Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menjadi Madu Sahabatku

Menjadi Madu Sahabatku

Rossy Dildara

5.0
Komentar
170
Penayangan
5
Bab

"Silla, kamu mau 'kan jadi maduku?" Seperti petir yang menyambar di tengah hari, Silla terkejut mendengar permintaan tak terduga dari Elsa–sahabatnya, yang selama ini dianggapnya sebagai saudara. Selembar kertas hasil pemeriksaan dokter menunjukkan jika dia tidak subur, Elsa akhirnya meminta Silla untuk menjadi madunya. Hanya sebentar, hanya sampai Silla berhasil melahirkan keturunan untuk suami Elsa. Awalnya, Silla menolak dengan tegas. Namun, desakan terus menerus membuatnya akhirnya setuju. Lalu, bagaimana jika dirinya terjebak dalam lingkaran pernikahan itu? Apalagi, sedari dulu hingga sekarang, Silla rupanya masih memendam rasa kepada Nathan-suami dari Elsa. Akankah semaunya berjalan semestinya? Atau, Silla justru tak ingin lepas dari Nathan?

Bab 1 MMS - 1

"Silla, kamu 'kan jadi maduku?"

Silla yang tengah mencuci piring di dapur sontak terhenyak, mendapatkan permintaan secara tiba-tiba oleh sahabatnya itu. Bahkan hampir saja, piring yang ada ditangannya jatuh.

"Elsa, apa yang kamu katakan??" Silla menganggap dia salah dengar, atau, perempuan itu hanya bercanda.

"Apa belum jelas, aku memintamu untuk menjadi maduku, Silla." Elsa langsung memeluk Silla dari belakang, kedua matanya tampak berkaca-kaca.

"Jangan bercanda tentang hal seperti ini, Elsa. Nggak lucu."

"Siapa juga yang bercanda? Aku serius, Sil."

Dengan lembut, Elsa mematikan kran air pada wastafel lalu menarik Silla untuk duduk bersamanya di kursi yang letaknya tak jauh dari sana.

"Aku belum selesai mencuci piring tau, Sa."

"Udah biarin aja. Ada yang jauh lebih penting, lihatlah." Elsa menyodorkan selembar kertas ke arah sahabatnya. Perempuan itu langsung mengambilnya dengan raut bingung.

"Ini apa?"

"Itu hasil pemeriksaan dari Dokter, Sil. Dia mengatakan kalau aku nggak subur. Aku mandul." Air mata Elsa tak kuasa berlinang, mengalir pada kedua pipi mulusnya.

"Lalu, apa hubungannya denganku, Sa? Kenapa juga aku harus menjadi madumu?" Silla bertanya dengan hati-hati, sambil menyeka air mata Elsa.

Perempuan itu perlahan meraih tangan Silla, lalu mengenggamnya erat. "Karena aku yakin, kamu subur. Kamu bisa memberikan keturunan kepada Mas Nathan."

Silla yang merasa terkejut langsung menarik tangannya. Lalu menggelengkan kepala. "Enggak! Aku nggak mau, Sa!"

"Kenapa nggak mau? Kamu nggak sayang ya, sama aku?"

"Aku menolak karena aku sayang padamu, aku nggak mau menyakitimu, Sa."

"Kamu sama sekali nggak menyakitiku kok, Sil. Kamu nggak perlu khawatir." Elsa menatap dengan raut memohon. "Ini hanya sementara saja kok, hanya sampai kamu melahirkan anak Mas Nathan. Selanjutnya kamu bisa berpisah dengannya."

"Apa kamu gila??" Silla kembali terkejut mendengar permintaan sahabatnya yang menurutnya konyol. Dan bukankah ini sama saja seperti mempermainkan pernikahan?

"Maksudmu, aku hanya diminta untuk mengandung dan melahirkan, begitu?"

"Iya." Elsa mengangguk cepat. "Keluarga Mas Nathan ingin sekali punya cucu, Sil. Apalagi Mas Nathan itu anak tunggal."

"Tapi kenapa harus menikah lagi? Kenapa nggak coba bayi tabung dulu, Sa?"

"Aku dan Mas Nathan udah mencobanya dua kali, dan itu gagal. Aku selalu keguguran, Sil."

"Kapan itu? Kok aku nggak tau, Sa? Kamu belum pernah cerita padaku."

"Aku malu untuk bercerita, Sil. Bahkan orang tuaku saja tidak tau."

"Ngapain malu, itu 'kan bukan aib. Lagian namanya manusia itu hanya bisa berusaha dan berdoa. Sepenuhnya hanya Allah yang berkehendak, jadi kamu sabar aja. Nanti juga kalau udah waktunya ... pasti dikasih kok, Sa." Silla mencoba menasehati, sembari mencari jalan keluar untuk masalah sahabatnya.

"Enggak, Sil. Aku udah nggak bisa sabar lagi. Usia pernikahanku dan Mas Nathan sudah memasuki 7 tahun, kedua orang tua Mas Nathan pun terus menerus mendesak kami."

"Kalau begitu adopsi anak saja di panti asuhan."

Elsa menggeleng. Usulan dari Silla sama sekali tak ada yang membantu. "Enggak bisa, yang mereka inginkan hanya keturunan dari Mas Nathan. Kamu mengerti maksudku, kan? Jadi ayolah, Silla, aku mohon padamu ... tolong jadilah maduku untuk sebentar saja. Aku benar-benar nggak mau berpisah dengan Mas Nathan, karena bisa saja kedua orang tuanya meminta Mas Nathan untuk menceraikan aku dan menikahi perempuan lain."

