Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Maduku Adik Kandungku

Maduku Adik Kandungku

Morina

5.0
Komentar
36.6K
Penayangan
60
Bab

Kehamilan Rea yang ingin disampaikan kepada Beno suaminya berubah menjadi berita bencana. Rea dikejutkan lebih dulu dengan berita kehamilan sang adik yang telah tertangkap basah berselingkuh dengan suaminya.

Bab 1 Ketahuan Selingkuh

Ada kabar gembira yang ingin segera kusampaikan kepada Mas Beno. Mempercepat langkah kaki ini menyusuri koridor rumah sakit tempat berdinas. Sebuah rumah sakit umum yang ternama di kota telah memintaku untuk menjadi dokter spesialis kandungan.

Menerima tawaran mereka saat kesempatan itu ada dan aku telah menyelesaikan gelar dokter di universitas terbaik yang aku tinggalin sekarang dengan biaya beasiswa. Segala fasilitas di berikan gratis bagi siswa berprestasi. Kudapatkan gelar dokter dengan perjuangan yang tak mudah walau kuliah yang kujalani mendapat beasiswa tapi aku masih harus bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan hidup.

Aku bukanlah seorang anak yang berasal dari keluarga kaya raya yang mengandalkan harta orang tua untuk memenuhi kebutuhan tetapi harus berjuang dari nol hingga sukses sampai sekarang.

Lagi, ku jalankan mobil menyusuri jalan raya yang padat tanpa menghiraukan suara kendaraan meski terdengar bising. Tujuanku hanya satu fokus ke tempat suami, Mas Beno bertugas. Mas Beno juga seorang dokter spesialis THT. Kami menikah setelah enam tahun pacaran semasa kami kuliah dulu di universitas yang sama. Cukup merasa mantap kami akhiri hubungan ini dengan melanjutkan ke jenjang pernikahan setelah sama-sama mengambil gelar dokteran.

Aku sampai di tempat klinik Mas Beno bertugas yang disambut oleh suster Lia.

"Bu Rea, apa kabar?" tanya suster Lia.

"Baik, Sus," jawabku.

"Dokter Beno lagi keluar, Bu," ucapnya.

"Kemana, Sus ?" tanyaku penasaran.

"Gak tau, Bu. Dokter cuma berpesan jika ada pasien minta dokter pengganti," ujarnya menjelaskan.

Dahi mengernyit, seingatku Mas Beno hari ini tidak ada jadwal keluar.

"Makasih, Sus. Aku akan segera pulang saja menunggu di rumah," ucapku dengan berpamitan kepada suster Lia yang sedang memeriksa berkas pasien.

Kutinggalkan klinik tempat Mas Beno bertugas dan menuju pulang kerumah. Rasa bahagia menyeruak di hati ini karna hari yang dinanti tiba, aku akan memberikan kabar gembira kepada lelakiku kalau positif hamil.

Yah, anak yang sudah kami tunda selama kami menikah tiga tahun. Kami sepakat untuk menunda memiliki anak karena tuntutan tugas dan kesibukkan. Di tahun keempat pernikahan aku berencana hamil karena sudah merasa mantap dengan keyakinan untuk memberi sebuah tawa seorang anak kecil yang akan hadir melengkapi kebahagian keluarga.

Ku parkirkan mobil setelah sampai di halaman rumah. Ternyata mobil Mas Beno juga sudah ada di rumah duluan. Langkah kaki terasa ragu saat ingin memasuki rumah. Jantung terasa berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Perasaan makin tak karuan ketika kudengar suara desahan manja dari arah kamar. Dengan gemetar mencoba membuka handle pintu yang ternyata tak di kunci.

Cekrek..

Deg!

"Mas Beno?" jantungku terasa berhenti dipompa dari aliran darah saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri ia sedang melakukan gerakkan bersama Anisa adik kandungku.

"Rea," ucapnya dengan terkejut dan langsung bangkit mengambil kemeja yang berserakkan di bawah lantai.

"Mba Rea," Nisa langsung menyelimuti tubuh polosnya dengan selimut dan segera berlutut di kakiku.

Plak! Kutampar Adikku dengan tangan sendiri yang terasa gemetar. Gak puas dengan menamparnya aku pun menjambak rambutnya dan membenturkan kepalanya ke tembok. Darah segar mengalir dari pelipisnya. Namun, Nisa hanya diam tanpa membalas dan menghentikan aksi saat menghajar dengan ganas.

"Hentikan, Rea!" pinta Mas Beno yang berlutut di kakiku.

Aku terdiam tanpa berkata-kata sedikit pun.Seakan bumi tempatku berpijak tidak terasa melayang. Hati ini hancur bagaikan kaca yang retak menjadi serpihan kecil terburai. Bagaimana mungkin dua orang yang kupercaya tega mengkhianati dan menusuk dari belakang.

"Sejak kapan, Mas?" tanyaku emosi dengan nada yang tinggi.

"Rea, maafkan aku! Aku tau ini salah tapi aku juga manusia yang khilaf," ujarnya dengan lirih.

"Khilaf, maaf, apakah sesudah berbuat dosa dengan mudahnya kamu minta maaf," ketusku dengan sorotan tajam mengarah ke Mas Beno.

"Aku tau tindakanku ini keliru dan tidak bisa di benarkan di mata hukum dan agama," jawabnya lirih.

"Cukup! Jangan berdiri atau pun menyentuhku," ucapku dengan menepis tangannya saat hendak memeluk.

"Mba Rea, aku ... minta maaf," kata Nisa dengan gugup.

"Aku jijik melihatmu," kutolak tangan Nisa yang akan memeluk kaki ini.

"Tolong berikan aku satu kesempatan untuk memperbaiki semua ini, Rea," pintanya dengan memelas.

"Aku benci kamu Mas, aku benci!" teriakku dengan nada tinggi.

Aku tidak bisa lagi membendung air mata yang sedari tadi sudah kutahan. Rasa panas dan perih kurasakan bagaikan ditikam ribuan belati. Sakit, sakit ini tidak bisa di sembuhkan atas pengkhianatan.

"Kamu atau aku yang harus pergi?" tanyaku menatap Mas Beno.

"Rea, aku tidak bisa."

"Kamu atau aku, Mas?" aku memotong ucapannya.

Aku berusaha menahan isakan, supaya mereka tak mendengar tangis. Aku memalingkan wajah ke arah jendela kamar.

"Baiklah, jika ini maumu. Biar aku saja yang pergi dari rumah ini dan membawa Nisa ikut bersamaku," ucapnya dengan mantap tanpa pertimbangan.

Jedar. Langkah terhenti ketika aku menegakkan wajah. Manik mata kami bertemu di satu titik. Aku tertegun dengan apa yang diucapkannya. Apa katanya tadi? Dia akan membawa adikku. Sungguh pria yang tidak bermoral sudah ketahuan selingkuh masih ingin menyakiti.

"Apa katamu, Mas?" tanyaku menyakinkan pendengaran yang aku dengar tadi dari Mas Beno.

"Iya, aku akan menikahi Anisa adik kandungmu. Karena Nisa sekarang sedang mengandung benihku," katanya dengan lantang.

Seraya menggenggam tangan Anisa dan membantunya berdiri. Wajah itu tidak terlihat lagi rasa bersalah, tapi terlihat semingrah.

Sekali lagi aku kalah dari mereka. Adik kandungku yang tersayang dan ku bela mati-matian bagaimana bisa mengkhianati begitu hina. Suami yang kupuja-puja bagaikan dewa bagaimana bisa memilih saudara satu darah. Mungkin jika orang lain berada di posisi ini tidak akan sanggup menerimanya.

Jika tadi berselingkuh dengan wanita lain aku masih bisa memaafkan tapi ini dengan adik kandungku yang sudah kubesarkan dengan kasih sayang kini harus menjadi madu yang paling menyakitkan.

"Aku akan menikahi Nisa, Rea", ucapnya sekali lagi.

"Kamu, manusia atau bukan, Mas? Kamu menikahiku tapi juga ingin menjadikan, Anisa adik kandungku sebagai maduku!" seruku tak percaya.

"Ini keputusanku, Rea. Karena hubungan kami sudah melangkah jauh dan Nisa juga sudah mengandung anakku," jawabnya.

"Cukup, Mas! Aku tidak sudi punya madu Adik kandung. Lebih baik kita pisah saja daripada aku harus menanggung aib kalian," cecarku kesal.

"Mba Rea, ampuni aku. Semua ini karena kebodohanku telah jatuh cinta pada suamimu," ucap Nisa lirih.

"Berhenti untuk membela diri, Nisa!" hardikku.

Beberapa saat kami saling diam. Mas Beno terlihat menuju ke arah lemari pakaian dan mengemasi barang-barangnya dan beberapa keperluan yang kemudian memasukkannya ke dalam koper dan menyeret dari hadapanku.

"Aku pergi, Rea. Jaga dirimu baik-baik!" ucapnya.

Seraya menggandeng tangan Nisa dan berlalu pergi meninggalkanku di dalam kamar yang sudah mereka habiskan dalam percintaan panas.

Tubuhku ambruk ke lantai bagaikan tak bertulang. Tangis ini pecah tanpa bisa terbendung lagi. Sakit rasanya dikhianati dengan kepercayaan yang begitu besar diberikan kepada orang terdekat. Mata ini nanar saat memandangi kasur yang mereka gunakan untuk berselingkuh.

Teganya Adik dan suamiku menikung dari belakang bahkan mereka melakukan di ranjang tempat kami pernah melabuhkan cinta bersama pada saat masa indah kemarin. Kuelus perut yang masih rata dengan deraian air mata. Kabar gembira yang belum sempat kusampaikan pada Mas Beno bahwa aku hamil dan mengandung anak belum dikatakan.

Bahkan aku yang lebih dulu mendengar adikku hamil oleh suamiku. Kandungan yang baru memasuki dua minggu harus kusimpan sendiri aku tidak ingin dikasihani oleh Mas Beno. Aku tidak ingin dia kembali hanya untuk bertanggung jawab hanya karena anak ini. Lebih baik diri sendiri dan menyimpan rahasia rapat-rapat dia tak perlu tahu.

Andai Mas Beno juga tahu, aku tak mungkin menerimanya kembali. Rasa jijik, mual dan benci membuat diri ini enggan kembali. Biarlah akan tetap seperti sebelum kami menikah, sepi tanpa kehadirannya.

***

Bersambung.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Morina

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku