Berpoligami adalah hal wajar bagi seorang Indana Zulfa Hewatun. Dia rela menjodohkan sang suami dengan santriwati pesantren milik abinya demi melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Namun, sebuah kepercayaan telah hancur saat Jidan sang suami mengetahui kedekatan Inda dengan mantannya. Perjodohan itu, akankah tetap terjadi? Apakah Inda akan berhenti dalam pencapaian cita-citanya di luar negeri? Kisah insfiratif, mengubah mindset bahwa pernikahan pemutus cita-cita, serta orang ketiga yang selalu dianggap salah dalam rumah tangga.
"Zein... mengapa kamu meninggalkan aku? apa kamu tahu bahwa aku sangat membutuhkanmu Zein,"
ratap Inda pada pria tampan yang telah menghilang selama 2 tahun silam.
Hari itu begitu indah, cerah nan sejuk, yang terlihat hanya pemandangan alam dengan kabut putih yang
tersorot cahaya matahari.
Inda berjalan menyusuri taman bunga yang terhampar sejauh mata memandang. Ia
duduk di kursi kayu tepat di bawah pohon yang daunnya berwarna kemerahan, entah
pohon apa namanya, hanya pohon itu yang berada di taman bunga tersebut.
Pria tampan dengan rambut sedikit panjang, bagian depan terbelah dua ala
Angga Yunanda, kulitnya putih,
tubuhnya tinggi berisi,
semakin terlihat perfect dengan outfit kaos dan celana jeans yang saat ini ia kenakan..
Pria itu menghampiri
wanita yang tengah duduk menatapi bunga, mengikutinya duduk seraya menggenggam tangan wanita di sampingnya.
Sambil menatap pria itu dalam-dalam dan membalas genggamannya. Tak terasa suaranya terdengar terisak pilu Llu merebahkan kepalanya di
bahu seorang pria yang baru saja datang menemani kesedihannya.
"Inda, aku tidak akan pernah membiarkanmu tersakiti, aku tetap bersamamu
disini. Maaf saat itu
aku harus pergi, karena cita-citaku belum tercapai. Aku selalu menyayangimu,
aku ingin terus bersamamu," jelasnya sambil memegang tangan Inda dan tatapan
yang penuh kasih.
"Tapi sekarang aku sudah menikah Zein! Tidak ada gunanya kamu menyatakan
cinta lagi," ujarnya, matanya menatap sendu pada Zein.
"Aku akan tetap menyayangimu!" kekeh Zein meyakinkan.
Air mata Inda terus berderai, mengingat Zein adalah pria impian yang selalu
membuatnya bahagia. Namun sayang, ia sirna, tenggelam di dalam lautan.
"Astaghfirullahal adzim!" kumandang subuh menyadarkan Inda dari mimpinya.
"Huff... memang pria impian," lirihnya sambil menghela nafas.
Di sampingnya terlihat pria lain yang masih tertidur pulas.
Benar, aku
sudah memiliki suami, yang lebih tampan dan menawan dari Zein. Gumamnya dalam
hati sambil tersenyum
memandangi Jidan, pria halalnya.
***
Rutinitas harian mereka sangat padat, hingga membuat mereka sulit untuk
saling bercerita. Hanya menjelang
tidurlah kesempatan keduanya untuk berbagi cerita tentang hari ini, hingga hal
yang tidak penting sekalipun.
"Mas... Apa Mas
sudah mulai bicara dengan Umi dan Abi soal kita ingin melanjutkan S2 kita di
Mesir Mas?" tanya Inda yang sedang duduk di meja rias sambil menyisir
rambutnya, ia memulai
percakapan.
"Sudah. Tapi tanggapan mereka masih seperti
itu. Besok coba Mas bicarakan lagi dengan Abi," jawabnya sambil
merebahkan diri di bad ranjang.
"Oke Mas, tapi... tolong yakinkan mereka ya Mas," pinta Inda mulai bermanja.
"Iya Sayang... Mas akan usahakan. Sini tidur, jangan
bersolek terus," goda Jidan sambil menepuk bad ranjang sebelahnya yang masih
kosong.
Esoknya, sepulang mengajar di pesantren milik abinya, Jidan mampir terlebih
dahulu ke rumah kedua orang tuanya atau para santri menyebutnya dengan Ndalem.
"Assalamu'alaikum Umi," ucapnya sambil mendekatkan wajah ke sela-sela pintu
kayu.
Tanpa mengetuk pintu, beberapa detik ia menunggu jawaban, lalu
mengulanginya sekali lagi, hingga terdengar suara yang mendekat dari
balik pintu tersebut.
"Wa'alaikumussalam Nak, masuk Nak, kebetulan kami lagi mempersiapkan makan
siang nih," jawab wanita paruh baya yang tengah membukakan pintu untuk
putranya.
Kemudian Jidan mencium tangan wanita paruh baya yang terlihat masih cantik di umurnya yang sudah menginjak angka
lima puluh. Harum tangannya masih tetap sama, parfum Sabaya dari Mekkah
yang selalu membuatnya
terngiang-ngiang saat di Mesir lalu.
Jiddan berjalan menuju ruang keluarga, mendekati abinya yang sedang
duduk di sofa, Dengan pakaian sederhana, dikhiasi tasbih yang selalu berputar
di tangan kanannya, membuat aura wibawanya begitu terpancar.
Jidan mulai menyampaikan niatnya pada kyai yang berwibawa di depannya
tersebut. Setelah semua tersampaikan, tidak menunggu lama dan basa-basi, kyai
Nur langsung menanggapinya.
"Umi sudah bercerita pada Abi soal kalian ingin ke Mesir, Umi setuju, tapi
menurut Abi, tetaplah di sini Jidan, pesantren ini kamu yang kembangkan, kalau
kamu berkenan lanjutlah s2 di dekat sini saja, agar kalian masih bisa membantu
Abi, kalian tahu sendiri, Umi khususnya Abi ini kan sudah mulai tua Nak,
cobalah pikir-pikir lagi," tutur kyai Nur santai penuh harap.
Mendengar jawaban abinya, Jidan tidak bisa berkutik, mau tidak mau dia
harus mematuhi orang yang amat ia hormati itu, namun di sisi lain ia tidak ingin
mematahkan impian Inda yang ingin terus belajar di negri Kinanah sana.
"Baik Abi, akan Jidan pikirkan lagi. Terimakasih Bi, izin pamit pulang dulu Bi," Jawab Jidan
kemudian mencium tangan abinya.
Wibawa seorang kyai Nur membuat siapapun tidak mampu untuk mengelak
setiap perkataannya, termasuk dengan anak-anaknya.
***
Setelah selesai mengisi
pengajian rutinan hari rabu di masjid pesantren. Jidan berniat untuk
membicarakan apa yang diinginkan sang abi kemarin sebelum ia pulang.
"Tentang S2 kita, Abi menyarankan kita untuk melanjutkan S2 di sini, sambil
membantu Abi dan Umi. Lalu sedikit-sedikit kita bisa membangun rumah di dekat
pesantren," jidan mulai menjelaskan maksudnya pada Inda.
"Kita kan sudah membuat komitmen Mas,"
timpal Inda ketus.
"Kamu sudah janji Mas, bahwa pernikahan kita tidak akan mengganggu cita-cita
kita! Di sanalah cita-cita aku Mas, masih banyak yang harus aku cari di negeri
Kinanah sana, Mas pasti tau itu," emosinya meluap, mengungkit semua komitmen
mereka sebelum menikah.
"Iya, kita cari solusinya bersama, kita pertimbangkan, mana yang terbaik dan bermaslahat di Tengah keadaan
yang diluar dugaan kita ini," jawab sang suami dengan tenang.
DING !
Ponsel Inda berbunyi, Rena sahabatnya mengabarkan bahwa Jidan dan Inda
diterima masuk S2 dan mendapatkan beasiswa.
"Tuh kan Mas, kita diterima!" ujarnya bersemangat.
"Serius?" tanya Jidan memastikan
"Iya Mas serius, ini coba lihat," Inda menyodorkan ponselnya.
"Alhamdulillah, kita bisa bicarakan lagi dengan Abi. Semoga dengan berita
ini, Abi bisa mengizinkan kita untuk berangkat ke sana lagi," lanjut Inda masih
dengan wajah berserinya.
"Iya sayang, insyallah bisa," hanya sedikit meyakinkan. Jidan amat tahu
bagaimana abinya jika sudah membuat keputusan.
***
Di balik kebahagiaan itu esoknya.
Langit pagi terlihat mendung, angin menghembus syahdu, tidak dingin tidak
juga panas, semuanya terasa tentram, tidak seperti biasanya. Mereka
sudah bersiap untuk
menuju pesantren, bertemu abi dan umi, membantu aktifitas rumah sang ibu
mertua.
Namun tiba-tiba, seorang santri datang menaiki motor milik pesantren,
penampilannya compang-camping, sangat tergesa-gesa, wajahnya merah, bukan
karena mabuk atau ditampar, tapi terlihat juga air matanya berderai. Ia
mengucapkan salam dengan suara bergetar, dan mengabarkan bahwa.
"Ustadz... A-abi Ustadz," kata santri itu terbata, tak kuat menahan tangis,
santri yang masih berdiri di samping motor itu tiba-tiba berlari menuju Jidan
yang berdiri di pelataran rumah bersama Inda, lalu memeluk Jidan layaknya
seorang adik yang tidak bertemu kakaknya selama puluhan tahun.
"A-abi meninggal Ustadz," tangis santri itu pecah kembali. Perkataannya
melesat seperti tombak, tepat mengenai jantung Jidan dan Inda.
Keduanya bergetar mendengar kabar yang bak petir menyambar, air matapun
berderai cepat.
Sesampainya mereka di rumah sang abi, di sepanjang jalan menuju
gerbang pesantren, terparkir mobil-mobil pengunjung untuk bertakziyah.
Lapangan pesantren penuh dengan para santri dan penyelawat, mereka
semua menangis, tak menyangka kyai yang paling mereka sayangi dan hormati pergi
begitu cepat.
Ketika mereka masuk, terlihat segujur tubuh diselimuti kain batik panjang
dan kain putih menutupi kepala sang pemimpin itu.
Dengan sigap Jiddan memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan kuat, menangis
meraung-raung, dadanya sesak, terhimpit, sakit karena perpisahan tak terduga
ini.
Ia peluk tubuh ibunya yang lemas, mereka menangis, suasana semakin kelam.
Tidak ada lagi abi, tidak ada lagi Kyai yang sangat disegani dan terhormat di
tengah-tengah mereka. Abi yang selalu bijaksana dalam mengambil tindakan, yang
selalu berbaur pada santri, yang banyak sekali mengajarkan segala hal untuk
anak-anaknya.
"Abi... semua telah usai Bi, aku tidak akan bisa sesempurna dirimu dalam
memimpin. Kenapa engkau pergi begitu cepat di saat aku masih membutuhkan
bimbinganmu untuk mengemban amanah besar ini," hatinya berdesir, tak kuasa
menahan perih.
Beberapa hari setelah kepergian kyai Nur, langit pesantren masih kelam dan
haru, suasana terasa sunyi. Kini mereka hanya menunggu dan bertanya-tanya,
siapakah yang akan menggantikan kyai Nur, akankah seperti abi yang bagi mereka
kyai Nur adalah abi terbaik tak tergantikan.
Hati mereka tertuju pada satu nama. Bukan karena hanya ia salah satu dari 3
anak laki-laki kyai Nur yang berhasil menyelesaikan S1nya di luar negeri, tapi
juga kepribadiannya yang sungguh mirip dengan abinya, membuat santri selalu
nyaman berada dalam bimbingannya selama ia mengajar.
Bab 1 Ujian bermula
14/11/2023
Bab 2 Bencana yang tak disadari
14/11/2023
Bab 3 Dalam ketegangan
14/11/2023
Bab 4 Gemetar
14/11/2023
Bab 5 Santriwati bernama Naya
14/11/2023
Bab 6 Pertemuan sang mantan
14/11/2023
Bab 7 Air mata pertama
14/11/2023
Bab 8 Rengkuhan yang dirindu
14/11/2023
Bab 9 Sentuhan ringan
14/11/2023
Bab 10 Melihatnya sekilas
14/11/2023
Bab 11 Wanita cantik beralis tebal
14/11/2023
Bab 12 Pesona Zein
14/11/2023
Bab 13 Kecelakaan bus
14/11/2023
Bab 14 Suapan apel adik ipar
14/11/2023
Bab 15 Curiga
14/11/2023
Bab 16 Kamar Kyai tampan
14/11/2023
Bab 17 Perjanjian malam
14/11/2023
Bab 18 Festival musik Nusantara
15/11/2023
Bab 19 Mimpi yang nyata
15/11/2023
Bab 20 Ruang rapat
15/11/2023
Bab 21 Pesan serius istriku
15/11/2023
Bab 22 Bertemu kyai Nur
15/11/2023
Bab 23 Calon menantu
15/11/2023
Bab 24 Memori terputar kembali
20/11/2023
Bab 25 Cincin di jari manis Inda
20/11/2023
Bab 26 Memblokir in
21/11/2023
Bab 27 Menyentuh jemari Naya
21/11/2023
Bab 28 Pesan pada ketua putri
22/11/2023
Bab 29 Permintaan istri kyai muda
22/11/2023
Bab 30 Kabar pernikahan
23/11/2023
Bab 31 Pernikahan mendadak
23/11/2023
Bab 32 Bola api
23/11/2023
Bab 33 Kembali berharap
25/11/2023
Bab 34 Tanpa jejak
25/11/2023
Bab 35 Langkah mendebarkan
25/11/2023
Bab 36 Harapan
27/11/2023
Bab 37 Pegawai cantik di kantor
27/11/2023
Bab 38 Dua pria tampan
27/11/2023
Bab 39 Potret masalah
27/11/2023
Bab 40 Cemburu oleh dua wanita
27/11/2023