/0/20791/coverorgin.jpg?v=e65667aa7d62f9ca14b86f6ae32ad138&imageMogr2/format/webp)
Layar laptop memantulkan cahaya putih pucat ke wajah Vanya yang kusut. Email dari universitas terbuka di hadapannya, huruf-huruf hitam yang seolah menari mengejek di atas latar putih. "Kami menyesal harus menginformasikan bahwa permohonan beasiswa Anda tidak dapat kami setujui untuk periode ini..."
"Sialan!" Vanya memukul meja hingga cangkir kopinya bergetar. Kopi dingin yang tersisa sedikit tumpah, meninggalkan noda coklat di atas kertas tugas yang belum selesai.
Jemarinya yang gemetar mengklik tab browser lain. Sistem pembayaran universitas menampilkan angka yang membuat perutnya mual-lima belas juta rupiah untuk semester depan. Deadline pembayaran: dua minggu lagi.
Vanya menjatuhkan kepalanya ke meja, hidungnya mencium aroma kayu lapis murah yang bercampur dengan bau kopi basi. Rambutnya yang kusut menutupi wajah, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata.
"Kenapa sih selalu gini..." bisiknya pada dinding kamar kos yang mengelupas catnya.
Ponselnya bergetar. Pesan dari mama.
"Vanya sayang, papa baru dapat resep dokter lagi. Ada obat yang gak dicover asuransi. Obatnya mahal sekali. Maaf ya nak, bulan ini mama belum bisa kirim uang untuk kamu."
Vanya menggigit bibir bawahnya sampai terasa asin darah. Dia tidak bisa, dan tidak akan menambah beban orang tuanya. Papa sudah cukup menderita dengan penyakit diabetesnya yang semakin parah. Mama sudah bekerja dari pagi sampai malam di warung.
Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak.
"Van? Kamu di dalam?" Suara Riska terdengar khawatir.
Vanya cepat-cepat menghapus air mata dengan punggung tangan. "Masuk aja, Ris. Nggak dikunci."
Riska melongokkan kepala, rambut bob burgundy-nya berayun. "Wah, mukamu kenapa? Kayak orang habis nonton drama Korea tiga episode berturut-turut."
"Beasiswa ditolak." Vanya menunjuk layar laptop dengan dagu.
"Anjir, yang bener?" Riska masuk dan menutup pintu. Dia menjatuhkan diri di kasur Vanya yang berderit protes. "Padahal IPK-mu kan 3,8?"
"3,85." Vanya tertawa pahit. "Tapi tetep aja kalah sama anak-anak yang punya 'prestasi non-akademik'. Alias yang bapaknya pejabat."
"Kampret emang sistem negara ini." Riska meraih tas keripik singkong dari meja Vanya dan mulai mengunyah dengan berisik. "Terus gimana? Semester depan?"
Vanya memutar laptopnya menghadap Riska, menunjukkan halaman pembayaran. Riska tersedak keripik.
"Lima belas juta?! Itu mah bisa buat beli motor!"
"Makanya." Vanya menutup laptop dengan kasar. "Dua minggu lagi deadline-nya. Kerjaan part-time di kafe cuma dapat tiga juta sebulan. Mau ngutang ke siapa coba?"
***
Sementara itu, di sisi lain Jakarta yang gemerlap, Erick Wijaya melempar ponselnya ke sofa kulit Italia yang empuk. iPhone terbarunya mendarat tanpa suara di permukaan yang lembut. Suara ibunya masih terngiang di telinga.
"Erick, kamu sudah 32 tahun! Anak teman mama yang umurnya 28 aja sudah punya dua anak. Kamu kapan? Mama mau cucu!"
Erick mengusap wajah dengan telapak tangan. Parfum Tom Ford yang dipakainya tercium samar, bercampur dengan aroma whisky yang baru dituangnya. Liquid emas itu berputar pelan di dalam gelas kristal saat dia mengangkatnya.
Jendela floor to ceiling apartemennya menampilkan pemandangan Jakarta malam hari. Lampu-lampu gedung berkelap-kelip seperti bintang buatan. Dari lantai 45 ini, semua masalah terlihat kecil. Kecuali satu masalah yang terus menghantuinya.
Kesendirian.
"Persetan," gumamnya, meneguk whisky sampai tenggorokannya panas.
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini email dari sekretarisnya.
"Pak Erick, pengingat untuk makan malam dengan Ms. Clarissa Tanujaya besok malam di Amuz. Reservasi sudah saya buatkan untuk pukul 19.00."
Clarissa. Anak pengusaha properti yang sudah tiga kali di set up sama tantenya. Cantik? Jelas. Pintar? Lulusan Wharton. Tapi Erick sudah tahu endingnya. Sama seperti yang lain-lain.
Minggu lalu, dia tidak sengaja mendengar Clarissa telepon sama temannya. "Gila, Erick Wijaya lho! Net worth-nya triliunan. Gue harus bisa dapetin dia. Lo bayangin, jadi nyonya Wijaya..."
Erick memutar kursinya menghadap koleksi foto di meja. Satu-satunya foto yang ada dirinya bersama Jonas di hari wisuda MBA mereka. Dua orang bodoh yang percaya mereka bisa mengubah dunia. Sekarang perusahaannya memang mengubah landscape teknologi Indonesia, tapi hidupnya? Tetap kosong.
Dia membuka laptop. Email dari investor, proposal merger, laporan kuartalan, semua menunggu perhatiannya. Tapi malam ini, Erick tidak peduli. Jarinya malah mengetik sesuatu yang lain di search bar.
"Cara mengatasi kesepian"
Hasil pencarian membuatnya mendengus. Artikel-artikel klise tentang hobi baru, adopsi hewan peliharaan, atau... online dating?
"Yang bener aja," Erick menutup laptop.
Tapi pikirannya terus berputar. Setiap hubungan yang dia jalani selalu berakhir sama. Begitu tahu siapa dia sebenarnya, topeng-topeng mulai terlepas. Yang tersisa hanya keserakahan dan kepalsuan.
***
Vanya menatap layar laptopnya dengan mata sembab. Riska sudah pulang sejak sejam lalu, meninggalkannya sendirian dengan pikiran yang kacau. Jari-jarinya bergerak tanpa sadar, scrolling media sosial tanpa tujuan.
Sebuah iklan muncul di timeline-nya. Banner merah muda dengan font elegan.
"Elite Companionship - Where Successful People Meet"
/0/20632/coverorgin.jpg?v=20241127115516&imageMogr2/format/webp)
/0/9966/coverorgin.jpg?v=d67e4f318c955a96a840db011a89bc29&imageMogr2/format/webp)
/0/20775/coverorgin.jpg?v=20250124101222&imageMogr2/format/webp)
/0/19676/coverorgin.jpg?v=20241030112446&imageMogr2/format/webp)
/0/17297/coverorgin.jpg?v=20240430160016&imageMogr2/format/webp)
/0/4037/coverorgin.jpg?v=20250121182026&imageMogr2/format/webp)
/0/6397/coverorgin.jpg?v=769b06958a414109ceac1d6882d8c676&imageMogr2/format/webp)
/0/20472/coverorgin.jpg?v=20250407143143&imageMogr2/format/webp)
/0/15724/coverorgin.jpg?v=20250123121008&imageMogr2/format/webp)
/0/16324/coverorgin.jpg?v=20240305130037&imageMogr2/format/webp)
/0/14814/coverorgin.jpg?v=854802d37ecb0d3e47efdc8e53e216da&imageMogr2/format/webp)
/0/21473/coverorgin.jpg?v=20250114182852&imageMogr2/format/webp)
/0/19448/coverorgin.jpg?v=20240830165606&imageMogr2/format/webp)
/0/9901/coverorgin.jpg?v=20250122182528&imageMogr2/format/webp)
/0/2717/coverorgin.jpg?v=20250120155946&imageMogr2/format/webp)
/0/23567/coverorgin.jpg?v=20250617060435&imageMogr2/format/webp)
/0/16134/coverorgin.jpg?v=66fc560e7566486585e9b8a6289ff325&imageMogr2/format/webp)
/0/5243/coverorgin.jpg?v=20250121173805&imageMogr2/format/webp)
/0/8261/coverorgin.jpg?v=20250122152441&imageMogr2/format/webp)