Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mendadak Dinikahi CEO

Mendadak Dinikahi CEO

Chaachees

5.0
Komentar
245
Penayangan
9
Bab

Chayana yang berniat ke pesta pernikahan Ray--seorang CEO di tempatnya bekerja, untuk memergoki kekasihnya yang berselingkuh, malah ditarik paksa oleh pengantin pria itu ke altar pernikahan. Pikiran Chayana seketika blank, hatinya hancur saat ia melihat Damian--kekasihnya tampak mesra dengan wanita hamil di sana. Chayana pasrah saja saat Ray selesai mengucapkan ijab kabul. Dunianya berubah dalam sekejap. Chayana bahkan tak mengenal Chayana dan pria itu kini menjadi suaminya. Pria yang tidak Chayana harapkan untuk memberikan cinta padanya. Namun, satu hal yang tidak Chayana ketahui di balik sosok Ray adalah pria itu amat gila. Tidak. Benar-benar gila!

Bab 1 Undangan

Awalnya, kehidupan sehari-hari Chayana berjalan dengan baik seperti biasanya. Namun, sejak kehadiran Ray di kampus, membuat wanita itu benar-benar muak.

Kemana pun ia pergi, telinganya selalu mendengar nama pria itu. Pelajar pindahan yang merenggut hati semua wanita di kampus. Chayana tak tertarik dengan hal semacam itu. Semuanya bermula sejak si playboy itu melakukan hal tak senonoh di kamar sebelahnya.

Setiap malam, Chayana tak bisa tidur karena suara Cantika sang permaisuri kampus selalu mengganggu telinganya. Suaranya yang tengah beradu dengan pria yang ia panggil Ray.

Selama seminggu, Chayana menahan semuanya. Titik kesabarannya serasa sudah berada di puncak teratas. Wanita itu akhirnya memilih menemui Ray dan mengajaknya mengobrol empat mata saja.

"Ngapain lo ajak gue ke sini? Mau bilang suka sama gue?"

Chayana memejamkan matanya sejenak mendengar perkataan Ray yang amat percaya diri. Tangannya gatal ingin memukul pria itu tetapi ia tahan.

"Bisa ngak lo jangan ke kamarnya Cantika? Risih gue dengar suara kalian."

"Kalau gue ngak mau, lo mau apa?" Ray berjalan lebih dekat dengan Chayana.

Biasanya perempuan yang ia dekati akan mundur dengan malu-malu dengan tatapan kagumnya. Namun, Chayana berbeda. Wanita itu bahkan tak bergeming. Kepalanya mendongak. Matanya tepat menatap Ray dengan tatapan kesal, marah serta jijik.

"Gue enggak ada pilihan berarti, selain laporin tindakan lo itu!" Jari wanita itu mendorong pelan dada Ray. Ia kemudian pergi dari sana meninggalkannya.

Ray berbalik menatap kepergian Chayana. Ia cukup tertarik pada wanita yang sama sekali tak menyukainya itu.

***

Laporan yang diberikan Chayana benar-benar berdampak buruk pada Ray dan Cantika. Walaupun sudah melakukan pembelaan bahwa ia tak pernah sekali pun ke kamar asrama wanita itu, Ray tetap saja harus dikembalikan ke kampusnya.

Ini karena seseorang melihatnya keluar pada malam hari. Ditambah dengan rekaman suara Cantika yang terus berteriak tak senonoh sembari memanggil namanya. Seakan mendukung itu, CCTV pun menampilkan seorang pria yang mengenakan jaket miliknya tengah memasuki kamar Cantika.

Ray sangat kesal. Pasti ada orang yang mencoba menjebaknya. Setelah dikeluarkan dari kampus itu, Ray mencari informasi tentang fitnah yang didapatkannya. Semuanya mengarah pada Chayana sebagai pelaku utamanya.

Wanita itu sengaja menjebak Ray agar bisa disingkirkan dari kampus. Chayana tak akan pernah tahu bahwa ia telah mengusik orang yang salah.

***

"Chayana! Woy!"

"Chayana?!"

"Iya, Maemun! Apaan, sih, teriak mulu!"

Chayana mendelik kesal menatap Mauren. Jika undang-undang memperbolehkan seseorang untuk mencekik, wanita itu pasti sudah mencekik.

"Lo tuh, yah! Kalau enggak ditegur pas melamun, ntar lo kesambet dedemit. Gue kan enggak sombong dan rajin menabung, makanya sadarin lo yang Astagfirullah!" Mauren melayangkan pukulan dengan menggunakan dokumen di tangannya ke kepala Chayana.

Wanita itu berusaha menghindari pukulannya. Namun, pada dasarnya tangan mungil Mauren yang gesit, Chayana terpaksa menerima pukulan itu.

Dering telepon yang berasal dari smartphone di atas meja kubikel milik Chayana terdengar nyaring. Wanita itu refleks melotot dan berdiri.

"Diii, bisa enggak sih, lo enggak usah melotot gitu?"

"Emang kenapa?" Chayana menatap Mauren.

"Lo kayak hantu Momo, sumpeek!"

Chayana yang tadinya melotot, kini menyipitkan mata. Ia kembali tersadar dengan panggilan telepon itu. "Gue balas lo nanti. Pulang lewat mana lo?" Ujung jari telunjuk dan jari tengah wanita itu menunjuk ke arah matanya kemudian beralih ke mata Mauren seakan memperlihatkan bahwa ia akan mengawasi Mauren.

Mauren hanya menatapnya jijik. Mimpi apa gue bisa akrab ama nih, orang?

"Ha--halo, Sayang? Gimana? Kamu bisa temenin aku ke pestanya, enggak?"

Tingkah laku Chayana berubah 180 derajat saat menjawab telepon. Mauren mangap-mangap tak percaya. Ia lalu memasang wajah terjeleknya sembari mengikuti ucapan Chayana.

"Maaf, Sayang. Aku ada kerjaan di jam segitu."

Senyum Chayana perlahan memudar. Ia menatap sepatunya. Bahu yang semula bersemangat, turun perlahan.

"Enggak bisa kamu luangin waktu sebentar buat aku? Kita udah enggak ketemu hampir tiga minggu, loh."

Hening sebentar, sebelum pria di seberang sana kembali menjawab. "Sorry, Honey. Waktu rapatku udah dekat. Aku tutup, yah. Love you."

"Dami, tunggu sebentar aku---"

Chayana menatap lesu layar smartphone-nya. Wanita itu mendesis dan menghela napas panjang.

"Kalau gue enggak cinta ama lo, lo udah gue mutilasi, Ka*pret!"

Gila! Beneran gila kekasihnya itu. Chayana meredam amarahnya. Jika saja bukan karena cinta, ia sudah menghajar habis Damian. Asal tahu saja, jiwa preman sekolahnya sudah lama tak ia lampiaskan. Pria itu sepertinya cocok dijadikan pelampiasan. Namun, lagi-lagi Chayana hanya mampu menyusun rencana itu tanpa mampu mempraktekkannya.

Ia terlalu cinta pada Damian. Pria yang dulunya mengejar Chayana. Tergila-gila padanya. Bahkan saat ditolak pun Damian tetap mengatakan cinta kepada Chayana.

"Hmmm, ini kali, yah, setelah manisnya diambil, sepetnya dibuang."

Chayana menghela napas dan menipiskan bibir. Sabar. (1)

"Dulu dia yang ngejar, sekarang lo yang ngejar. Miris, sih."

Abaikan! (2)

"Mana dighosting sampe menahun lagi. Itu pacar atau pajangan?"

Sialan! (3)

"Mauren!"

"Duh, Diii. Lepasin hidung gue. Lo bar-bar amat! Sakiit, B*go!"

"Ada apa ini?"

Chayana menghentikan gerakannya. Ia yang tengah menarik lubang hidung Mauren ke atas, seketika mematung seperti manekin.

Buuuk!

Satu pukulan buku tebal, tepat mendarat di kepalanya. Ringisan kesakitan refleks keluar saat Pak Damar---Manajer Produksi, memukulnya.

"Lepasin hidung istri saya. Kamu mau saya hukum?"

Chayana menggeram. Selalu saja pria itu menggunakan keuntungannya sebagai atasan. Di lain sisi, Mauren tersenyum senang dan beralih ke samping Damar. Menggandeng mesra lengan suaminya.

"Gue juga bisa ngancam kali. Untung di sini cuman kita bertiga aja. Jadi, gue masih punya kartu AS." Senyum devil Chayana perlahan muncul. Ia melirik sekitar mencari sasaran yang pas untuk memberitukan sebuah rahasia.

Siluet matanya menangkap Alyar. Ia tersenyum. Saat akan memanggil Alyar---tukang gosip di divisinya, mulut Chayana dibungkam.

"Lo jangan mulai, deh. Surat resign gue belum selesai. Kalau ketahuan gue sama Damar udah nikah, bisa berabe."

Yah, di perusahaan properti bombastis ini memang tidak diizinkan menjalin hubungan sesama karyawannya. Namun, si Kudet Mauren pasti tidak tahu jika sekarang peraturan itu ditiadakan.

Hal itu karena sang pemegang saham tertinggi dikabarkan akan menikah dengan salah satu karyawan di sini.

Chayana menganggukkan kepalanya. Tentu saja ia tak akan memberitahukan pengumuman terbaru itu pada Mauren.

"Pa ... gi? Kalian ngapain? Eh, ada Pak Damar juga." Rendra lantas membungkuk singkat sebagai tanda hormat pada Pak Damar.

Pria berkacamata itu melirik sekilas pada Chayana dan Mauren. Sadar akan itu, Mauren lantas melepaskan bekapannya dan berdiri tegak.

"Pak Damar sedang apa di sini?"

"Hanya ingin melihat-lihat. Saya permisi dulu." Setelah mengatakan itu, ia pergi dari sana. Rendra hanya mampu mengernyit bingung. Ia kemudian menatap Chayana dan Mauren yang kompak menggelengkan kepala.

***

"Oke, Doi. Saatnya lampiasin kekesalan lo lewat makanan pesta."

Mata Chayana menatap satu persatu gaun yang berada di dalam lemarinya. Mencari-cari pakaian mana yang akan ia pakai di pesta pernikahan CEO perusahannya.

Entah sekaya apa orang itu hingga mengundang seluruh karyawan di perusahaan pusat. Belum lagi dengan rekan bisnisnya. Chayana tidak mau memikirkan hal itu.

Gaun biru navy dengan punggung lebar terbuka dengan lengan berenda simple, serta kerah leher sebatas bahu, menjadi pilihannya kali ini. Ia lalu memadukannya dengan kalung dan anting silver yang mengkilat.

"Nice fashion," ungkap Chayana saat melihat tampilan dirinya di cermin kamar. Kulit kuning langsatnya sangat cocok dipadukan dengan pakaiannya saat ini.

Sembari menggumamkan sebuah lagu, Chayana meraih tas tangan simple lalu keluar dari kamar.

"Mas, liat anak kamu, nih." Mamah Jihan memperhatikan Chayana dari atas hingga bawah. Chayana mengerjabkan mata dan tersenyum singkat.

"Wajah? Cantik pake banget. Tinggi badan? 168 cm, enggak tinggi amat, enggak pendek juga. Body? Dada gede, pinggul ramping, yang di belakang juga montok. Karir? Beuhh! Apalagi. Tapi sayang banget, enggak bisa bawa calon suami ke depan mamahnya."

Tatapan Mamah Jihan berubah. Ia menggeleng miris. Senyum Chayana luntur sedetik setelah sang mamah mengatakan itu. "Udah turun berapa harga kamu?"

Astagfirullah, mulut mamahnya. Dikira Chayana cabe kali. Main minta turun harga!

"Mah, mulutnya bisa di-filter, enggak? Ini aku loh, Mah. Anak Mamah."

"Percuma anak mamah kalau kamu enggak bisa bawa calon suami kamu ke sini."

Chayana memutar matanya ke atas. Ia mendekat dan menyalami tangan Mamah Jihan. Wanita itu berjalan mendekati sang papa yang tengah duduk di ruang tamu sembari mengisi TTS. Chayana menyalami tangan pria itu.

"Jam berapa pulangnya?" tanyanya sambil melepaskan kacamata yang sedari tadi dipakainya.

"Emmm ... yang pasti habis makanlah, Pah," kata Chayana dengan cengiran khasnya. Papah Morgan tersenyum singkat.

"Jangan lama-lama di sana, yah. Kamu ditemani sama siapa ke sana?"

Pertanyaan ini membuat Chayana menelan ludah. Bingung harus menjawab apa. Namun, ia tidak mungkin berbohong pada sang papah.

"Sendiri, Pah." Morgan tampak tertegun. Ia lantas meraih telepon di atas meja dekat sofa. Chayana hanya mampu menghela napas pasrah.

Sudah ia duga hal ini akan terjadi. Papahnya mana bisa membiarkan dirinya pergi sendirian saja di malam hari?

"Iqbal, pulang cepat. Temani adik kamu ke pesta."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku