Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mendadak Dinikahi Om-Om

Mendadak Dinikahi Om-Om

Mi Casa

5.0
Komentar
11.7K
Penayangan
70
Bab

Sebuah kecelakaan besar telah merubah jalan hidup Nala. Ia terpaksa menjalani pernikahan yang tak dia inginkan demi membiayai sang mama yang terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Nala tak mampu menolak, karena hanya laki-laki asing itulah yang bisa membantunya. Pernikahan yang pada awalnya dilandasi dengan keterpaksaan demi urusan pribadi masing-masing itupun lambat laun semakin subur oleh cinta yang perlahan tumbuh diantara keduanya. Meskipun begitu, ada yang aneh dengan pernikahan ini. Sesuatu yang disembunyikan Bastian, membuat Nala diam-diam mencari tau secara mendalam tentang suaminya. Rasa penasaran Nala pada akhirnya terjawab, mengenai alasan sesungguhnya laki-laki bernama Bastian Wilantara itu menikahinya. Haruskah ia menceraikan suaminya karena telah menyembunyikan fakta menyakitkan tersebut?

Bab 1 Boti

"Gimana Nala bayarnya, Ma." Ketakutan langsung menghantui Nala, bayangan jika dirinya tak bisa membayar biaya rumah sakit, benar-benar membuatnya takut. Jika ia tak bisa membayar biaya rumah sakit, maka sama saja dengan ia membunuh sang Mama, 'kan? "Tuhan ... tolong bantu hambamu ini." Buliran air matanya menggenang di pelupuk mata.

Pemandangan mamanya yang tengah berbaring dengan berbagai alat bantu dari balik kaca panjang pintu itupun semakin buram, sampai pada akhirnya tangisnya kembali tak terbendung. Kali ini dirinya hanya mengeluarkan air mata, tanpa suara. Tenggorokannya terasa begitu kering kerontang setelah tadi banyak berteriak dan meraung.

"Biar saya yang bayar biaya rumah sakit!"

Pandangan mata Nala langsung beralih ke arah sumber suara dengan kening berkerut.

"Asal kamu mau nikah dengan saya."

"Ya Tuhan, apa lagi ini?". Memejamkan mata sejenak dan menarik nafas pendek. "Tolong, jangan ganggu gue," ucapnya dengan suara lemah. Pikirnya orang di sampingnya ini hanyalah bercanda, atau mungkin sedang ingin menguji nyali untuk dimaki-maki.

Bukannya pergi, laki-laki itu menggelengkan kepala. Menarik sedikit celana bagian atas pahanya, sebelum kemudian berlutut di samping Nala. "Saya nggak lagi bercanda, saya denger kamu butuh uang buat biaya rumah sakit Mama kamu, 'kan?"

Apa lagi sih ini? Apa mungkin ini jawaban dari do'a yang baru saja dilangitkan olehnya? Apa mungkin Tuhan mengabulkan do'anya secepat ini? Sepertinya tidak, mengingat rentetan do'a yang sudah dilantunkannya sejak tahunan yang lalu saja belum nampak hilal akan dikabulkan. Sepertinya ia terlalu berprasangka baik pada Tuhan.

"Ah, sial!" Nala memekik pelan, tak percaya dengan apa yang dihadapinya dalam situasi seperti ini. "lo orang gila dari belahan bumi mana sih? Nggak ngotak banget kalau ngomong. Apa lo bilang tadi? Nikah? Wah ... parah, lo ini bujang lapuk apa gimana? Bisa-bisanya ngajak sembarang orang nikah, udah sange, 'ya? Noh purel ada di mana-mana tinggal comot aja nggak perlu sampe nikah-nikah tinggal kasih duit. Beres. Please, candaan lo nggak lucu banget."

Diusapnya wajahnya kasar, dadanya masih kembang kempis. Rasanya ingin sekali Nala menendang wajah laki-laki asing ini, tapi sejak kapan sih dirinya bisa sekasar itu? Sedari kecil mamanya selalu mengajarkannya untuk tidak melakukan kekerasan.

Tak sanggup lagi rasanya, ia hanya ingin menangis dan bersedih dengan tenang dan nyaman. Tubuhnya begitu lelah, tanpa tenaga. Susah payah ia memutar arah kursi rodanya, mendorong lemah. Meninggalkan laki-laki gila ini. Namun, belum sampai dua putaran, seseorang di belakang menahannya.

"Nggak sange, astaga. Saya cuma mau bantu kamu, kasihan lihat kamu."

Nala memandang sejenak. Cukup tampan, badannya juga bagus, tampak seperti orang kaya. "Om boti, ya? Mau nikahin saya cuma buat nutupin aib, Om?" Jaman sekarang memang lagi musim spesies seperti ini, 'kan? Menikahi wanita hanya sebagai status, untuk menutupi kebelokannya.

Laki-laki itu langsung mengusap wajahnya dengan kasar, membuang pandangannya ke arah lain, lalu menarik nafasnya panjang. Tak habis pikir dengan penilaian perempuan di depannya ini yang begitu luas, tapi salah kaprah. Memangnya apa yang salah dengan dirinya? Kenapa niat baiknya tak disambut dengan baik? Apakah mukanya se-boti itu?

"Salah, semua tuduhan kamu semuanya salah." Gelengan kepala diberikan, mencoba tetap berkata lembut agar sejalan dengan usianya. Ia kembali jongkok setelah menaikkan lengan kemejanya. "saya niatnya memang mau nolong kamu, sebagai balasannya kamu nikah sama saya. Setelahnya saya bayar biaya Mama kamu dan saya tanggung biaya hidup kamu sepenuhnya."

Dipandanginya lekat-lekat wajah pria asing di depannya ini, sebelum Nala berkata, "Om cari pembantu? Atau mau nikahin saya habis itu saya dijual? Atau malah saya disuruh kerja, uangnya buat bayar Mama saya, 'ya?" Tak ada sesuatu positif yang bisa dilihat Nala dari laki-laki di depannya ini. Lagi pula, coba pikirkan, memangnya di jaman serba duit ini ada yang mau memberikan uang secara cuma-cuma? Tidak, manusia baik sudah punah.

"Dengerin saya baik-baik," ucapnya dengan tegas, raut wajahnya berubah serius.

Tangan besar itu langsung menarik kursi roda Nala, membuat yang tengah duduk di atasnya bisa sepenuhnya melihat ke arahnya. "Yang jelas semua tuduhan kamu itu salah total. Saya bukan orang jahat, bukan mau memperbudak kamu, dan apalagi tadi? Boti? Astaga ... saya nggak tau kenapa kamu bisa nyimpulin itu semua dengan gampangnya. Saya di sini cuma niat bantu kamu, kam--"

"Kenapa musti nikah?" Potong Nala cepat, setelahnya ia mendelik tajam. Dari pandangan sekilasnya setelah dilihat beberapa detik, memang tak nampak adanya raut wajah kriminal dari orang di depannya ini. Tapi tetap saja, ia tak boleh percaya begitu saja pada orang asing. Seperti pepatah 'Jangan menilai orang dari cover-nya saja' bisa saja orang di depannya ini adalah monster berwajah polos.

"Ekhemm," Yang ditanya langsung berdehem, merubah mimik wajahnya agar tak seserius tadi. "saya punya masalah, kamu juga punya masalah. Semua orang di dunia punya masalah, di sini permasalahan saya soal pernikahan. Cuma sebagai formalitas,"

"Om Bisex, ya?"

Astaga! Tak sanggup lagi rasanya. Telinga dan wajahnya memerah, malu mendengar tuduhan yang diutarakan padanya barusan. Memang sepertinya perempuan di depannya ini tak minat dengan niat baiknya. Meskipun ada sesuatu yang terselubung di sana, tapi ia tak sebrengsek itu.

Pusing, tak ada cara lain yang bisa dilakukannya. Laki-laki itu membuang pandangannya ke arah lain untuk meredam emosinya, sampai pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan seorang wanita paruh baya tengah menjinjing tas. Otaknya merespon cepat, ini adalah cara terakhir. Semoga kali ini berhasil.

Laki-laki itu bangkit dari posisinya. Jurus andalan Emak-emak di pasar saat tak mendapatkan kesepakatan harga setelah sesi tawar menawar akan ia terapkan. "Terserah penilaian kamu yang salah kaprah itu, tapi coba pikirkan sekali lagi, gimana kondisi Mama kamu. Dari mana kamu bisa dapat uang secepat itu? Ada nyawa Mama kamu yang harus kamu pikirkan."

Deggg

Kaki besar dan panjang itu mulai melangkah menjauh dari Nala yang masih diam mematung di atas kursi rodanya. "Ayo, mau. Tolong mau, ya." Seiring dengan langkahnya yang semakin menjauh, hatinya begitu gelisah. Takut jika keputusan yang diambilnya malah salah total.

Mata Nala sudah kembali mengabur, air matanya hendak turun kembali. Membiarkan laki-laki itu pergi dari hadapannya. Otak Nala terasa pecah, kata-kata yang dilontarkan laki-laki itu seperti sebuah bom atom yang menghancurkan pikirannya. Dengan gemetar Nala juga mengubah arah kursi rodanya. 'Jangan gampang percaya, Nala. Jangan mau sama tawaran orang asing, apalagi Om-Om. Jangan mau. Hiks," gumamnya dalam hati.

Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya.

"Om, tunggu!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku