Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Wati tiba-tiba terjaga dari tidur. Tenggorokannya terasa amat kering. Ia menyingkapkan selimut dan menurunkan kaki ke lantai.
Pelan-pelan ia membuka pintu kamar agar tidak terdengar deritan dari engsel pintu yang belum pernah diminyaki. Ia tidak ingin membuat gaduh sehingga membangunkan Dedy yang tengah tidur dengan istri keduanya di kamar seberang.
Wati hendak berjalan menuju ke ruang makan untuk mengambil air minum. Ketika kaki Wati melewati kamar madunya, terdengar suara-suara mencurigakan dari dalam sana. Ia ingin tidak mendengarkan, tapi penasaran. Akhirnya Wati berhenti di depan pintu kamar madunya.
“Kamu hebat, Mas. Selalu perkasa,” bisik Rara dari dalam kamar.
“Kamu juga hebat, Sayang. Tidak seperti Wati yang tidak tahu caranya melayani suami di kasur,” balas Dedy juga berbisik.
Meskipun mereka berbisik-bisik, tapi sunyinya suasana malam membuat bisikan itu terdengar dengan baik oleh telinga Wati yang berada di luar pintu kamar.
Wati mengepalkan tangan yang gemetar. Dihina suami sendiri di depan madu, siapa yang tidak geram? Padahal ia tak pernah menolak melayani Dedy di kasur dalam kondisi apapun. Dedy minta permainan dengan gaya apapun juga tidak pernah ia tolak. Dedy sudah berbohong kepada Rara.
“Kenapa kamu nggak menceraikan dia saja sih, Mas?” bisik Rara lagi.
“Buat apa? Wati bisa membantumu mengerjakan pekerjaan rumah, jadi nggak perlu repot-repot membayar pembantu,” sahut Dedy masih berbisik.
Rara terkikik kecil. Suara yang keluar dari mulutnya seperti ditahan dengan tangan.
“Betul juga. Kamu pintar, Mas,” ujar Rara.
“Iya, dong. Aku nggak mau tangan halusmu ini kasar karena mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah lain. Biar tangan ini membelai-belaiku saja,” imbuh Dedy.
“Tapi, bagaimana kalau nanti Wati mengadu kepada keluarganya kalau di sini dijadikan babu?” tanya Rara cemas.
“Nggak usah khawatir. Dia itu yatim piatu. Nggak punya keluarga lagi buat tempat mengadu,” jawab Dedy tenang.
Di balik pintu, Wati menggigit bibirnya dengan perasaan tertusuk. Air mata turun mengalir di pipi. Ia membalik badan, lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dengan langkah hati-hati seperti keluarnya tadi. Rasa hausnya sudah hilang.
Wati menangis diam-diam di balik bantal. Sengaja menutupi isaknya agar tidak ketahuan. Ternyata sebusuk itu Dedy yang pernah memintanya menjadi istri.
Dulu, Dedy melamarnya sambil berlutut seperti adegan di film-film romantis. Ternyata semua itu hanya siasat demi mendapatkan yang diinginkannya. Setelah manisnya didapat, sepah dibuang.
Ke mana janji Dedy dulu saat meminta izinnya untuk menikah lagi? Janji bahwa hidup mereka akan lebih baik setelah Dedy menikah dengan Rara. Ternyata semua itu hanya pemanis bibir. Nyatanya, semua itu hanya taktik licik untuk mendapatkan izin Wati saja.
Wati teringat dulu saat mereka baru pertama kali menikah. Dedy masih bekerja serabutan, sementara Wati mengurus rumah tangga dan tidak bekerja di luar rumah. Terkadang Dedy mendapatkan uang, terkadang tidak. Oleh karena itulah rezeki yang didapat pada hari ini harus dapat disisihkan untuk esok hari. Berjaga-jaga kalau besok tidak ada lagi uang yang didapat.
Berlauk makan ikan asin dan sambal sudah jadi makanan yang sering dijalani. Satu hari bisa masak saja Wati sudah sangat bersyukur. Sering kali terjadi, satu butir telur dijadikan telur dadar dengan menambahkan air dan tepung terigu yang banyak agar dapat dimakan berdua.
Oleh karena itulah, saat mendapatkan pekerjaan sebagai kuli angkut barang di toko kelontong di pasar, Dedy maupun Wati sama-sama bersorak gembira.