawatir jika ia tidak sempat menyiapkan sarapan ... dan benar saja firasatnya.

"Alaan? Mana Melly? Kenapa dia enggak buat sarapan!"

"Dia lagi kurang sehat, Kak."

"Alaaah, sakit dibuat-buat biar dia gak ngerjain kerjaan rumah, tuh! Terus kita sarapan apa?"

"Alan udah sarapan, Kakak bikin sendiri aja buat Mas Roby. Alan pamit, Kak. Assalamu'alaikum!"

"Arrrgghh, ngeselin banget si Melly. Pake acara sakit segala, sih! Sial!"

Lian adalah anak perempuan pertama dan satu-satunya di keluarga Alan, ia sangat dimanja oleh keluarganya. Karena itu, ia tidak bisa melakukan pekerjaan rumah apa pun selain melayani suami dan anaknya, tentunya dengan segala hal yang sudah disiapkan Melly.

Melly sudah berpakain rapi dengan celana jeans serta tunik berwarna biru dongker dan bersiap-siap pergi.

"Mau ke mana kamu!" tanya Lian dengan menghardik.

"Mau ke dokter."

"Ke dokter aja rapi banget, mo hengot (hang out) kali!"

"Astagfirullahaladzhiim, pikiranmu itu, Mbak. Terserah Mbak ajalah mau ngomong apa!"

"Ya, terserah aku lah. Terus si Alea gimana?"

"Ya, di sinilah. Alea itu masih kecil, jadi rawan kalau dibawa ke rumah sakit, Mbak."

"Alea Sayang, Alea main dulu sama Rachel dan jadi anak baik, ya?" ucap Melly yang berjongkok supaya sejajar dengan Alea.

"Iya, Ma." Alea menarik lekukan senyum di bibirnya.

"Udah sana, jangan lama-lama! Aku lagi sibuk gak bisa jaga Alea!"

Melly lantas pergi ke rumah sakit seorang diri. Sampai di sana ia melakukan pemeriksaan dan menjalani beberapa tes yang disarankan dokter.

Selama tiga jam lamanya, ia menanti hasil di ruang tunggu. Rasa suntuk melanda sampai akhirnya seorang perawat memanggil namanya. Betapa terkejutnya saat ia melihat hasil tes yang diberikan perawat itu. Matanya sampai tak berkedip selama beberapa detik untuk memastikan apa yang dilihatnya itu tidak salah.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Zidney Aghnia

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku