Jadi Wanita

Jadi Wanita

Sangkan

4.9
Komentar
4.1K
Penayangan
7
Bab

Sota seorang pemuda yang berusia 20 tahun. Sota seorang lelaki pengangguran berat. Dia sangat malas beraktifitas. Sota seorang yang cerdas dalam kelicikan. hari-harinya hanya diisi dengan bermain gawai. Artisa seorang ibu yang berusia 45 tahun. Artisa berbeda dengan anaknya, dia sangat rajin bekerja. Dia juga perhatian pada Sota. Artisa juga sedikit licik walau tak selicik Sota. Sifat malas Sota membuahkan rasa kekhawatiran yang sangat besar di hati Artisa. Karena itu Artisa ingin mengubah sifat Sota secara total. Artisa menempuh cara yang tak biasa yaitu dengan mengubah tubuh Sota. Apakah yang terjadi pada Sota? Apakah dia bisa berubah sesuai dengan harapan Artisa?

Bab 1 Perubahan Tubuh

Hidup di kalangan keluarga biasa tak membuat seorang pemuda berumur 20 tahun yang bernama Sota segera berubah. Internet telah melenakannya. Setiap hari hanya medsos yang dihadapi. Rayuan demi rayuan dia lancarkan. Tapi tiada perubahan bagi Laila, perempuan yang selama ini menjadi incaran.

Kursi panjang di ruang tamu tempat biasa Sota berbaring. Rumah ukuran sedang tempat bernaung setiap hari. Tak ada keinginan untuk keluar rumah. Artisa, sang ibu mengkhawatirkan masa depan anak bungsunya. Tak bosan setiap hari peringatan selalu dia utarakan.

"Sota, daripada kamu main medsos saja lebih baik kau ikut jejak kakakmu. Bekerja dan mencari uang," kata Artisa.

"Ibu mengganggu saja. Tunggu aku jadian dengan Laila," kata Sota dengan penuh kekesalan. Wajah sang ibu tak dilirik sedikit pun.

"Ta, kalau kau bekerja nanti Laila akan takluk sendiri."

"Ibu mana mengerti. Jika mengandalkan harta aku akan kalah saing. Hanya dengan cara ini aku bisa memiliki Laila."

"Apakah kau berhasil? Tidak kan. Makanya bekerja dulu baru mengincar Laila."

Omelan demi omelan keluar dari mulut Artisa. Tak tahan dengan itu Sota mengeraskan suara di gawainya. Suara ibu kini telah tak terdengar lagi. Jengkel tak diperhatikan anaknya, Artisa melepas earphone yang tertempel di telinga Sota.

"Sota, kamu tadi dengar tidak," kata Artisa agak keras.

"Iya, Bu." Beranjak Sota dari tempat rebahan. Kamar tidur menjadi tujuannya. Pintu kamar ditutup dengan keras, bentuk kekesalan terhadap sang ibu. Terkunci pintu dari dalam kamar tempat Sota berdiam diri.

Kelakukan Sota hanya bisa membuat Artisa geleng-geleng kepala. Tak mau ambil pusing lagi, Artisa melangkah keluar rumah.

Warung makan Mampiro tempat tujuan Artisa. Pintu belakang tempat biasa dia masuk. Seorang lelaki muda dia datangi. Ikan yang ada di wajan terdekat tergoreng sudah.

"Bu, Sota bagaimana?" tanya pemuda yang bernama Apis, dia kakak ipar Sota.

"Seperti biasa, tetap ingin mengincar Laila," jawab Artisa.

"Dasar Sota, mentang-mentang keluarganya baru mapan seenaknya sendiri. Apa Ibu sudah rayu Sota?" tanyanya lagi.

"Aku sudah bosan merayunya. Ayah dan istrimu saja tak sanggup mengatasi sifat malasnya."

"Sabar Bu, mungkin suatu hari nanti dia akan sadar sendiri."

Warung tempat mencari nafkah mulai ramai. Segenap anggota keluarga bekerja sesuai dengan porsi mereka masing-masing. Artisa mengecek bahan baku. Ketika persediaan telah menitip Artisa baru keluar untuk berbelanja.

Kian malam hari warung kian sepi. Para pelanggan telah pulang ke rumah masing-masing.

Artisa kembali lagi ke rumah. Sebungkus makanan dia bawa untuk Sota.

"Bu, aku sudah lapar. Ibu lama sekali pulang," keluh Sota.

"Kenapa kamu tidak buat mie instan atau goreng telur?" tanya sang ayah, Garu.

"Tak ada nasi atau apa pun yang bisa dimakan," kata Sota.

"Oh ya, Ibu lupa. Sekarang makanlah sepuasnya," kata Artisa.

Perut yang keroncongan membuat Sota tak tahan lagi. Dibuka bungkus makanan dan diambil isinya. Sebuah pisang goreng dia makan. Entah kenapa Sota malah mual dan muntah-muntah. Segala isi perut dia keluarkan. Sota berlari ke dapur. Kedua orangtuanya mengikuti dari belakang.

"Nak, ada apa?" tanya sang ayah.

Sota hendak menjawab pertanyaan tersebut. Pandangannya telah kabur terlebih dahulu. Kesadarannya telah hilang sebelum Sota sempat menjawab. Sang ayah membawanya ke dalam tempat biasanya Sota tidur.

***

Tujuh hari dalam seminggu telah dilalui. Selama itu juga Sota tak sadarkan diri. Artisa senantiasa menunggu si buah hati. Pekerjaan yang selama ini dilakukan terpaksa dia hentikan. Tak sedikit pun rasa cintanya hilang meskipun terkadang si anak mengabaikannya. Rasa lapar membuat Artisa pergi sementara meninggalkan Sota.

Pagi hari telah menyingsing. Cahaya mentari menembus jendela kamar yang terbuat dari kaca. Kala itu Sota terbangun karena cahaya yang membuat silau saat dipandang. Rasa pusing sedikit dia rasakan.

"Dimana aku?" tanyanya pada diri sendiri.

Terdengar dengan jelas suara perempuan dari mulut Sota. "Lho, Kok bisa?" terkejut dia dengan suaranya sendiri. Dilihatlah kedua tangannya, halus lembut bagaikan sutera. Otot pada tangannya semakin mengecil. Lalu Sota merunduk ke bawah. Sebuah tonjolan besar di badannya. "Tidak!" teriaknya sekeras mungkin.

Artira berlari menemui si anak. Berhenti sejenak di saat mendengar suara perempuan dari kamar Sota. "Aku harus memasang wajah polos agar anakku tak curiga kepadaku," katanya di dalam batin.

Masuklah Artisa ke dalam kamar Sota. Ditemui si anak yang sedang meneteskan air mata. "Nak, mengapa menangis?" tanyanya.

"Bu, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku berubah?" tanya Sota dalam tangisannya.

"Nak, Ibu sendiri tak tahu apa yang terjadi. Yang sabar Nak, kita nanti cari jalan keluarnya," kata Artisa. Didekaplah si anak untuk mempercantik aktingnya. Tapi air matanya tak bisa disembunyikan lagi.

Seharian sudah Sota terbangun. Tapi tidak juga dia beranjak dari tempat tidurnya. Mengurung diri di dalam kamar yang dia lakukan. Dilihat terus tubuhnya, seolah-olah dia tak percaya akan takdir yang menimpa padanya. Artisa selalu saja mendampingi si anak bungsu. Sekali-kali dia mengambilkan makanan, tapi selalu saja Sota tolak. Walau akhirnya Sota juga yang mengalah. Rasa sakit di perut tidak bisa dia tahan, apa pun pemberian sang ibu dia lahap. Tapi tetap saja dia tak mau mandi. Apalagi kini dia telah berubah.

Malam telah menjelang. Sinarnya rembulan menambah pedih hati Sota. erlip bintah sebagai penusuk luka di hati. Suara beberapa orang terdengar jelas dibalik dinding. Sota tak ingin siapa pun mengetahui bentuk wujud barunya. Selimut panjang dia kenakan. Sekujur tubuh tertutup rapat. Hanya hidung dan mata yang tampak dari luar.

"Sota, Ayah ada sesuatu untukmu!" panggil Garu.

Tiada keberanian Sota untuk menolak permintahan sang ayah. Langkah pelan menghantarkan dia kehadapan sang ayah. Rasa malu, sedih dan segalanya bercampur menjadi satu. Tubuh Sota bergemetaran. Riksa, sang kakak muncul dari belakang. Dibuka penutup kepala Sota. Rambut indah dan wajah cantik tubuh baru Sota terlihat jelas. Bingung bagaimana Sota menutupi identitasnya.

"Adikku yang manis, kamu tak perlu malu. Kami semua telah mengetahui keadaanmu," kata Rikma.

"Tapi, aku takut...," kata Sota.

"Tak usah takut, kami di sini bisa menerimamu apa adanya. Kasih sayang kami tak akan berkurang," kata Garu.

Selimut yang menutupi tubuhnya sudah tak berguna. Sota membuangnya begitu saja. Pakaian yang kedodoran masih dia kenakan. Langkah pelan berubah drastis. Berlarilah Sota dengan segenap tenaga di tubuh baru. Sang ayah tercinta dipeluknya. Tetes demi tetes air keluar dari kedua bola mata. "Ayah, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku?" tanyanya dalam pelukan.

"Nak, Ayah juga tidak tahu. Tapi jangan khawatir, suatu hari nanti kita akan mengembalikan dirimu seperti semula," jawab Garu.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Sangkan

Selebihnya

Buku serupa

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku