Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Madu Jadi Upik Abu

Madu Jadi Upik Abu

RitaCisan

5.0
Komentar
5.6K
Penayangan
53
Bab

Dedy, suami Wati, dilamar oleh bos tempat kerjanya. Diiming-imingi kehidupan yang lebih baik membuat Wati rela dimadu. Setelah menikah lagi, Dedy membawa Wati ke rumah madunya. Ternyata Dedy memiliki niat tersembunyi dibalik keputusannya.

Bab 1 Suara Percakapan

Wati tiba-tiba terjaga dari tidur. Tenggorokannya terasa amat kering. Ia menyingkapkan selimut dan menurunkan kaki ke lantai.

Pelan-pelan ia membuka pintu kamar agar tidak terdengar deritan dari engsel pintu yang belum pernah diminyaki. Ia tidak ingin membuat gaduh sehingga membangunkan Dedy yang tengah tidur dengan istri keduanya di kamar seberang.

Wati hendak berjalan menuju ke ruang makan untuk mengambil air minum. Ketika kaki Wati melewati kamar madunya, terdengar suara-suara mencurigakan dari dalam sana. Ia ingin tidak mendengarkan, tapi penasaran. Akhirnya Wati berhenti di depan pintu kamar madunya.

"Kamu hebat, Mas. Selalu perkasa," bisik Rara dari dalam kamar.

"Kamu juga hebat, Sayang. Tidak seperti Wati yang tidak tahu caranya melayani suami di kasur," balas Dedy juga berbisik.

Meskipun mereka berbisik-bisik, tapi sunyinya suasana malam membuat bisikan itu terdengar dengan baik oleh telinga Wati yang berada di luar pintu kamar.

Wati mengepalkan tangan yang gemetar. Dihina suami sendiri di depan madu, siapa yang tidak geram? Padahal ia tak pernah menolak melayani Dedy di kasur dalam kondisi apapun. Dedy minta permainan dengan gaya apapun juga tidak pernah ia tolak. Dedy sudah berbohong kepada Rara.

"Kenapa kamu nggak menceraikan dia saja sih, Mas?" bisik Rara lagi.

"Buat apa? Wati bisa membantumu mengerjakan pekerjaan rumah, jadi nggak perlu repot-repot membayar pembantu," sahut Dedy masih berbisik.

Rara terkikik kecil. Suara yang keluar dari mulutnya seperti ditahan dengan tangan.

"Betul juga. Kamu pintar, Mas," ujar Rara.

"Iya, dong. Aku nggak mau tangan halusmu ini kasar karena mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah lain. Biar tangan ini membelai-belaiku saja," imbuh Dedy.

"Tapi, bagaimana kalau nanti Wati mengadu kepada keluarganya kalau di sini dijadikan babu?" tanya Rara cemas.

"Nggak usah khawatir. Dia itu yatim piatu. Nggak punya keluarga lagi buat tempat mengadu," jawab Dedy tenang.

Di balik pintu, Wati menggigit bibirnya dengan perasaan tertusuk. Air mata turun mengalir di pipi. Ia membalik badan, lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dengan langkah hati-hati seperti keluarnya tadi. Rasa hausnya sudah hilang.

Wati menangis diam-diam di balik bantal. Sengaja menutupi isaknya agar tidak ketahuan. Ternyata sebusuk itu Dedy yang pernah memintanya menjadi istri.

Dulu, Dedy melamarnya sambil berlutut seperti adegan di film-film romantis. Ternyata semua itu hanya siasat demi mendapatkan yang diinginkannya. Setelah manisnya didapat, sepah dibuang.

Ke mana janji Dedy dulu saat meminta izinnya untuk menikah lagi? Janji bahwa hidup mereka akan lebih baik setelah Dedy menikah dengan Rara. Ternyata semua itu hanya pemanis bibir. Nyatanya, semua itu hanya taktik licik untuk mendapatkan izin Wati saja.

Wati teringat dulu saat mereka baru pertama kali menikah. Dedy masih bekerja serabutan, sementara Wati mengurus rumah tangga dan tidak bekerja di luar rumah. Terkadang Dedy mendapatkan uang, terkadang tidak. Oleh karena itulah rezeki yang didapat pada hari ini harus dapat disisihkan untuk esok hari. Berjaga-jaga kalau besok tidak ada lagi uang yang didapat.

Berlauk makan ikan asin dan sambal sudah jadi makanan yang sering dijalani. Satu hari bisa masak saja Wati sudah sangat bersyukur. Sering kali terjadi, satu butir telur dijadikan telur dadar dengan menambahkan air dan tepung terigu yang banyak agar dapat dimakan berdua.

Oleh karena itulah, saat mendapatkan pekerjaan sebagai kuli angkut barang di toko kelontong di pasar, Dedy maupun Wati sama-sama bersorak gembira.

Toko kelontong itu dimiliki oleh seorang janda bernama Rara. Usia Rara lebih tua lima tahun daripada Dedy, tapi wajahnya tidak terlihat lebih tua dari Dedy. Banyak menghabiskan waktu kerja di bawah terik sinar matahari telah membuat wajah Dedy lekas keriput akibat terbakar matahari.

Semenjak saat itu, kehidupan mereka menjadi jauh lebih baik. Gaji yang diterima oleh Dedy memang tidak besar, tapi dengan adanya kepastian uang setiap bulan maka Wati bisa berhemat dan mengatur keuangan.

Akan tetapi, belum lama mengecap rasa tenteram dalam berumah tangga, cobaan sudah datang lagi. Pada suatu hari, Dedy mengatakan niatnya untuk menikah lagi. Tidak main-main, wanita yang ingin dinikahinya adalah Rara bosnya sendiri.

"Kalau aku menikahi Rara yang kaya, kita tidak akan hidup susah seperti ini lagi. Nggak perlu mikir lagi harus berhemat uang buat makan sampai akhir bulan," bujuk Dedy.

"Tapi, Mas. Apa tidak ada cara selain menikah lagi?" tanya Wati yang berkeberatan.

"Apa kamu cemburu? Kamu pikir aku tidak cinta lagi kepadamu?" tanya Dedy.

"Jelas, Mas. Siapa wanita yang ingin dimadu? Siapa wanita yang tidak cemburu?" jawab Wati.

"Kamu jangan cemas, Wati. Meskipun aku menikahi Rara, tapi cinta sejatiku tetap kamu," tambah Dedy lagi, tangannya mengelus kepala Wati.

Ya, itu perkataan Dedy dulu. Tapi sekarang? Apa yang didengar Wati tadi di kamar madunya sudah menghancurkan perasaan Wati.

Wati menangis tersedu-sedu. Apabila hatinya terbuat dari kaca, maka pastilah bentuknya sudah hancur berkeping-keping seperti kaca yang dibanting ke lantai. Tega sekali Dedy berkata begitu kepada madunya.

Apakah dulu dia dilamar hanya untuk dimanfaatkan dan disia-siakan? Jahat sekali. Wati tak menyangka ada manusia berhati se-tan macam Dedy. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Wati menghapus air mata. Ia duduk memeluk lutut di kasur busa tipis di dalam kamar. Sementara tulangnya masih bisa merasakan kerasnya lantai saking tipisnya alas tidurnya, Rara di kamar seberang tidur nyaman dengan spring bed kualitas nomor satu.

Tapi dia bisa apa? Rumah besar ini milik Rara. Semua isinya pun milik Rara. Saat memasuki rumah ini, bisa dikatakan Wati hanya membawa badan berbalut pakaian lusuh. Wati masih ingat pandangan mata menghina dari sorot mata Rara saat itu.

"Ini istri pertamamu, Mas?" tanya Rara kepada Dedy.

"Iya, Sayang. Terima dia tinggal di sini, ya. Jangan usir dia, kasihan. Dia tidak punya keluarga dan siapa-siapa lagi selain aku," pinta Dedy saat itu.

Rara menatap Wati dari ujung kepala hingga ujung kaki. Selama memandang, mulut Rara tak berhenti cemberut dan mencebik. Wati sendiri hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap mata madunya. Dari segi apapun, ia kalah pamor dibandingkan madunya yang kaya.

"Ya, sudah! Aku terima dia di sini. Tapi jangan mimpi di sini dia bakal ongkang-ongkang kaki," ketus Rara.

"Jangan khawatir, Sayang. Wati ini orangnya rajin. Dia juga pandai memasak dan berbenah. Dia tidak akan merepotkanmu," kata Dedy halus membujuk.

"Kita lihat saja nanti. Ingat, kamu tinggal menumpang di sini jadi harus tahu diri. Makan dan tinggal di sini jangan dianggap gratis," sembur Rara lagi.

Wati mendengar suara ayam berkokok di luar jendela kamarnya. Hari sudah menjelang pagi. Wati beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke arah dapur. Ia akan mengerjakan tugas hariannya setiap pagi. Memasak makanan buat Dedy dan Rara, menyapu dan mengepel, mencuci piring dan mengelap perabotan rumah, juga mencuci dan menjemur pakaian.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh RitaCisan

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku