Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
6K
Penayangan
41
Bab

Awalnya Wafa diajak oleh Dika, sang suami untuk menumpang di rumah temannya Dika yang bernama Cindy. Di sanalah awal mula kehidupan rumah tangganya dipenuhi ujian. Dimulai menjadi babu, kehilangan anak hingga misteri kehamilan Cindy. Hingga membuat rumah tangga keduanya mulai gonjang-ganjing. Akankah wafat bertahan dengan rumah tangganya? Atau memilih mundur meskipun harus terseok-seok sendiri? Awalnya keadaan berjalan dengan baik. Namun perlahan Cindy selalu mendominasi terhadap rumah tangga yang dijalani oleh Wafa dan Dika. Dengan lembut Cindy meminta Wafa agar menjadi babu di rumahnya. Belum lagi dengan kehadiran ibunya Dika yang ternyata lebih menyukai Cindy, ketimbang menantu, Wafa. Keadaan semakin runyam dengan kematian putra sulung mereka yang bernama Delon. Yang seluruh biaya rumah sakit di tanggung oleh Cindy. Disusul dengan kabar kehamilan Cindy yang mendadak.

Bab 1 Numpang Di Rumah Teman

Bab 1: Numpang Di Rumah Teman

"Apa? tinggal di rumah temen kamu, Mas? apa nggak salah Mas? Masa kita numpang di rumah orang lain sih!"

Entah otakku yang sulit untuk mencerna ucapan suamiku, atau kewarasanku hilang kala Mas Dika, mengutarakan keinginannya mengajakku dan keluarga kecilku untuk tinggal di rumah temannya Mas Dika, yang bernama Cindy.

"Nggak Wafa, kamu nggak salah dengar, Mas bener-bener ... "

Mas Dika terlihat frustasi, ia bahkan tak melanjutkan ucapannya, kedua tangannya menjambak rambutnya kasar. Aku tahu, saat ini, dirinya sangat depresi atas apa yang terjadi beberapa waktu lalu, pada pekerjaannya yang membuat hidup kami, di titik terendah saat ini.

"Oke Mas, aku ngerti, saat ini kita harus pergi dari rumah ini, tapi Mas, masa sih harus tinggal di tempat teman kamu!"

Aku mengeluh, ini sulit untuk kuterima, karena wanita yang bernama Cindy tersebut, bukankah saudara dekat Mas Dika, apalagi keluarganya. Hanya teman.

"Ya terus gimana lagi Wafa, kita nggak mungkin tinggal di jalan! coba kamu pikir, dimana kita tinggal dengan anak-anak? Mas juga bingung, saat ini Mas nggak punya uang, gajian juga seminggu lagi, Mas sudah hubungi teman-teman Mas, tapi mereka nggak ada yang bisa bantuin Mas, selain Cindy, jadi Mas mohon sama kamu, supaya kamu ikut sama Mas ya!"

Lagi-lagi Mas Dika meyakinkan aku untuk mengikutinya ke tempat wanita yang, sejujurnya aku tidak mengerti mengapa wanita yang bernama Cindy itu mengijinkan aku, tepatnya keluarga kecilku tinggal bersamanya. Mengapa dia sebaik itu?

Pertanyaan mendasar dari seorang istri adalah, sedekat apa wanita itu dengan suamiku, sehingga wanita itu bersedia menampung kami di tempat tinggalnya ini sulit kuterima sebagai wanita biasa.

"Apa kita tinggal di rumah ibu saja Mas,"

Kuharap saranku bisa Mas Dika terima. Walaupun sejujurnya, aku pun tak yakin akan mampu berdampingan dengan wanita yang disebut mertua tersebut. Karena bagi kaum hawa, tinggal di pondok mertua itu lebih horor ketimbang tinggal di tempat yang lama tak berpenghuni.

"Nggak Wafa, kamu sendiri juga tau, gimana keadaan ibu dan kamu. Kalian selalu cekcok. Memangnya, kamu bersedia tinggal dan berdamai dengan ibu? sedangkan kalian selalu saja berbeda arah, berbeda pendapat."

Kedua bola mataku terpejam. Ya, apa yang diucapkan Mas Dika memang ada benarnya, aku dan ibu mertuaku selalu saja beda paham, kami seperti dua arah yang berbeda, selalu berlainan dan selalu berbeda paham. Bahkan meskipun itu hal kecil.

Dengus napas kasar keluar dari hidungku, rasanya keadaan ini benar-benar membuat otakku pecah. Disaat seperti ini orang-orang yang dibutuhkan pun seolah menghilang dari hidup kami. Padahal, hidup kami tak pelit-pelit amat kok untuk menolong orang lain. Dulu.

"Mas, ini ada cincin pernikahan kita, gimana kalau kita jual saja dulu, atau kita gadaikan saja, barangkali kita bisa menemukan kosan kecil, atau kontrakan."

Aku berikan saran lain pada Mas Dika, karena aku memiliki firasat yang tak nyaman tentang rumah tangga kami, jika harus menumpang di rumah teman suamiku tersebut. Risih pula

Apapun alasannya, aku sangat yakin bahwa dalam rumah tangga, yang terbaik adalah pisah rumah. Jangankan dengan teman wanita, bahkan dengan mertua pun atau bahkan sekalipun dengan orang tua sendiri, ngontrak atau berpisah adalah jalan yang terhormat.

Dan aku memperjuangkan hak untuk dihormati orang lain dengan cara mengontrak atau ngekost.

"Jual cincin kawin? Ya Tuhan, Wafa, kamu tuh aneh ya, cincin kawin itu cincin yang sangat sakral untuk pernikahan, lambang ikatan suci pernikahan, kok bisa-bisanya sih kamu kepikiran untuk menggadaikan atau menjual cincin demi menghindari numpang di rumah temen aku!"

Sudah kuduga, Mas Dika menolak saran dariku, padahal aku hanya berniat menggadaikan, nanti jika sudah gajian, aku bisa menembusnya kembali, itu pikirku.

"Mas jangan salah paham, aku cuman pengen menggadaikan, bukan menjual Mas, nanti kalau kita sudah dapat uang lagi, kita terus lagi cincinnya,"

Selaku, tak terima dengan pemikiran dan penolakan Mas Dika. Entah harus bagaimana cara meyakinkan suamiku agar kami mandiri. Tak perlu mengandalkan bantuan dari orang lain. Agar kedepannya tak perlu menjadi hutang budi.

"Enggak ah, Mas enggak setuju, lagian nggak ada yang jamin kalau cincin kita akan tetap ada di tempat itu, takut juga jika seandainya gak ke tebus. Jadi, Mas gak setuju kalau kamu, gadaikan cincin itu. Cincin pernikahan itu sakral untuk kita Wafa,"

Mas Dika tak setuju dengan ideku.

Aku senang Mas Dika menghargai arti kesakralan pernikahan kami. Namun, saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas tentang simbol cincin pernikahan. Ada yang lebih penting dari itu semua.

Jari jemariku memijit pelipis yang terasa pening. Entah harus ucapan seperti apa yang harus ku lontarkan kepada suamiku, agar dia tidak menerima penawaran dari teman baiknya yang bernama Cindy tersebut untuk menampung kami.

Parahnya, saat ini memang aku sama sekali tidak memegang uang yang besar untuk menyewa hotel atau apartemen barang sehari, dua hari. Tragis memang.

"Coba aja Mas, kalau saat itu kamu nggak teledor dengan barang orang lain, Mas!"

Tanpa sadar, mulutku begitu saja mengeluarkan keluhan tentang kejadian yang membuat keadaan kami saat ini terpuruk.

Yaitu, tentang kejadian beberapa minggu lalu, tentang suamiku yang meminjam mobil temannya yang milyaran rupiah, teledornya lagi, ia malah mengalami kecelakaan yang menyebabkan ganti rugi yang tak sedikit bagi dompet kami.

Dan akibat keteledoran tersebut, membuat uang tabungan kami terkeruk untuk ganti rugi mobil tersebut, bahkan rumah minimalis satu-satunya kami pun, harus dijual akibat keteledoran suamiku.

"Kamu nyalahin Mas, Wafa!"

Tajam Mas Dika menatapku. Pastinya ia tersinggung. Salahku.

"Maaf Mas, aku keceplosan."

Tanpa sadar, aku telah membuat suamiku tersinggung. Aku menutup mulutku, sebal pada diri sendiri.

"Harusnya kamu bersyukur Wafa! Seenggaknya aku itu masih hidup dan selamat! Hanya mobil itu yang cidera! Bukan aku!"

Mas Dika melotot emosi menatapku. Aku menunduk takut dan menyesal.

"Maaf Mas," ucapku lirih dan malu.

Benar juga, harusnya aku bersyukur karena suamiku masih selamat dan sehat. Hanya cidera sedikit, itupun diawal kecelakaan.

"Kamu pikir Mas mau kehilangan uang kita! Gara-gara kecelakaan mobil itu. Tapi, satu hal yang harus kamu tau, meskipun Mas mengganti mobil itu, uang itu, uang Mas! Mas yang bekerja, bukan seperti kamu yang setiap hari hanya di rumah ongkang-ongkang, yang hanya menerima gaji bulanan, belanja tiap bulan, minta ini, minta itu sama aku!"

Suamiku murka dengan ucapanku. Aku benar-benar bodoh telah mengucapkan kalimat yang tak seharusnya terucap.

"Dasar gak tau diri!"

Mas Dika mengumpat dan mengataiku. Benar-benar emosi tinggi.

"Loh, Mas, udah dong marahnya, aku kan nggak sengaja, Mas. Maaf Mas," ucapku menyesal. Kesal juga dengan umpatan darinya.

Aku tahu, aku salah bicara. Tapi, mendengar kalimat ongkang-ongkang di rumah saja, membuat aku merasa terhinakan sebagai seorang wanita. Karena, jika boleh memilih, aku juga ingin bekerja, agar aku tidak perlu menengadahkan tangan ini, kepada suamiku.

"Ya terus apa namanya! emang aku salah bicara? kan kenyataannya gitu! kamu cuman ongkang-ongkang di rumah, cuman tau gajian, uang bulanan, tanpa tau gimana capeknya aku, banting tulang untuk kalian!"

Mas Dika menatapku tajam, kedua bola matanya merah, kutahu ada amarah yang siap meledak dengan ucapanku, dan aku sungguh menyesal telah mengungkapkan apa yang ada di pikiranku barusan. Meskipun itu kenyataan.

"Maaf Mas, Wafa salah, udah ngomong kayak gitu, maaf ya," ucapku lagi.

Mas Dika hanya mendengus kesal, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan tak berapa lama kemudian kami pun saling mendiamkan satu sama lain. berkecamuk dengan pikiran masing-masing.

Disaat seperti ini, rumah tangga terasa panas dan gaduh. Hal sekecil apapun menjadi titik api yang pada akhirnya berkobar-kobar menjalar ke segala arah perdebatan.

Terutama masalah perekonomian, hal itu sangat mudah menyulut emosi dan pertikaian.

Rumah tanggaku yang harmonis pun tak luput dari ujian ini. Walaupun sebenarnya tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kami akan menjumpai sebuah masalah serumit ini.

Beberapa menit kemudian suara klakson mobil pun terdengar, membuyarkan lamunan kami berdua.

Mas Dika mengerjap, begitu juga dengan diriku.

Mobil mewah pun datang. Aku menyipitkan mata saat melihat mobil tersebut berhenti di depan rumah kami. Tepatnya, bekas rumah kami.

"Sekarang terserah kamu! Mau ikut sama Mas, atau tetap disini! Mempertahankan gengsimu!"

Dengan tegas Mas Dika menekan perasaanku.

Dan aku, sungguh tak ingin menumpang hidup di rumah orang. Apalagi rumah orang lain. Bukan saudara ataupun handai taulan.

Aku harus bagaimana?

Bersambung ...

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku