Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hadiah Madu Untuk Suamiku

Hadiah Madu Untuk Suamiku

Junatha Rome

5.0
Komentar
1.4K
Penayangan
80
Bab

Berpoligami adalah hal wajar bagi seorang Indana Zulfa Hewatun. Dia rela menjodohkan sang suami dengan santriwati pesantren milik abinya demi melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Namun, sebuah kepercayaan telah hancur saat Jidan sang suami mengetahui kedekatan Inda dengan mantannya. Perjodohan itu, akankah tetap terjadi? Apakah Inda akan berhenti dalam pencapaian cita-citanya di luar negeri? Kisah insfiratif, mengubah mindset bahwa pernikahan pemutus cita-cita, serta orang ketiga yang selalu dianggap salah dalam rumah tangga.

Bab 1 Ujian bermula

"Zein... mengapa kamu meninggalkan aku? apa kamu tahu bahwa aku sangat membutuhkanmu Zein,"

ratap Inda pada pria tampan yang telah menghilang selama 2 tahun silam.

Hari itu begitu indah, cerah nan sejuk, yang terlihat hanya pemandangan alam dengan kabut putih yang

tersorot cahaya matahari.

Inda berjalan menyusuri taman bunga yang terhampar sejauh mata memandang. Ia

duduk di kursi kayu tepat di bawah pohon yang daunnya berwarna kemerahan, entah

pohon apa namanya, hanya pohon itu yang berada di taman bunga tersebut.

Pria tampan dengan rambut sedikit panjang, bagian depan terbelah dua ala

Angga Yunanda, kulitnya putih,

tubuhnya tinggi berisi,

semakin terlihat perfect dengan outfit kaos dan celana jeans yang saat ini ia kenakan..

Pria itu menghampiri

wanita yang tengah duduk menatapi bunga, mengikutinya duduk seraya menggenggam tangan wanita di sampingnya.

Sambil menatap pria itu dalam-dalam dan membalas genggamannya. Tak terasa suaranya terdengar terisak pilu Llu merebahkan kepalanya di

bahu seorang pria yang baru saja datang menemani kesedihannya.

"Inda, aku tidak akan pernah membiarkanmu tersakiti, aku tetap bersamamu

disini. Maaf saat itu

aku harus pergi, karena cita-citaku belum tercapai. Aku selalu menyayangimu,

aku ingin terus bersamamu," jelasnya sambil memegang tangan Inda dan tatapan

yang penuh kasih.

"Tapi sekarang aku sudah menikah Zein! Tidak ada gunanya kamu menyatakan

cinta lagi," ujarnya, matanya menatap sendu pada Zein.

"Aku akan tetap menyayangimu!" kekeh Zein meyakinkan.

Air mata Inda terus berderai, mengingat Zein adalah pria impian yang selalu

membuatnya bahagia. Namun sayang, ia sirna, tenggelam di dalam lautan.

"Astaghfirullahal adzim!" kumandang subuh menyadarkan Inda dari mimpinya.

"Huff... memang pria impian," lirihnya sambil menghela nafas.

Di sampingnya terlihat pria lain yang masih tertidur pulas.

Benar, aku

sudah memiliki suami, yang lebih tampan dan menawan dari Zein. Gumamnya dalam

hati sambil tersenyum

memandangi Jidan, pria halalnya.

***

Rutinitas harian mereka sangat padat, hingga membuat mereka sulit untuk

saling bercerita. Hanya menjelang

tidurlah kesempatan keduanya untuk berbagi cerita tentang hari ini, hingga hal

yang tidak penting sekalipun.

"Mas... Apa Mas

sudah mulai bicara dengan Umi dan Abi soal kita ingin melanjutkan S2 kita di

Mesir Mas?" tanya Inda yang sedang duduk di meja rias sambil menyisir

rambutnya, ia memulai

percakapan.

"Sudah. Tapi tanggapan mereka masih seperti

itu. Besok coba Mas bicarakan lagi dengan Abi," jawabnya sambil

merebahkan diri di bad ranjang.

"Oke Mas, tapi... tolong yakinkan mereka ya Mas," pinta Inda mulai bermanja.

"Iya Sayang... Mas akan usahakan. Sini tidur, jangan

bersolek terus," goda Jidan sambil menepuk bad ranjang sebelahnya yang masih

kosong.

Esoknya, sepulang mengajar di pesantren milik abinya, Jidan mampir terlebih

dahulu ke rumah kedua orang tuanya atau para santri menyebutnya dengan Ndalem.

"Assalamu'alaikum Umi," ucapnya sambil mendekatkan wajah ke sela-sela pintu

kayu.

Tanpa mengetuk pintu, beberapa detik ia menunggu jawaban, lalu

mengulanginya sekali lagi, hingga terdengar suara yang mendekat dari

balik pintu tersebut.

"Wa'alaikumussalam Nak, masuk Nak, kebetulan kami lagi mempersiapkan makan

siang nih," jawab wanita paruh baya yang tengah membukakan pintu untuk

putranya.

Kemudian Jidan mencium tangan wanita paruh baya yang terlihat masih cantik di umurnya yang sudah menginjak angka

lima puluh. Harum tangannya masih tetap sama, parfum Sabaya dari Mekkah

yang selalu membuatnya

terngiang-ngiang saat di Mesir lalu.

Jiddan berjalan menuju ruang keluarga, mendekati abinya yang sedang

duduk di sofa, Dengan pakaian sederhana, dikhiasi tasbih yang selalu berputar

di tangan kanannya, membuat aura wibawanya begitu terpancar.

Jidan mulai menyampaikan niatnya pada kyai yang berwibawa di depannya

tersebut. Setelah semua tersampaikan, tidak menunggu lama dan basa-basi, kyai

Nur langsung menanggapinya.

"Umi sudah bercerita pada Abi soal kalian ingin ke Mesir, Umi setuju, tapi

menurut Abi, tetaplah di sini Jidan, pesantren ini kamu yang kembangkan, kalau

kamu berkenan lanjutlah s2 di dekat sini saja, agar kalian masih bisa membantu

Abi, kalian tahu sendiri, Umi khususnya Abi ini kan sudah mulai tua Nak,

cobalah pikir-pikir lagi," tutur kyai Nur santai penuh harap.

Mendengar jawaban abinya, Jidan tidak bisa berkutik, mau tidak mau dia

harus mematuhi orang yang amat ia hormati itu, namun di sisi lain ia tidak ingin

mematahkan impian Inda yang ingin terus belajar di negri Kinanah sana.

"Baik Abi, akan Jidan pikirkan lagi. Terimakasih Bi, izin pamit pulang dulu Bi," Jawab Jidan

kemudian mencium tangan abinya.

Wibawa seorang kyai Nur membuat siapapun tidak mampu untuk mengelak

setiap perkataannya, termasuk dengan anak-anaknya.

***

Setelah selesai mengisi

pengajian rutinan hari rabu di masjid pesantren. Jidan berniat untuk

membicarakan apa yang diinginkan sang abi kemarin sebelum ia pulang.

"Tentang S2 kita, Abi menyarankan kita untuk melanjutkan S2 di sini, sambil

membantu Abi dan Umi. Lalu sedikit-sedikit kita bisa membangun rumah di dekat

pesantren," jidan mulai menjelaskan maksudnya pada Inda.

"Kita kan sudah membuat komitmen Mas,"

timpal Inda ketus.

"Kamu sudah janji Mas, bahwa pernikahan kita tidak akan mengganggu cita-cita

kita! Di sanalah cita-cita aku Mas, masih banyak yang harus aku cari di negeri

Kinanah sana, Mas pasti tau itu," emosinya meluap, mengungkit semua komitmen

mereka sebelum menikah.

"Iya, kita cari solusinya bersama, kita pertimbangkan, mana yang terbaik dan bermaslahat di Tengah keadaan

yang diluar dugaan kita ini," jawab sang suami dengan tenang.

DING !

Ponsel Inda berbunyi, Rena sahabatnya mengabarkan bahwa Jidan dan Inda

diterima masuk S2 dan mendapatkan beasiswa.

"Tuh kan Mas, kita diterima!" ujarnya bersemangat.

"Serius?" tanya Jidan memastikan

"Iya Mas serius, ini coba lihat," Inda menyodorkan ponselnya.

"Alhamdulillah, kita bisa bicarakan lagi dengan Abi. Semoga dengan berita

ini, Abi bisa mengizinkan kita untuk berangkat ke sana lagi," lanjut Inda masih

dengan wajah berserinya.

"Iya sayang, insyallah bisa," hanya sedikit meyakinkan. Jidan amat tahu

bagaimana abinya jika sudah membuat keputusan.

***

Di balik kebahagiaan itu esoknya.

Langit pagi terlihat mendung, angin menghembus syahdu, tidak dingin tidak

juga panas, semuanya terasa tentram, tidak seperti biasanya. Mereka

sudah bersiap untuk

menuju pesantren, bertemu abi dan umi, membantu aktifitas rumah sang ibu

mertua.

Namun tiba-tiba, seorang santri datang menaiki motor milik pesantren,

penampilannya compang-camping, sangat tergesa-gesa, wajahnya merah, bukan

karena mabuk atau ditampar, tapi terlihat juga air matanya berderai. Ia

mengucapkan salam dengan suara bergetar, dan mengabarkan bahwa.

"Ustadz... A-abi Ustadz," kata santri itu terbata, tak kuat menahan tangis,

santri yang masih berdiri di samping motor itu tiba-tiba berlari menuju Jidan

yang berdiri di pelataran rumah bersama Inda, lalu memeluk Jidan layaknya

seorang adik yang tidak bertemu kakaknya selama puluhan tahun.

"A-abi meninggal Ustadz," tangis santri itu pecah kembali. Perkataannya

melesat seperti tombak, tepat mengenai jantung Jidan dan Inda.

Keduanya bergetar mendengar kabar yang bak petir menyambar, air matapun

berderai cepat.

Sesampainya mereka di rumah sang abi, di sepanjang jalan menuju

gerbang pesantren, terparkir mobil-mobil pengunjung untuk bertakziyah.

Lapangan pesantren penuh dengan para santri dan penyelawat, mereka

semua menangis, tak menyangka kyai yang paling mereka sayangi dan hormati pergi

begitu cepat.

Ketika mereka masuk, terlihat segujur tubuh diselimuti kain batik panjang

dan kain putih menutupi kepala sang pemimpin itu.

Dengan sigap Jiddan memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan kuat, menangis

meraung-raung, dadanya sesak, terhimpit, sakit karena perpisahan tak terduga

ini.

Ia peluk tubuh ibunya yang lemas, mereka menangis, suasana semakin kelam.

Tidak ada lagi abi, tidak ada lagi Kyai yang sangat disegani dan terhormat di

tengah-tengah mereka. Abi yang selalu bijaksana dalam mengambil tindakan, yang

selalu berbaur pada santri, yang banyak sekali mengajarkan segala hal untuk

anak-anaknya.

"Abi... semua telah usai Bi, aku tidak akan bisa sesempurna dirimu dalam

memimpin. Kenapa engkau pergi begitu cepat di saat aku masih membutuhkan

bimbinganmu untuk mengemban amanah besar ini," hatinya berdesir, tak kuasa

menahan perih.

Beberapa hari setelah kepergian kyai Nur, langit pesantren masih kelam dan

haru, suasana terasa sunyi. Kini mereka hanya menunggu dan bertanya-tanya,

siapakah yang akan menggantikan kyai Nur, akankah seperti abi yang bagi mereka

kyai Nur adalah abi terbaik tak tergantikan.

Hati mereka tertuju pada satu nama. Bukan karena hanya ia salah satu dari 3

anak laki-laki kyai Nur yang berhasil menyelesaikan S1nya di luar negeri, tapi

juga kepribadiannya yang sungguh mirip dengan abinya, membuat santri selalu

nyaman berada dalam bimbingannya selama ia mengajar.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Hadiah Madu Untuk Suamiku
1

Bab 1 Ujian bermula

14/11/2023

2

Bab 2 Bencana yang tak disadari

14/11/2023

3

Bab 3 Dalam ketegangan

14/11/2023

4

Bab 4 Gemetar

14/11/2023

5

Bab 5 Santriwati bernama Naya

14/11/2023

6

Bab 6 Pertemuan sang mantan

14/11/2023

7

Bab 7 Air mata pertama

14/11/2023

8

Bab 8 Rengkuhan yang dirindu

14/11/2023

9

Bab 9 Sentuhan ringan

14/11/2023

10

Bab 10 Melihatnya sekilas

14/11/2023

11

Bab 11 Wanita cantik beralis tebal

14/11/2023

12

Bab 12 Pesona Zein

14/11/2023

13

Bab 13 Kecelakaan bus

14/11/2023

14

Bab 14 Suapan apel adik ipar

14/11/2023

15

Bab 15 Curiga

14/11/2023

16

Bab 16 Kamar Kyai tampan

14/11/2023

17

Bab 17 Perjanjian malam

14/11/2023

18

Bab 18 Festival musik Nusantara

15/11/2023

19

Bab 19 Mimpi yang nyata

15/11/2023

20

Bab 20 Ruang rapat

15/11/2023

21

Bab 21 Pesan serius istriku

15/11/2023

22

Bab 22 Bertemu kyai Nur

15/11/2023

23

Bab 23 Calon menantu

15/11/2023

24

Bab 24 Memori terputar kembali

20/11/2023

25

Bab 25 Cincin di jari manis Inda

20/11/2023

26

Bab 26 Memblokir in

21/11/2023

27

Bab 27 Menyentuh jemari Naya

21/11/2023

28

Bab 28 Pesan pada ketua putri

22/11/2023

29

Bab 29 Permintaan istri kyai muda

22/11/2023

30

Bab 30 Kabar pernikahan

23/11/2023

31

Bab 31 Pernikahan mendadak

23/11/2023

32

Bab 32 Bola api

23/11/2023

33

Bab 33 Kembali berharap

25/11/2023

34

Bab 34 Tanpa jejak

25/11/2023

35

Bab 35 Langkah mendebarkan

25/11/2023

36

Bab 36 Harapan

27/11/2023

37

Bab 37 Pegawai cantik di kantor

27/11/2023

38

Bab 38 Dua pria tampan

27/11/2023

39

Bab 39 Potret masalah

27/11/2023

40

Bab 40 Cemburu oleh dua wanita

27/11/2023