"Adduuhh, Sa. Gimana, ya? Aku bingung." Kepala Silla mendadak gatal karena bingung dan pusing dengan permintaan konyol itu.

"Kenapa harus bingung? Apa kamu begitu keberatan? Bukankah selama ini kamu selalu bilang akan melakukan hal apapun untukku, yang penting aku bahagia? Dan yang aku inginkan sekarang hanya itu, Sil."

Ya, Silla memang dulu pernah mengatakan hal itu. Semuanya karena dia merasa sangat berhutang budi kepada Elsa dan kedua orang tuanya.

Silla terlahir dari keluarga miskin, sedari kecil dia ditinggal oleh Papanya yang kabur entah kemana. Sementara Mama Silla, hanya bekerja sebagai pemulung rongsokan.

Dengan keterbatasan ekonomi yang dimiliki, Mama Silla hanya bisa menyekolahkannya sampai SD.

Saat itu, keluarga Elsa menjadi keluarga yang baru pindah ke desanya. Dan menjadi keluarga yang paling kaya dan dermawan.

Karena merasa simpati pada keadaan Silla, Haikal-Papa dari Elsa dengan berbaik hati menyekolahkannya, bersama Elsa yang saat itu juga sudah begitu akrab dengan Silla.

Saat baru dimasukkan sekolah SMP, Mama Silla mengalami kecelakaan hingga dirinya dinyatakan meninggal.

Haikal yang kembali merasa simpati pada keadaan Silla, hidup seorang diri, akhirnya memutuskan untuk membawa Silla ke rumahnya, menganggapnya sebagai anak hingga sekarang.

Silla berhasil sekolah sampai lulus SMA. Haikal sempat menawarkannya untuk melanjutkan kuliah bersama Elsa, hanya saja Silla menolak. Karena baginya, ini semua sudah lebih dari cukup.

"Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuamu, Sa? Pasti mereka nggak setuju." Silla kembali mencari celah, supaya Elsa mampu berpikir ulang.

"Soal mereka gampang, Sil. Yang penting kamunya dulu setuju apa enggak."

"Kalau tentang Kak Nathannya sendiri gimana? Kan kamu tau dia sangat membenciku."

"Aku bisa membujuknya, asal kamu setuju dulu."

"Baiklah ...." Meskipun berat, akhirnya Silla setuju. Karena memang sesungguhnya dia tak pernah bisa menolak permintaan dari sahabatnya itu. Silla tak tega. "Tapi kamu harus janji padaku, Sa."

"Janji apa?"

"Jangan pernah cemburu, atau menganggapku sebagai sainganmu. Karena semua yang terjadi karena keinginanmu."

"Iya, aku janji." Elsa mengangguk cepat, lalu mengangkat jari kelingkingnya ke arah sang sahabat. "Tapi kamu juga harus janji padaku."

"Janji apa?" Silla hendak menautkan jarinya ke jari Elsa, tapi terhenti karena dia merasa penasaran dengan ucapan yang belum selesai dari Elsa.

"Jangan pernah merebut Mas Nathan dariku, apalagi kembali mencintainya seperti dulu. Kamu hanya cukup mengandung anaknya saja, lalu melahirkannya. Setuju?"

"Iya, aku setuju." Silla mengangguk dan langsung menautkan jarinya.

"Terima kasih banyak ya, Silla." Elsa langsung berdiri dan memeluk tubuh Silla dengan erat. Mengusap punggungnya dengan penuh kasih sayang. "Aku sangat menyayangimu. Tolong tetaplah menjadi sahabatku."

"Iya, Sa. Aku juga sangat menyayangimu. Semoga keputusanmu sudah benar, ya? Aku sama sekali nggak mau menyakitimu."

"Iya, keputusanku sudah benar kok, Sil."

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Asilla Farzana binti Aiman Hamza dengan mas kawin kalung emas 12 gram dibayar tunaaaiii!!"

Sebuah kalimat ijab kabul diucapkan dengan satu tarikan napas, membuat semua mata tertuju pada Nathan.

Elsa, yang duduk tak jauh dari Silla tampak tersenyum bahagia. Karena akhirnya, keinginannya bisa terwujud. Dia bahkan sudah merasa tak sabar ingin segera mengendong bayi yang dilahirkan oleh Silla nanti.

"Bagaimana para saksi?" tanya Pak Penghulu, menatap beberapa orang yang menjadi saksi di sana.

"Sah!" sahut Elsa, kemudian diikuti oleh yang lain.

"Saaaahhhhh!!"

Hari ini, Silla telah resmi menjadi istri kedua Nathan. Setelah seminggu yang lalu Elsa memohon padanya.

Silla tahu, ini adalah keputusan yang sangat berat dalam hidupnya, tapi dia tidak bisa menolak.

Silla juga tahu, pastinya Nathan pun sangat berat menikahinya. Karena terlihat dari ekspresi wajahnya saja, pria itu sama sekali tak terlihat bahagia. Bahkan, ada rasa kebencian yang terlihat dalam matanya.

Proses ijab kabul itu dilakukan secara sederhana di rumah Nathan, dan hanya disaksikan oleh sanak keluarga.

"Mas ... kok diem?" tanya Elsa yang merasa heran dengan suaminya yang diam saja, karena seharusnya dia dan Silla bertukar untuk memasangkan cincin kawin yang sudah ada di atas meja. "Ayok pasangkan cincin kawin untuk Silla."

'Nggak sudi!' Nathan menyeru dalam hati. Dan tanpa mengatakan apa pun, dia langsung berdiri dan berlari meninggalkan acara itu.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rossy Dildara

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku